Minat Baca
Muhidin M Dahlan ; Kerani di Warungarsip
|
TEMPO.CO,
12 November 2013
Masyarakat seperti dikutuk untuk selalu
menjadi dasar bagi lahirnya sebuah proyek dari pemerintah. Tak sudah-sudah.
Di semua bidang kehidupan. Dari soal kebodohan, kekumuhan, hingga minat
baca yang payah.
Saya ingin mengutipkan kegeraman seorang pemikir perpustakaan kelahiran
Jakarta tahun 1959 bernama Putu Laxman Pendit. "Pemerintah Indonesia
bersama beberapa elite Kepustakawanan Indonesia melakukan propaganda lewat
media massa untuk menyatakan bahwa masyarakatlah yang rendah, atau kurang,
atau tidak, memiliki minat baca. Lalu, setelah menyalahkan masyarakat,
mereka akan meminta dana (kepada rakyat tentu saja) untuk menyelenggarakan
sebuah kampanye dalam bentuk upacara-upacara, festival, lomba, atau
membayar tokoh-tokoh masyarakat sebagai duta baca."
Minat baca-bukan budaya baca-adalah frase yang sangat abstrak untuk
menunjukkan bodohnya orang Indonesia berhadapan dengan bacaan. Dan secara
politik, minat baca adalah kutukan yang telak hanya kepada rakyat jelata.
Hanya rakyat jelata yang disisir dengan tajam angka minat baca dan, karena
itu, mereka harus di(h)ajar.
Ketika angka minat baca jeblok ditemukan, disusunlah runtutan asumsi-asumsi
yang berakhir pada "perlu peningkatan" dengan cara proyek ini dan
itu. Putu Laxman Pendit, penulis buku Mata Membaca, Kata Bersama (2007),
ini sudah menyusuri UNESCO dan tak mengenal kata reading interest (minat
baca), melainkan kegemaran membaca (reading habits). Padahal UNESCO ini
selalu menjadi rujukan untuk menentukan data minat baca ini.
Ketimbang terus menjadi sinterklas yang posisinya memberi, aparatur
penyelenggara pendidikan masyarakat sebaiknya menjalankan saja kewajibannya
yang diamanatkan undang-undang untuk membuka ratusan sarana bacaan.
Idealnya, ruang bacaan itu mengikuti banyaknya jumlah desa yang ada di
Indonesia, yakni sekitar 82 ribu desa.
Pemerintah, lewat pendidikan nonformal, memang sudah mendirikan ribuan
Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Namun dari sisi jumlah sama sekali tak
signifikan, yakni tak lebih dari 10 ribu. Dari jumlah sarana baca yang
kecil itu, akses masyarakat terhadap bacaan memang mengalami hambatan luar
biasa.
Kita pun menjadi tahu bahwa bukan pada minat baca itu mula-mula letak
masalahnya, melainkan pada ketersediaan akses dan infrastruktur baca yang
memadai yang menjadi kewajiban negara untuk menyiapkannya. Kita belum
sampai pada soal yang juga tak kalah peliknya bagaimana agar budaya baca
terbangun mengikuti ketersediaan sarana yang ada.
Budaya baca adalah sasaran utama yang dituju dari proyek pencerahan ini.
Dan budaya baca menyaratkan tersedianya sarana baca yang representatif
berupa taman bacaan dengan segenap bentuk kreatifnya. Budaya baca juga
menyaratkan lingkungan di mana masyarakat bebas memilih jenis bacaan yang
ingin dibacanya dan bukannya dipilihkan. Selain ihwal adanya agensi atau
pengelolaan yang baik, kultur baca terbangun oleh kehidupan jaringan.
Domain pemerintah ada dalam penyediaan sarana dan prasarana baca yang
representatif, sementara ketersediaan agensi dan bahan bacaan adalah domain
masyarakat sipil (komunitas literasi, perpustakaan, penerbit). Adapun
arsiran keduanya ada pada pembentukan jaringan dan komunikasi serta
penciptaan lingkungan kebebasan memilih apa yang dibaca. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar