Sudah
jatuh tertimpa tangga, itulah peribahasa yang tepat disandang oleh dr Dewa
Ayu Sasiari Prawani SpOG, dr Hendry Simanjutak SpOG, dan dr Hendy Siagian SpOG,
yang ditangkap tim kejaksaan Manado karena dugaan malapraktik. Bagaikan
gayung tak bersambut, organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia ( POGI), serta pihak RS Prof Dr
Kandou Manado sepakat menuntaskan kasus duagaan malapraktik, namun para
penjaga pilar hukum ber sikukuh untuk menjerat ketiga dokter dengan Pasal
359 KUHP jis Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP atau subsider
Pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yaitu karena kelalaiannya
menyebabkan orang lain meninggal.
Ada apa? Sebab, bahasa kedokteran tak gampang dimengerti kalangan umum, termasuk
para penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Penelitian-penelitian ilmu
kedokteran tidak pernah 100 persen dimengerti oleh mereka, begitu juga
mereka tidak akan paham arti kesembuhan, jika dokter sudah melakukan sesuai
dengan prosedur dan hasilnya lain, itu di luar kuasa dokter. Dokter hanya
bisa ikhtiar dan Allah yang menentukan.
Istilah kelalaian medis makin populer seiring dengan kemajuan ilmu
kedokteran. Demikian pula istilah malapraktik yang pada umumnya diartikan
berkaitan dengan profesi kedokteran (medical
malpractice). Kedua istilah tersebut membingungkan dan sukar dibedakan,
pakar kedokteran pun sering rancu mencampur-adukkan negligence dianggap sinonim saja dengan professional negligence.
Dalam
literaturnya yang disadur dari Mason Smith, Creghton mengatakan, penggunaan
kedua istilah itu sering dipakai bergantian seolah-olah artinya sama. "Malpractice is a term wich is
increasingly widely used as a sinonim for medical negligence." Gunting
tertinggal di perut setelah operasi, selang kateter tertinggal di perut,
dan keracunan gas CO2 sehingga tewas lebih tepat disebut kelalaian medis.
Tetapi, sebenarnya pengertian medical malpracticelebih luas dari medical negligence.
Kelalaian memang termasuk malapraktik, tetapi di dalam malapraktik tidak
selalu harus terdapat unsur kelalaian. Malapraktik dalam arti luas
dibedakan antara tindakan yang dilakukan dengan sengaja yang dilarang UU
serta bermotif tertentu dan tindakan yang dilakukan tidak dengan sengaja
yang tidak bermotif tertentu. Kelalaian medis atau medical negligence atau culpa
merupakan pengertian normatif. Bagaimana tolok ukur menilai kelalaian
tersebut? Para pakar kedokteran sepakat memberikan tolok ukur kelalaian
yang dikenal sebagai 4-D, yaitu duty,
dereliction of that duty, direct caution, damage.
Apa yang dimaksud duty? Kewajiban profesi dokter mempergunakan segala ilmu
dan kepadaiannya untuk penyembuhan atau setidak-tidaknya meringankan beban
penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi medik. Hubungan
dokter-pasien termasuk ikatan berusaha. Itu berarti dokter tidak dapat
dipersalahkan jika pengobatannya ternyata tidak sebagaimana yang
diharapkan, asalkan sudah memenuhi syarat-syarat standar profesi.
Sementara
itu, dereliction of that duty ialah
penyimpangan yang dilakukan dokter, dari apa yang seharusnya dilakukan
menurut standar. Namun, penyimpangan itu tidak diartikan sempit. Hal
tersebut disebabkan dalam ilmu kedokteran terdapat kelonggaran untuk
perbedaan tindakan. Untuk menentukan terdapat penyimpangan atau tidak, harus
ada fakta-fakta yang meliputi kasus itu dengan bantuan ahli dan sanksi
ahli.
Direct caution dan damage bekaitan sangat erat. Untuk dapat dipersalahkan,
harus ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab dan kerugian (damage) yang diderita oleh
karenanya, dan tidak ada tindakan atau peristiwa sela di antaranya. Semakin
banyak gugatan, kalangan dokter merasa semakin ketakutan. Dampak selanjutnya,
tarif dokter semakin mahal untuk berjaga-jaga jika ada tuntuntan di
kemudian hari. Sekarang ini, sudah tidak ada lagi perusahaan asuransi yang
bersedia mengklaim profesi dokter kebidanan dan kandungan karena
tuntutannya terlalu mahal.
Dari keempat tolok ukur tersebut, perlu digarisbawahi bahwa standar baku
yang resmi belum ada di Indonesia, walaupun sudah memiliki UU Kesehatan.
Idealnya, setiap bagian disiplin ilmu kedokteran di rumah sakit (RS) mempunyai
standar baru yang resmi, atau setidaknya RS memiliki sebuah standar
prosedur baku yang harus digunakan secara nasional untuk penyakit yang
paling banyak ditemukan di institusi RS.
Merujuk ke negara maju, standar prosedur mutlak untuk mengevaluasi tindakan
dokter dalam menangani pasien. Tetapi, perlu diingat, di sana, dokter
dituntut pasien adalah hal yang lumrah. Bahkan, mereka cenderung mencari-cari
kesalahan tindakan dokter dalam melayani pasien.
Tetapi,
ada positifnya, yakni dokter menjadi lebih hati-hati dan mutu pelayanan menjadi
lebih bagus. Jadi, sebenarnya pekerjaan rumah kita saat ini ialah membuat
standar profesi baku yang bersifat resmi dan nasional, untuk dijadikan
kiblat bagi semua dokter praktik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar