Tiada
bayi yang lahir sudah bermoral. Karena itu wajar kalau anak sampai umur
tiga atau empat tahun berbuat sukasuka dia sendiri. Ia bisa bermain sama
teman-teman seusianya sambil berlari-larian dan menjerit-jerit tanpa peduli
ada mbahnya yang sakit, atau tetangga yang kebisingan.
Baru sesudah orang tuanya marah, dia berhenti.
Jadi dia berbuat baik (tidak mengganggu orang) karena takut dimarahi
mamanya, takut kena hukuman. Atau bisa juga karena mamanya mengiming-imingi
permen atau mainan. Jadi anak menurut karena mencari hadiah. Psikolog
Lawrence Kohlberg (1927-1967) menyebut perilaku anak yang seperti itu
sebagai tahap paling awal dari perkembangan moral, yang dinamakannya tahap
“taat karena ganjaran (reward)
atau hukuman (punishment).”
Ketika anak itu lebih besar, sekitar enam
sampai sepuluh tahun, dia tidak menunggu dimarahi atau diiming-imingi
hadiah, melainkan sudah menilai situasi yang menguntungkan atau merugikan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, ia tidak mau
mengambil kue pisang di meja, karena ia tahu pisang itu punya ayahnya, dan
kalau ia nekat makan kue itu pasti dia kena marah mamanya.
Kedua, tahap perkembangan moral ini disebut
oleh Kohlberg sebagai tahap perkembangan moral tingkat pertama (TPM 1) yang
dinamakannya tahap prakonvensional, yang lazim ditemukan pada anak-anak.
Ketika anak sudah beranjak remaja, maka dia masuk ke TPM 2, yaitu tahap
konvensional, yang terbagi lagi menjadi dua subtahap perkembangan moral, yaitu
subtahap konformitas dan subtahap tegakkan aturan.
Dalam subtahap konformitas anak berusaha
menjadi anak yang baik, saleh, tidak menyusahkan orang tua, tidak
meresahkan masyarakat, dll. Pada subtahap tegakkan aturan, dia berusaha
untuk mengendalikan lingkungannya agar selalu tertib, aman dan terkendali.
Ia mengingatkan teman-temannya yang berisik, dan memungut kulit pisang yang
tercecer agar tidak menyebabkan orang lain jatuh.
Pada usia dewasa, sampailah orang itu pada TPM
3, yaitu TPM tertinggi yang dinamakan TPM pascakonvensional, yang juga
terbagi dalam dua subtahap. Kedua subtahap terakhir itu adalah subtahap
kontrak sosial, dan subtahap etika universal. Ciri dari TPM 3 adalah sangat
memperhatikan kepentingan orang lain, dan mengalahkan kepentingan diri
sendiri. Orang yang sudah mencapai subtahap kontrak sosial, misalnya,
selalu menepati janjinya sendiri.
Untuk dia, janji adalah utang. Dia tidak mau
orang lain menunggunya, lebih baik dia menunggu orang lain, maka dia selalu
datang lebih awal di tempat perjanjian. Pada subtahapyangtertinggi, etika
universal, bahkan ia sudah tidak lagi memandang manusia berdasarkan ras,
jenis kelamin, golongan, politik, kelas sosial atau agama. Semua manusia
sama saja di matanya, karena itu kebaikanharusdiberlakukannya pada siapa
saja, di mana saja, dan kapan saja.
Tetapi teori Kohlberg itu didasarkannya pada
penelitian di Barat sana, khususnya di Amerika. Di Indonesia, teori itu
terhambat oleh doa orang-orang tua sendiri sejak anak masih dalam kandungan
sampai anak itu berulang tahun ketujuh belas yang bunyinya selalu seperti
ini, “...mudah-mudahan anak ini
menjadi anak yang taat dan berbakti pada orang tua dan menjadi anak yang
saleh/salehah.
Amin, amin, amin (tiga kali), ya rabbal
alamin).” Kalau mengacu ke teorinya Kohlberg, doa orang tua Indonesia
hanya berhenti pada TPM 1 prakonvensional (anak nurut sama orang tua) dan
TPM 2 konvensional, khususnya subtahap konformitas (orang baik-baik).
Hampir tidak ada doa orang tua agar anaknya lebih mementingkan orang lain,
ikhlas melakukan sesuatu demi keperluan orang banyak, tidak senang melihat
orang susah, dan ikut gembira melihat orang senang. Itulah sifat-sifat khas
TPM 3 pascakonvensional.
Maka bisa dimengerti mengapa orang Jakarta
tetap saja menyerobot jalur busway, karena hal itu tidak menyebabkannya
menjadi anak yang tidak taat pada orangtua(orangtuanya pun naik motor
melawan arus) dan tidak menjadikannya anak yang tidak saleh atau salehah.
Mereka baru taat kalau ada polisi. Sangat tipikal TPM 1.
Bisa dimengerti juga mengapa masjid-masjid
selalu penuh setiap Jumat (menunjukkan mentalitas orang baik-baik), tetapi
tawuran dan membajak bus kota tetap jalan. Para pemimpin pun TPM-nya tidak
jauh-jauh dari TPM masyarakatbiasa. Korupsibuat pemimpin tidak melanggar doa
orang tua, bahkan bisa menyejahterakan keluarga dan kerabat. Buat pemimpin
yang rata-rata belum masuk ke TPM 3, walaupun sudah punya cucu, moralitas
mendahulukan kepentingan orang lain, apalagi memandang sesama manusia
sebagai sesama, tidak menjadi pedomannya.
Calon kepala daerah janjijanji waktu kampanye,
tetapi dia lupa pada janjinya ketika sudah terpilih, ya tidak apa-apa.
Kalau ada konflik antarkelompok, pemimpin tidak mencoba mengatasi konflik
dengan memperhatikan kepentingan bersama (termasuk kelompok minoritas),
melainkan membela salah satu kelompok agar dipandang sebagai pemimpin yang
populis. Itu namanya mencari konformitas, bukan menegakkan moralitas.
Sidang DPR paripurna perdana pascareses,
Senin, 18 November 2013, hanya dihadiri sekitar 60-an orang dari lebih dari
500-an anggota. Itu pun konformitas (semuanya juga begitu, kok), bukan
moralitas (biar yang lain begitu, saya tetap begini). Jadi demi mendapat
anggota DPR dan presiden yang punya moral tinggi untuk 20 tahun mendatang
(sudah terlambat untuk 2014), sudah saatnya kita mengubah doa orang tua.
Tambahlah doa kita agar anak menjadi orang
yang amanah, mendahulukan kepentingan orang lain, demi kebaikan bersama,
kesejahteraan dan perdamaian umat sedunia. Amin (sekali saja cukup, karena
Allah tidak tuli). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar