Senin, 04 November 2013

Momentum Perjuangan dan Perubahan

Momentum Perjuangan dan Perubahan
Fathorrahman ;   Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A'wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
KOMPAS, 04 November 2013

TAHUN baru Hijriah merupakan momen pergantian masa yang mengacu kepada perjalanan (sirah) Nabi Muhammad SAW dalam mengemban ajaran Islam.
Migrasi Nabi Muhammad bersama pengikutnya dari Mekkah ke Madinah menjadi babak awal konsolidasi peradaban yang menentukan langkah berikutnya.
Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad, Quraish Shihab menguraikan tiga momen penting dalam proses hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad.
Pertama, Nabi selalu mengawali langkah dengan perencanaan dan perhitungan secara matang sebagai bentuk manifestasi usahanya (ikhtiyar). Kedua, Nabi menganjurkan sikap totalitas dalam melakukan perjuangan tanpa mengharap pemberian dan imbalan apa pun. Ketiga, Nabi menegaskan semangat kolektif untuk mencapai cita-cita bersama. Persatuan dan kesatuan modal utama yang selalu ditegakkan.
Perjuangan kemanusiaan
Ketiga momen tersebut menjadi pelajaran penting bagi kita untuk menentukan arah perjuangan ke depan. Beberapa nilai universal seperti model ikhtiyar yang rasional, berjuang tanpa pamrih, dan semangat persatuan patut dijadikan rujukan agar perjuangan yang akan kita lakukan tidak terjebak dalam cara pandang dan cara tindakan yang parsial dan artifisial.
Banyak sejarawan mengungkap bahwa perjuangan yang dilakukan Nabi pada masa hijrah adalah untuk mengemban misi kemanusiaan melalui tiga aspek: pembangunan masjid, menjalin persaudaraan, dan menggalang kerukunan.
Masjid yang didirikan Nabi bukan sekadar untuk kepentingan ibadah shalat. Juga tempat musyawarah dan konsolidasi untuk menyelesaikan problem kemanusiaan. Bahkan, masjid ketika itu menjadi tempat penampungan kaum miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal.
Persaudaraan yang dijalin oleh Nabi tidak hanya melibatkan internal kaum Muslim. Namun, semangat persaudaraan itu berkembang sebagai basis jalinan solidaritas antargolongan untuk saling menjaga kelestarian perniagaan, ketersediaan pangan, menghargai perbedaan, dan—meminjam istilah Emile Durkheim—solidaritas organik lainnya yang meniscayakan kebersamaan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Kerukunan yang ditegaskan Nabi tersebut untuk menyerukan semangat tunggal ika di tengah kebinekaan keyakinan yang terjadi pada masyarakat Madinah. Bahkan, untuk mengawal komitmen kerukunan tersebut, Nabi merumuskan Piagam Madinah sebagai asas legalitas untuk meluruskan setiap tindak-tanduk yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip kerukunan.
Ketiga aspek tersebut menjadi modalitas sosial yang dapat menggerakkan laju peradaban kehidupan masyarakat Madinah hingga mencapai pola hidup yang moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), inklusif (tawazun), dan berkeadilan (i’tidal). Hal ini tecermin dalam jalinan relasi sosial antara kaum Muhajirin dan Anshar yang saling menghargai perbedaan pada diri mereka. Semangat persaudaraan dan kerukunan yang dikukuhkan Nabi, meminjam Robert N Bellah, membentuk system of belief antarmereka. Dalam perkembangannya, Madinah pun lalu dikenal sebagai ciri masyarakat yang beradab (civilis/tamaddun).
Momentum perubahan
Dalam buku The Change, Rhenald Kasali menyatakan bahwa setiap perubahan membutuhkan energi. Bahkan, keinginan berubah memerlukan langkah perjuangan dan pengorbanan sejati. Dalam hal ini, hijrah sebagai momentum perubahan harus dijalani dengan segala konsekuensi agar cita-cita yang telah disematkan dalam sanubari bisa terwujud sepenuh hati
Sikap totalitas hijrah yang ditunjukkan Nabi telah jadi bukti sejarah bahwa siapa pun yang menginginkan kehidupan lebih baik harus melewati masa-masa sulit. Hal ini agar kegetiran hidup yang merentang di hadapannya tidak hanya dipahami sebagai ancaman, tetapi disikapi sebagai peluang.
Sebagai peluang, hijrah mengajak kita untuk menyadari bahwa perjalanan hidup tidak sepenuhnya datar. Ada beragam lika-liku yang harus dilalui. Maka, perilaku instan, jalan pintas, serobot, dan semacamnya adalah tindakan yang tak dapat dibenarkan.
Hijrah sebagai momentum perubahan yang akan kita lakukan harus menghargai perjalanan waktu karena memang membutuhkan proses yang sangat panjang. Sebab, di sinilah letak perjuangan dan pengorbanan kita, yang pada masanya nanti kita akan tumbuh sebagai manusia yang lebih dewasa.
Sebuah kedewasaan yang tentu saja tidak hanya merujuk pada sistem senioritas. Kedewasaan terletak pada kearifan dalam menentukan perencanaan dan pelaksanaan langkah yang rasional, kearifan dalam melakukan tugas tanpa dipengaruhi oleh tradisi pemberian, dan kearifan dalam membangun semangat kebersamaan sebagaimana tecermin dalam perjalanan hijrah Nabi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar