MENJADI ”bangsa wayang”,
inilah tempo hari yang sangat dikhawatirkan Tan Malaka, seorang yang hidup
sebagai manusia pelarian di sebelas negara dan disebut Yamin perancang
republik sebelum kemerdekaannya tercapai melalui bukunya (1925) Naar de
Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Buku ini lahir jauh sebelum
Hatta menulis Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) (1928) dan Soekarno
menuangkan gagasan, ”Menuju Indonesia Merdeka” (1933).
Bangsa wayang semiotikanya
merujuk kepada sebuah bangsa yang kehilangan jati diri. Tak ubahnya wayang
yang hidup dan matinya sepenuhnya berada dalam genggaman takdir ki dalang.
Dalam konteks ini, dalang itu dapat bernama gurita ”kepentingan asing” atau
juga sifat serakah yang mengalir dalam nadi para penyelenggara negara.
Negara yang hilang daulatnya
karena dikelola ”para pencuri” yang tidak pernah kehilangan nafsu untuk
terus memburu benda dengan menghalalkan beragam cara. Administrasi publik
justru tidak untuk kepentingan khalayak, tetapi bagi upaya memperkaya diri
dan golongannya. Orang menyebutnya sistem kleptokrasi (berasal
dari bahasa Yunani klepto+kratein yang berarti ”diperintah
para bandit”).
Merdeka 100 persen adalah siasat
tanpa henti berkelit dari sekapan bangsa wayang. Dari watak politik yang
sama sekali tidak mendistribusikan kesejahteraan, dari ekonomi yang
hanya gempita dirayakan segelintir elite, dari pendidikan yang tidak menjadi
jendala mentransformasikan diri menuju kebebasan utuh, dari budaya yang
hanya mengagungkan raga. Seratus persen merdeka adalah amanat lagu
yang acap kali kita dendangkan penuh riang: Sorak-sorak
bergembira/Bergembira semua/Sudah bebas negeri kita/Untuk s’lama-lamanya/
Indonesia merdeka! (Merdeka!)/Menuju bahagia! (Bahagia!)/Itulah
tujuan kita/Untuk s’lama-lamanya.
Medan religius
Termasuk merdeka 100 persen
adalah ketika negara tidak melakukan pemihakan terhadap keyakinan warganya.
Pilihan beragama adalah hak dasar setiap insan yang dijamin Tuhan juga
mendapat perlindungan undang-undang. ”Siapa yang hendak beriman, imanlah.
Siapa yang mau kafir, kafirlah”. Agama adalah panggilan Sang Kuasa
relasinya dengan para pemeluk agama itu sendiri. Agama adalah ”wadah” tempat
membangun kohesivitas sosial satu dengan lainnya.
”Wadah” ini apabila tidak
dikelola secara saksama sangat rentan menimbulkan benturan, bukan hanya
intern umat beragama, melainkan juga antarumat beragama. Justru hari ini
pascareformasi, seperti dalam sejumlah survei, kekerasan atas nama agama
terus mengalami eskalasi. Tragisnya negara yang semestinya hadir sebagai
wasit menyelesaikannya malah absen. Padahal, kekerasan simbolik seperti ini
dapat menjadi ancaman serius bagi keutuhan NKRI, bagi keragaman yang telah
menjadi khitah masyarakat kita seperti dengan indah dirumuskan para leluhur
lewat falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
”Wadah” dalam praktiknya menjadi
pisau bermata dua: mendatangkan musibah atau memunculkan faedah. Menjadi
musibah manakala agama hanya menjadi institusi primordial untuk
memfasilitasi nafsu menguasai (Max Weber) atas nama kebenaran yang
sebermula telah ditahbiskannya bersifat tunggal, bukan sebagai medan
pemahaman guna berdialog dalam suasana komunikasi diskursif yang lapang,
setara dan saling menerima (Habermas), membangun persahabatan tulus
(Aristoteles) dalam napas keterbukaan (Socrates) yang ditancapkan di
atas dasar metafisis teologi kerukunan.
Hari ini yang pertama yang
sering terartikulasikan dalam kamar gelap politik keberagamaan kita.
Semacam agama yang telah ”dibajak” para pemeluknya, telah ditafsirkan dalam
kerangka pemahaman ”pendakuan”. JP Sartre menyebutnya sebagai
penafsiran yang bertendensi terhadap pusaran modus keinginan menjadi
”tuhan” itu sendiri. Karena telah menganggap ”tuhan”, ihwal yang di
luar dirinya dipandang menyimpang, mereka yang tidak sehaluan dianggap
menyesatkan yang harus diluruskan kalau perlu dengan pentungan karena
dianggap sebagai akar dari segala bentuk kemungkaran.
Beragama menjadi sangat hiruk-pikuk
dengan urusan mengurus ”orang lain”. Sibuk dengan upaya menyatukan dunia
dalam fantasi monolitik. Dalam kategori ”kebaikan” (baik secara
personal maupun sistem) yang diimajinasikan secara subyektif, arbitrer,
semena-mena, dan ahistoris. Front
Pembela Islam yang bersemangat
memberantas maksiat, Hisbut Tahrir yang berupaya mencongkel sistem
demokrasi dengan khilafah, jemaah tablig yang bernostalgia dalam atmosfer
kehidupan silam, atau wahabi-salafi yang menebar stigma ”bidah” kepada liyan,
saya membacanya dalam konteks seperti ini. Mengkhawatirkan sekaligus
mengharukan.
Barangkali menjadi tetap relevan
renungan Soekarno dalam Surat-surat Islam dari Ende (1964),
”Islam harus berani mengejar zaman, bukan seratus tahun, melainkan seribu
tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat
mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan
kembali kepada Islam glory yang dulu, tidak kembali ke ’zaman
chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman. Itulah satu-satunya
jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali. Kenapa toh kita selamanya dapat
ajaran bahwa kita harus mengopi ’zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang
toh tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900? ”
Ke dalam
Sejatinya ada hal penting yang
melampaui wadah itu, yaitu isi. Inilah yang disebut penghayatan iman.
Beragama dengan segala imperatif etiknya sebagai modus pergumulan melakukan
perbaikan diri tanpa mengenal henti. Untuk melonjakkan harkat kemanusiaan
menuju marwahnya yang utuh. Beragama sebagai medium merasukkan rasaning daif di
hadapan kuasa Tuhan yang maha melintasi.
Iman yang menyuntikkan kesadaran
lekas kembali kepada fitrah keyakinan itu yaitu kepasrahan (Islam)
danrawayan (jalan rohani) mencari kebenaran dalam semangat keterbukaan
(hanif). Iman yang bersimpuh dalam keheningan mistik (mystic silence) menggetarkan sekaligus iman yang ”hidup dalam
kekudusan”. ” Iman yang nyalanya menerangi segala arah penjuru mata
angin. Iman yang memandu suara hati untuk terus berada dalam hukum moral
yang bertakhta pada palung batin (Kant) sehingga terwujud
gerak selaras manusia dan roh dalam api emansipasi dan
kebebasan (Hegel).
Atau dalam istilah Cicero yang
dikutip YB Mangunwijaya (1998), qui
autem omnia quae ad cultum deorum partinerent, diligenter recractarent et
tamquam relegerent, sunt dicti religiosi. Dalam ungkapan Amir Hamzah,
iman sebagai dialektika nyanyian sunyi yang terkadang ”Bertukar tangkap dengan lepas”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar