Selasa, 12 November 2013

Menjerat Koruptor dari Putusan MK

Menjerat Koruptor dari Putusan MK
Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KOMPAS,  12 November 2013
  

APARAT penyidik semestinya menindaklanjuti fakta hukum yang terungkap dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa hasil pemilihan kepala daerah.

Putusan MK yang menyatakan terjadi pelanggaran terhadap penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk membiayai kampanye pilkada bisa jadi pintu masuk membongkar korupsi. Fakta peradilan, termasuk alat bukti (surat) dan putusan MK, berkekuatan hukum final dan mengikat sehingga penyidik tinggal cari alat bukti lain.

Memang putusan MK ada pada ranah konstitusi, tetapi tak berhenti setelah hakim mengetuk palu. Putusan MK perlu dieksekusi lembaga lain, seperti Komisi Pemilihan Umum daerah untuk perkara pilkada dan penyidik untuk kasus pidananya. Di sinilah kelemahan penegak hukum, putusan MK seakan tidak berlaku bagi penyidik KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk melakukan langkah hukum.

Begitu banyak fakta hukum dalam sengketa pilkada yang diputus MK berpotensi merugikan keuangan negara. Namun, MK tak berwenang memeriksa dan mengadili. MK sebatas memutus dari sisi konstitusi, apa korupsi APBD memengaruhi hasil pilkada yang ditetapkan KPUD.

Kalau polisi dan kejaksaan tak berani menindaklanjuti putusan MK, hanya kepada KPK kita berharap. KPK pun jangan hanya eksis di Pulau Jawa. Indonesia selaku negara hukum, seperti ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke, yang juga wilayah hukum KPK.

Apalagi di daerah, terutama di bagian timur Indonesia, begitu banyak kasus korupsi, termasuk korupsi APBD untuk kepentingan pilkada. Kalau KPK selalu beralasan kekurangan penyidik, lalu untuk apa KPK didukung dan dibesarkan dengan anggaran besar jika tidak mampu merambah seluruh wilayah Indonesia.

Khusus polisi, sebetulnya telah ada nota kesepahaman MK dengan kepolisian terkait dengan tindak lanjut putusan MK yang bernuansa pidana. Itu karena MK hanya menjadikan pelanggaran pidana pilkada sebagai dasar putusan jika pelanggaran itu bersifat ”sistematis, terstruktur, dan masif” yang dilakukan KPUD atau pasangan calon tertentu sehingga memenangi pilkada.

Penyidik tak harus berdasarkan pada pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif. Yang penting unsur perbuatan yang dilarang terpenuhi, berupa ”perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang” yang berpotensi merugikan keuangan negara, sehingga bisa dilakukan penyidikan.

Beragam pelanggaran pilkada, mulai dari penggelembungan suara, penetapan pasangan calon yang tak sah, politik uang, hingga penyalahgunaan dana APBD oleh calon petahana, seharusnya ranah bagi lembaga antikorupsi. Dalam persidangan di MK, begitu banyak terungkap fakta, memang terjadi pelanggaran dan kecurangan dalam pilkada dengan menggunakan dana APBD. Kendati belum tentu keterangan saksi dari pemohon, termohon, dan pihak terkait benar, jika sudah diputuskan terjadi tindak pidana, semestinya ada proses hukum di ranah pidana.

Perlu koordinasi

Berdasarkan data putusan MK yang terungkap di media massa, tahun 2013 sengketa hasil pilkada sebanyak 119 perkara. Dari jumlah itu, 112 perkara diputus dengan rincian: 10 permohonan dikabulkan; 73 permohonan ditolak; 25 tak diterima; 3 permohonan ditarik kembali; dan 1 permohonan gugur. Dari perkara itu, fakta hukum terjadi penyalahgunaan dana APBD oleh calon petahana cukup banyak ditemukan.

Calon petahana kepala daerah begitu kasatmata memanfaatkan fasilitas negara untuk kampanye, termasuk menggunakan jaringan birokrasi untuk meraih dukungan. Untuk mengungkap kasus korupsi dari putusan MK terkait dengan sengketa pilkada, butuh koordinasi yang efektif antar-penegak hukum. Sayangnya, belum terjadi tertib hukum dan administrasi antar-penegak hukum untuk menyikapi fakta hukum yang terungkap dalam putusan MK. Format MOU antara MK dan kepolisian hanya sebatas di atas kertas. Polisi belum berani melakukan penyidikan.

Masalah interkoneksitas lembaga antikorupsi dan peradilan hukum harus menjadi acuan untuk mengamankan dana APBD dari kepentingan pilkada. Tak boleh ada pemikiran: sengketa pilkada adalah ranah MK sebagai peradilan konstitusi dengan menafikan fakta hukum terkait dengan penyalahgunaan wewenang terhadap dana APBD. Dalam membangun demokrasi langsung, semua harus bersinergi karena demokrasi hanya tegak jika hukum hadir di dalamnya.

Bukan hanya itu. Badan Pemeriksa Keuangan juga perlu reaktif melakukan audit investigasi terhadap penggunaan dana APBD dan APBN yang terkait dengan pilkada. Misalnya, pengunaan dana hibah dan bantuan sosial oleh calon petahana yang kemungkinan dipakai untuk kepentingan pilkada. Itu karena ada kecenderungan, dana hibah dan bantuan sosial biasanya dicairkan menjelang hajatan pilkada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar