KEMARIN para dokter mengadakan protes, bahkan
''mogok'', di banyak wilayah. Pemicunya adalah putusan Mahkamah Agung (MA)
RI No 365 K/Pid/2012 tanggal 18 September 2012 yang menghukum penjara dr
Dewa Ayu Sisiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian (dr Ayu
dkk).
Kebetulan, saya
mempunyai setidaknya dua kali pengalaman tidak terlupakan dengan dunia
kedokteran. Kasus pertama, ayah tiri yang membesarkan saya meninggal karena
operasi di sebuah rumah sakit. Saya selaku keluarga diberi rekam medis
setelah berkirim surat kepada direktur rumah sakit tersebut.
Dokumen rekam
medis itu saya konsultasikan kepada dokter kenalan teman saya. Menurut dia,
berdasar hasil rekam medis praoperasi, hasil laboratorium menunjukkan
kekurangan albumin dalam tubuh.
Saya berkirim
surat kembali kepada direktur rumah sakit tersebut untuk menanyakan hal
itu. Lalu, direktur tersebut menelepon saya dan meminta maaf. Saya
bertanya, mengapa tidak diberikan albumin sebelum operasi? Jawabannya,
rumah sakit khawatir keluarga kami tidak mampu membayar karena harganya
mahal. Mereka melihat penampilan kusut kami sebagai orang desa, dianggap
miskin tidak punya duit.
Kasus kedua,
istri saya meninggal dengan diagnosis terakhir terkena infeksi selaput otak
dalam keadaan yang sudah terlambat untuk ditangani. Mulanya, awal-awal
istri saya mengeluh sakit. Saya periksakan ke dokter spesialis dalam
(internis). Lalu, dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap, kecuali USG.
Dokter itu menyatakan bahwa istri saya menderita kekurangan kalium. Tetapi,
beberapa hari setelah minum obat resep dokter tersebut, ternyata sakitnya
tidak reda sehingga saya bawa ke rumah sakit untuk rawat inap (opname).
Sekitar
seminggu dirawat inap di rumah sakit tersebut, dokter yang menangani
menyatakan istri saya sembuh. Tapi, saya kurang percaya. Sebab, keadaannya
masih lemah dan kesadarannya menurun. Dokter bilang, nanti kalau sudah sampai
di rumah makin sehat karena bertemu anak-anak kami. Setelah saya bawa
pulang, kesadaran istri saya justru makin menurun sehingga saya bawa ke
rumah sakit lainnya. Di rumah sakit lain itulah baru ketahuan istri saya
menderita infeksi selaput otak. Akhirnya, dia meninggal setelah dirawat
sekitar 10 hari.
Meski menerima
dua pengalaman itu sebagai takdir, saya mencatat dua hal. Pertama,
terkadang ada dokter yang terlalu meremehkan pasiennya sehingga tidak
terlalu serius dalam menjaga nyawa pasien.
Kedua, ada
dokter-dokter yang ''tidak cakap'', tetapi terlalu yakin dengan
kemampuannya. Diagnosisnya bisa meleset dari ilmu dan pengetahuan serta
pengalaman yang seharusnya dimiliki seorang dokter yang sudah berani
membuka praktik umum. Saking yakinnya, pernah anak saya muntaber. Ketika
dikonsultasikan ke dokter untuk minta resep obat, anak saya malah disuruh
opname. Tapi, ternyata sakitnya sembuh setelah saya turuti nasihat
apoteker.
Tanda Tangan Karangan
Perlu
diintrospeksi, apakah adil para dokter itu ''mogok'' untuk memprotes kasus
yang menimpa dr Ayu dkk? Kita cermati putusan MA itu. Pertama, MA dalam
memutus perkara tersebut tidak dilandasi pendapat hukum yang berdiri
sendiri, melainkan juga berdasar penjelasan bukti ilmiah kedokteran itu
sendiri.
Ada surat
keterangan dari RSU Prof Dr R.D. Kandou Manado No 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010
tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani dr Johannis F. Mallo SH SpF DFM.
Dia menyatakan, sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke
dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga
terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan
fungsi jantung (VER). Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi
pada pemberian cairan obat-obatan atau infus dan bisa terjadi karena
komplikasi dari persalinan itu sendiri.
Keterangan
rumah sakit tersebut diperkuat keterangan para ahli kedokteran, yaitu dr
Hermanus Jakobus Lalenoh SpAn, Prof Dr Najoan Nan Warouw SpOG, dr Robby
Willar SpA, dan Johannis F. Mallo SH SpF DFM. Selain itu, kesembronoan
tersebut dapat dilihat dari tanda tangan yang tertera di lembar persetujuan
operasi (hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada 9 Juni 2010 No
Lab: 509/DTF/2011) yang menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska
Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda
tangan karangan/spurious signature.
Lalu, kenapa
para dokter yang mogok sehari itu hanya meneriakkan protes: ''Jangan
kriminalisasi dokter!'' dengan menunjukkan telunjuk jarinya kepada para
penegak hukum? Mengapa mereka tidak juga menodongkan telunjuk jarinya
kepada dunia kedokteran sendiri yang telah memberikan rekomendasi ilmiah
kepada para hakim untuk memutus perkara tersebut?
Setiap kelompok
masyarakat berhak mengemukakan pendapatnya di muka umum, termasuk para
dokter, dan itu dijamin konstitusi. Tetapi, tindakan mogok melayani
masyarakat menunjukkan sikap tanggung jawab profesi penting yang kurang
memadai.
Gawat bila
golongan kelas menengah memandang bahwa menjalankan profesi mereka bukanlah
kepentingan umum, tetapi kepentingan para pribadi dalam mencari nasib hidup
masing-masing dan golongan. Juga, merasa harus dibedakan dalam perlakuan
hukum sembari melupakan bahwa orang yang berelasi dengan mereka juga punya
hak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar