Sebagai dasar negara Republik Indonesia (RI) Pancasila
ternyata diakui keunggulannya sebagai alat pemersatu sekaligus penjamin
pluralitas bangsa oleh negara-negara asing, termasuk sejumlah alim ulama di
Afghanistan.
Bahkan 12 orang ulama terkemuka dari 12
provinsi di Afghanistan merasa perlu untuk mempelajari fugsi dan tujuan
pokok Pancasila tersebut hingga rela jauh-jauh datang ke Universitas Gajah
Mada (UGM) di Yogyakarta guna mempelajari hal ihwal Pancasila melalui
dialog konstruktif dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pusat
Studi Pancasila (PSP) UGM.
Para ulama Afghanistan yang dipimpin oleh
Dr. Fazal Ghani dan pengurus PBNU yang dipimpin oleh Dr. Abdul Mun’im tiba
di kampus UGM pada 19 September 2013 dan langsung disambut oleh Rektor UGM,
Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc. Dalam sambutannya beliau menyatakan:
“Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, masyarakat Muslim Indonesia
bisa berdampingan dengan Non-Muslim. Bahkan Borobudur dan Prambanan adalah
peninggalan agama Budha dan Hindu di sini” (19/9/2013).
Rektor UGM juga menerangkan bahwa Kampus UGM
adalah kampus terbuka yang menampung anak-anak muda dari berbagai agama,
suku dan budaya serta memiliki mandat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi bagi kemajuan bangsa.
“UGM juga diberi mandat untuk menjaga
kebudayaan, toleransi dan multikultural. Karena itu di sini ada Pusat Studi
Pancasila (PSP), Program Studi Lintas Agama dan Budaya (PSLAB) dan Pusat
Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP),” ujar Rektor UGM (19/9/2013).
Dengan demikian UGM memandang kedatangan
para pihak tersebut sebagai suatu kesempatan yang baik untuk mempromosikan
nilai-nilai universal Pancasila kepada dunia sekaligus memperkenalkan UGM
sebagai kampus yang turut aktif menjaga pluralitas bangsa dan perdamaian
dunia.
Menanggapi hal ini Wakil Sekretari jenderal
(Wasekjend) PBNU, Dr. Abdul Mun’im, menyatakan bahwa 12 ulama tersebut
ingin mengetahui lebih dalam tentang Pancasila yang diyakini sebagai alat
pemersatu masyarakat Indonesia, yang dikenal sangat majemuk, sehingga dapat
hidup rukun dan damai.
“Mereka
tahu Indonesia bisa rukun karena Pancasila. Mereka ingin belajar, karena
mereka yang hanya punya satu agama saja tidak bisa rukun dan saling
bertengkar,” ujar Wasekjend
PBNU itu di sela-sela acara (19/9/2013).
Dr. Fazal Ghani, pimpinan rombongan ulama
Afghanistan, mengklarifikasi bahwa situasi masyarakat tidaklah seperti yang
diberitakan oleh media-media asing yang menyebutkan masih adanya perang,
bom bunuh diri dan konflik antarkelompok bertikai. Bahkan setiap ulama
selalu menyampaikan pesan pentingnya menjaga perdamaian.
“Sesama
ulama kita selalu mengajak semua ulama bersatu dan memberi pengertian agar
rakyat juga ikut bersatu. Mayoritas rakyat Afghanistan cinta damai, namun
masuknya negara asinglah yang menjadikan konflik antarkelompok di
Afghanistan tidak pernah usai. Bahkan negara luar tersebut berkompetisi
memperebutkan sumber ladang minyak dan gas bumi,” ujar Dr. Fazal Ghani (19/9/2013).
Dengan kata lain situasi konflik terjadi
akibat campur tangan negara-negara asing yang terus-menerus mengadu domba
masyarakat Afghanistan demi kepentingan mereka sendiri, khususnya perebutan
konsesi terhadap hak pengelolaan sumber ladang minyak dan gas bumi. Rakyat
Afghanistan yang cinta damai tidak mungkin saling berperang, berkonflik dan
melakukan bom bunuh diri jika tidak ada hasutan dari negara-negara asing.
Apalagi peristiwa konflik yang terjadi tidak sama dengan berita dari
media-media asing sehingga dicurigai terdapat rekayasa konflik oleh
negara-negara asing.
Adapun Dr. Abdul Mun’im menegaskan bahwa
nilai-nilai universal Pancasila berupa Hak Asasi Manusia (HAM) dan
persatuan nasional jika diterapkan secara konsekuendapat berperan aktif
untuk menghentikan konflik dan mempersatukan kembali rakyat Afghanistan yang
dilanda konflik. Apalagi Afghanistan relatif lebih homogen daripada
Indonesia karena hampir seluruh rakyatnya beragama Islam.
Terkait dengan hal ini Rais Syuriah PBNU,
KH. Saifuddin Amsir, menjelaskan bahwa dengan karakter tasamuh (toleransi)
umat Islam Indonesia tetap bisa menyatu dan bersaudara walaupun
berbeda-beda suku, bahasa dan pulau; bahkan dengan saudara sebangsa (ukhuwwah wathoniyah) yang berbeda
agama atau keyakinan. Hal ini dapat terjadi karena bangsa Indonesia
memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu dan penjamin pluralitas bangsa.
“Pancasila
merupakan cerminan ajaran Alquran tetapi dibahasakan dengan budaya setempat
sehingga bisa diterima oleh kelompok Non-Muslim sekalipun. Mestinya bangsa
Afghanistan yang hampir seluruhnya Muslim ini bisa lebih mudah bersatu,
karena aqidah mereka sama. Hanya saja perlu modal tasamuh yang tinggi,” tegas Rais Syuriah PBNU itu saat berkunjung ke
Kabul, ibukota Afghanistan (4/6/2013).
Sebagai manifestasi dari penerapan
nilai-nilai universal Pancasila, PBNU melakukan langkah-langkah konkret
dalam proses perdamaian di Afghanistan. Salah satu langkah tersebut ialah
dengan mengajak para u’lamaAfghanistan yang berkunjung ke Indonesia untuk
melakukan studi banding ke Pondok Pesantren (Ponpes) Sunan Pandanaran yang
terletak di Dukuh Candi, Desa Ngaglik, Kecamatan Sardonoharjo, Kabupaten
Sleman, Yogyakarta (NU Online,
20/9/2013).
Pesantren sebagai ujung tombak syi’ar dan
dakwah Islam secara langsung di tengah-tengah masyarakat telah dikenal luas
sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu melakukan harmonisasi antara
budaya dan syari’ah dengan semangat mengisi kemerdekaan Indonesia sehingga
cita-cita untuk mewujudkan Islam yang Rahmatan lil A’lamin dapat tercapai.
Hal ini merupakan bentuk pengamalan sila
pertama Pancasila, yakni: “Ketuhanan Yang Maha Esa,” yang mencerminkan
firman Allah SWT dalam Alquran surat Al-Ikhlas ayat 1, yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Dia-lah Allah,
Yang Maha Esa””. Dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu
Wata’ala (SWT) maka sudah sepantasnya manusia sebagai hamba dan kholifah
Allahdi dunia dapat hidup rukun, damai dan harmonis dengan sesamanya dan
seluruh mahluk dalam melaksanakan amanat untuk memakmurkan alam semesta
beserta seluruh isinya.
Dr. Muhammad Sulaiman Nassary, salah seorang
anggota delegasi, menyatakan bahwa mereka mendapatkan pengalaman baru dalam
kunjungan pertamanya ini, baik ke pesantren maupun ke Indonesia. “Ini
sangat menakjubkan,” ujarnya. Anggota delegasi lainnya, Nassar Ahmad, juga
menjelaskan adanya sejumlah perbedaan antara madrasah di Afghanistan dengan
pesantren di Indonesia, antara lain dari segi materi. “Kalau pesantren
nuansa pendidikan tasawuf –nya sangat kental, sementara di sana
(Afghanistan) kebanyakan fokus di bidang fiqih,” ujarnya (20/9/2013).
Dengan kata lain nuansa tasawuf inilah yang
menjadi ciri khas dari sejumlah pondok pesantren di Indonesia, termasuk
Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, yang sekaligus membedakannya dengan
madrasah-madrasah di Afghanistan. Lembaga pendidikan Islam yang hanya
berfokus pada pengajaran fiqih saja tanpa diimbangi dengan pengajaran
ahlaqdan tasawuf hanya menjadikan syari’ah Islam kaku, statis, kehilangan
nilai-nilai estetika dan dipahami secara sempit sertahanya terdiri dari
seperangkat perintah dan larangan saja.
Langkah konkret PBNU lainnya ialah
bekerjasama dengan pemerintah RI dan Afghanistan untuk membangun Pusat
Kajian Ke-Islam-an (Islamic Centre)
yang bersifat inklusif, moderat dan terbuka bagi semua ummat Islam dari
kelompok atau madzhab apa pun. Islamic
Centre tersebut rencananya dibangun oleh pemerintah RI di atas lahan
seluas 5.000 meter persegi di pusat kota Kabul. Diharapkan hal ini dapat
mempercepat proses pembentukan ummat Islam Afghanistan yang hidup rukun dan
damai.
Para ulama Afghanistan mengharapkan agar
pembangunan Islamic Centre oleh pemerintah RI, yang mendapat sambutan luas
dari masyarakat dan pemerintah, dapat menjadi jembatan dalam membangun
kerukunan dan berfungsi untuk mempelajari berbagai madzhab yang ada serta
sebagai tempat menyelamatkan dan mensejahterakan masyarakat (NU Online, 9/6/2013).
Hal ini merupakan bentuk pengamalan sila
ketiga Pancasila, yakni: “Persatuan Indonesia,” yang diterapkan dan
dialihfungsikan dengan makna baru, yakni: “Persatuan Afghanistan”. Sila
ketiga Pancasila juga mencerminkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat
Ali ‘Imran ayat 105 yang artinya: “Dan
janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat”.
Allah SWT melarang ummat manusia, khususnya
ummat Islam, untuk bercerai-berai dan berselisih paham setelah adanya
keterangan yang jelas, bahkan akan memberi adzab (sanksi) yang sangat berat
kepada orang-orang yang bercerai-berai tersebut. Dalam konteks ini ayat
tentang “keterangan yang jelas” dapat dimaknai sebagai kenyataan sejarah
bahwa Afghanistan merupakan negara berdaulat dan hampir seluruh penduduknya
beragama Islam sehingga tidak ada alasan untuk berselisih paham dan
bercerai-berai antarwarga negara.
Hal ini juga sesuai dengan karakter khas NU
yang sangat mementingkan persaudaraan antar sesama warga negara (ukhuwwah wathoniyyah) dan
persaudaraan antar sesama ummat Islam (ukhuwwah
Islamiyyah).
Selama ini banyak sekali masjid dan madrasah
yang dibangun oleh negara tertentu tetapi hanya diperuntukkan bagi kalangan
tertentu sehingga justru semakin meruncingkan permusuhandiantara ummat
Islam. Akibatnya bangunan semacam ini ditolak oleh kelompok-kelompok Islam
lainnya dan menyebabkan hancurnya ukhuwwah
Islamiyyah dan ukhuwwah
wathoniyyah di Afghanistan (NU
Online, 9/6/2013).
Dengan demikian PBNU telah menerapkan
nilai-nilai universal Pancasila seperti HAM dan persatuan nasional dalam
proses perdamaian di Afghanistan, khususnya sila kesatu dan ketiga
Pancasila yang mencerminkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat
Al-Ikhlas ayat 1 dan Surat Ali ‘Imran ayat 105. PBNU mewujudkan hal ini
dengan sejumlah langkah konkrit seperti menyelenggarakan studi banding
tentang Pancaila di UGM, kunjungan ke Ponpes Sunan Pandanaran di Yogyakarta
dan pembangunan Islamic Centre di
Afghanistan.
Hal ini dapat dilaksanakan oleh PBNU berkat
dukungan dan kerja sama erat dengan Pemerinah RI, Pemerintah Afghanistan
serta para u’lama, tokoh masyarakat, dan lembaga/komunitas masyarakat
Afghanistan yang aktif melakukan mediasi konflik dan mendorong terwujudnya
perdamaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar