TAHUN lalu film Joshua
Oppenheimer membuat heboh dengan mengangkat pembunuhan massal menyusul
Peristiwa 30 September 1965 dari sudut pandang pelaku.
Ini tentu berbeda dengan sudut
pandang korban yang muncul dalam film dokumenter lain, seperti 40 Years of Silence. Film itu
mempertegas kembali pembunuhan massal terhadap orang-orang biasa yang
dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia. Rezim Orde Baru mematerikan
ingatan akan peristiwa itu sebagai upaya pengambilalihan kekuasaan oleh
PKI, di mana Soeharto dan tentara menjadi kelompok yang menyelamatkan
negara dari kehancuran. Banyak analisis tentang peristiwa 30 September 1965
(G30S).
Tulisan ini mencoba melihat akibat peristiwa itu pada sekelompok
orang yang oleh Abdurrahman Wahid disebut ”anak-anak bangsa yang kelayapan”.
Kelompok ini membentuk komunitas
diaspora Indonesia, dan tersebar di beberapa negara di Eropa. Kebanyakan
mereka mahasiswa yang dikirim Soekarno untuk menimba ilmu di negara- negara
sosialis-komunis sebagai bagian dari rencana Soekarno menyiapkan
tenaga-tenaga ahli untuk membangun Indonesia.
Diaspora 1965 atau ”exiles” 1965?
Kedua kata ini yang banyak
dipakai dalam rujukan ilmiah mengenai perpindahan orang atau migrasi.
Penjelasan lebih lanjut tentang istilah ini mungkin akan membantu
meletakkan kelompok anak negeri yang kelayapan ini. Kata diaspora sering
merujuk kelompok orang yang tersebar di tempat-tempat baru yang bukan
tempat asalnya. Sebabnya bisa bermacam-macam: alasan pekerjaan, pelarian
politik, atau di zaman dulu bagian dari upaya kolonialisasi.
Mereka kemudian membentuk
komunitas-komunitas tertentu di tempat baru dengan memelihara ikatan dengan
kampung halaman atau tempat asal. Adapun kata exile diterjemahkan
secara gamblang dalam bahasa Indonesia sebagai pengasingan atau kelompok
orang terbuang. Kata bahasa Indonesia ini menggambarkan dengan tepat
definisi yang dipakai Edward Said (2000): ”seseorang yang dicegah untuk pulang kampung” atau orang dengan
”stigma sebagai orang luar”. Dengan kata lain, exile atau
kelompok terbuang terkait adanya kekuasaan atau paksaan yang membuat
seseorang berada di luar kelompok tertentu. Adanya paksaan ini mungkin
menjadikan istilah ”anak negeri yang kelayapan” tak tepat sebab mereka
kelayapan karena adanya paksaan tertentu.
Ketika G30S terjadi, rakyat
Indonesia yang berada di luar negeri pada masa itu umumnya tak menyadari
sepenuhnya perubahan politik kekuasaan yang terjadi dan dampak yang akan
menimpa mereka. Ketika rezim Orde Baru mulai memegang kekuasaan, kontrol
kekuasaan pun mulai muncul dan menampakkan diri di kedutaan-kedutaan
Indonesia di luar negeri. Rakyat Indonesia di luar negeri, terutama di
negara-negara sosialis-komunis, dihadapkan pada pilihan mendukung dan loyal
terhadap rezim Orde Baru atau kehilangan kewarganegaraannya karena pilihan
ideologis dan politis mereka.
Berhadapan dengan situasi
dilematis ini, mereka yang menolak mendukung pemerintahan Orde Baru dicabut
paspornya dan kehilangan kewarganegaraannya. Beberapa yang memilih diam dan
menjauh dari kedutaan akhirnya juga kehilangan kewarganegaraan karena
paspor yang dipegangnya habis masa berlaku. Secara legal mereka bukan lagi
warga suatu negara tertentu atau orang tanpa kewarganegaraan (stateless person) sebagaimana
didefinisikan Ayat 1 Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa
Kewarganegaraan. Implikasinya, mereka ”kehilangan
hak dan privilese yang dinikmati seseorang sebagai warga negara karena
kewarganegaraan memprakondisikan seseorang untuk menikmati hak yang
disediakan negara” (Goldston
2006:321).
Status sebagai orang tanpa
kewarganegaraan, rasa takut kembali ke Indonesia karena alasan keamanan,
dan upaya menjaga jarak dari sanak keluarga di Indonesia demi keselamatan
keluarga di Indonesia menempatkan mereka sebagai kelompok terbuang bukan
saja dari negara Indonesia, melainkan dari struktur formal negara
kebangsaan. Akibat pilihan politisnya, mereka menjadi bukan warga negara
mana pun dan dipaksa kelayapan ke tempat lain dengan menggunakan jaringan
pertemanan ataupun solidaritas negara sosialis-komunis. Mereka kelompok
orang terbuang, atau berada di luar kelompok tertentu yang dalam analisis
Edward Said tentang nasionalisme disebut kelompok yang ditandai pengalaman ”kesunyian karena berada di luar
kelompok tertentu”.
Selain menciptakan sejarah kelam
pembunuhan banyak orang, Peristiwa G30S juga melibatkan bentuk kekerasan
negara lain yang menciptakan kelompok orang yang dicegah pulang ke negara
asalnya, dan dipaksa menjalani pengasingan (exile) karena alasan politis dan ideologis yang ditempelkan
kepada mereka.
Nasionalisme ”exiles”
Hampir
semua exiles 1965 ini kini menjadi warga negara salah satu negara
tertentu, entah di Eropa atau Amerika Selatan. Namun, mereka masih
memelihara ikatan emosional dengan Indonesia sebagai kampung halaman.
Ikatan emosional dengan kampung halaman ini sering ditemui dengan sejumlah
kelompok diaspora dalam upaya mereka membangun komunitas di tempat baru.
Komunitas diaspora Sierra Leon di Amerika, misalnya, memperlihatkan
bagaimana simbol pohon kapas memainkan peran penting dalam mengatur
kehidupan komunitas mereka.
Pohon kapas simbol kampung
halaman dan memberi identitas komunitas mereka (D’Alisera 2002:80). Ini menggarisbawahi yang dikatakan
antropolog Mary Douglas (1991:289) bahwa kampung halaman ditemukan dengan
membawa beberapa aspeknya ke konteks masa kini dan menempatkan beberapa
aspek ruang dalam kendali tertentu.
Komunitas exiles 1965 memperlihatkan ikatan dengan kampung halaman dengan wacana
mereka untuk terlibat dalam penulisan sejarah Indonesia, terutama seputar
Peristiwa G30S yang sering ditutupi. Sikap kritis mereka terhadap rezim
Orde Baru dan sejarah yang dituliskan merupakan bentuk ungkapan
nasionalisme jarak jauh terhadap Indonesia (Dragojlovic, 2010).
Sebagai komunitas diaspora dan exiles, mereka menyimpan dokumen dan
ingatan akan Indonesia sebagai negara yang sedang mempersiapkan tenaga
manusianya untuk mandiri mengelola kekayaan alamnya, termasuk warisan
pemikiran sosial Indonesia. Sebagai komunitas exiles, mereka pun mengungkapkan bentuk lain kekerasan negara
berupa penyingkiran dan pembiaran terhadap warga negaranya sendiri
terkatung-katung dan kehilangan hak dasar sebagai warga negara.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar