Jumat, 22 November 2013

Meningkatkan Kultur Litbang

Meningkatkan Kultur Litbang
Unggul Sagena Magister Teknologi Pemerintahan, Ragnar Nurkse School of Innovation & Governance, Tallinn University of Technology, Estonia
KORAN JAKARTA,  21 November 2013



McKinsey Global Institute memprediksi tahun 2030 ekonomi Indonesia akan menjadi nomor tujuh dunia bila mampu mengatasi berbagai tantangan pembangunan. Saat ini (Friedman, 2005), efek globalisasi mengakibatkan negara-negara miskin dan berkembang berusaha memperbaiki diri agar tidak diserbu gelombang tenaga kerja dan produk konsumsi dari luar negeri. Regionalisasi ASEAN salah satu efeknya, dan reformasi birokrasi sebagai langkah internalnya.

Seperti dikutip Koran Jakarta (Jumat, 15 November 2013), Wakil Menteri PAN & RB, Eko Prasojo, menyatakan perlu teknologi, inovasi, dan kreativitas serta birokrasi yang efektif. Kultur birokrasi harus berubah dengan menghadirkan inovasi riset dan teknologi. 

Sains, teknologi, dan inovasi (STI) yang dijadikan sebuah sistem (National Innovation System) menjadi kunci kompetisi. Indonesia harus mampu berubah dari "negara konsumen" menjadi produsen barang dan jasa. Selanjutnya, Indonesia haru mampu menguasai pasar internasional di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Bangsa Indonesia juga harus dapat memanfaatkan TIK untuk menggandakan produktivitas pertanian dan perbaikan kualitas produk barang ekspor unggulan. Dengan begitu, kelak, pemanfaatan TIK bisa menyejahterakan rakyat.

Mendiang Alice Amsden, dalam dua master piece terakhirnya, yaitu Asia’s Next Giant (1989) dan The Rise of the Rest (2001), membuktikan bahwa kebijakan yang sama berhasil diterapkan di Asia Timur seperti Taiwan dan Korea. Tak hanya milik dunia Barat, dan tak melulu gagal seperti hipotesis Prebisch-Singer yang mengobservasi Amerika Latin dalam kaitannya dengan dependensi pada Amerika Serikat dekade yang sama di saat "ketertinggalan" negara-negara Asia timur. Korea Selatan, misalnya, membangun perekonomian dengan kluster-kluster teknologi dan inovasi, science & technology park secara konsisten. 

Berasal dari negara yang tergolong miskin di tahun 1960 dengan GDP per kapita kurang dari 100 dollar AS, ekonomi Korea secara fantastis berubah menjadi leading middle-income country hanya dalam rentang satu generasi (20.000 dollarAS tahun 2011). Sukses ini erat kaitannya dengan budaya tradisional, lingkungan sosiopolitik modern, termasuk kebijakan Korea dalam bidang penguasan STI sehingga memunculkan negeri ginseng yang hebat. Begitu pun negara-negara lain sebagai "the rest" dan "next giant" yang disebut Amsden dalam karyanya. 

Indonesia 

Di Indonesia, telah ada inisiatif dasar dari sisi kebijakan untuk memperbaiki ketertinggalan dalam STI. Peran Komite Inovasi Nasional (KIN) yang dibentuk Presiden pada Mei 2010 lalu memainkan peran penting dalam arah sistem inovasi nasional yang implementasinya menjadi tanggung jawab Kementerian Riset dan Teknologi dan Dewan Riset Nasional serta institusi terkait lainnya.

Saat ini, KIN telah membuat road map untuk mencapai visi Indonesia sebagai ekonomi berbasis inovasi tahun 2025 dengan pendorong utamanya teknologi. Restrukturisasi dan perbaikan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong sebagai science & technology park juga merupakan salah satu jalan menuju kompetisi dalam inovasi. 

Penelitian dan pengembangan (litbang) yang direpresentasikan melalui lembaga-lembaga riset tadi memainkan peranan penting proses inovasi ini sehingga menghasilkan output berguna bagi bangsa secara ekonomi.

Di Indonesia, pendanaan pemerintah masih menjadi andalan litbang. Investasi riset dan pengembangan masih rendah, dan kalangan bisnis pun lebih berkonsentrasi di sektor manufaktur dengan karakter industri teknologi rendah. Litbang Indonesia memang masih sangat kurang.

Proyek-proyek pusat inovasi usaha kecil menengah (UKM) sebagai perusahaan start-up juga memerlukan lebih banyak perhatian pemerintah dan dunia usaha. Selain itu, pembentukan triple-helix unit litbang di universitas perlu didorong agar dapat menjadi kawah candradimuka yang menghasilkan perusahaan start-up baru.

Komersialisasi hasil riset masih tertinggal jauh karena tidak paham akan kesadaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI). Ini membuat banyak pembajakan dan sedikit paten yang didaftarkan. Jaringan riset dan inovasi internasional antaruniversitas juga sangat kurang. Padahal "international co-authorship" dan "international co-patenting" sangat membantu mengatasi tantangan inovasi global. 

Kesenjangan infrastruktur, seperti Internet, antara negara Timur dan Barat terjadi karean geografis. Padahal, penerapan e-government yang sangat bergantung pada kepemimpinan daerah menghambat perkembangan STI Indonesia. 

Transformasi institusi litbang sebenarnya sudah dimulai tahun 2002 melalui terbitnya UU No 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan serta Teknologi (UU Sisnas Litbang Iptek). Namun, pada praktiknya, masih banyak kendala seperti sumber daya manusia dan pengorganisasian litbang nasional hingga daerah. Pendanaan APBN dan APBD menyebabkan konsep litbang kadang hanya "menghabiskan anggaran" dan membuat laporan seadanya. 

Secara sosiologis, paradigma tradisional di mana SDM peneliti dianggap PNS biasa mungkin menjadi salah satu penyebab. Status PNS membuat mereka bekerja hanya sesuai dengan jam kantor sehingga litbang tak berkembang.

Budaya meneliti kalah dengan "budaya proyek" karena tujuan utamanya mencari dana. Dibutuhkan penguatan kelembagaan yang konkret sebagai tindak lanjut UU Sisnas Litbang Iptek tersebut. Juga diperlukan kultur organisasi yang mendukung budaya penelitian. 

Kuantitas dan kualitas SDM litbang yang berperan untuk inovasi menjadi salah satu determinan kunci dalam sistem STI. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN harus mampu membentuk kultur intelektual. Peningkatan intelektual riset harus lebih banyak dilakukan secara sistematis dan masif agar terbentuk kultur "budaya prestasi". Ini antara lain dapat ditempuh dengan beasiswa pendidikan maupun pelatihan. 

"Triple-Helix"

Secara institusional, kerja sama antara universitas (akademis), industri (bisnis), dan pemerintah yang sering disebut pendekatan triple-helix (Etzkowitz, 2007) saling bersinergi. Universitas memerlukan berbagai upaya agar kualitas pendidikan meningkat. Demikian juga dengan kualitas riset dan pengabdian masyarakat. 

Pemerintah juga mendanai triple helix bagi universitas. Perguruan tinggi, selain meriset murni, menjadi pusat pengembangan produk, inkubasi UKM berbasis inovasi teknologi dengan dukungan finansial pemerintah dan industri. Dengan begitu, usaha-usaha litbang universitas kelak berkembang independen, menjadi start-up companies, dan menghasilkan produk inovatif berdaya saing serta berdaya jual tinggi.

Insentif pemerintah berupa dana riset baru-baru ini kepada lima perguruan tinggi negeri dalam pengembangan mobil listrik sebagai mobil nasional merupakan salah satu contoh.

Tantangan Indonesia ke depan adalah meningkatkan kapabilitas litbang dari sisi SDM, investasi, dan infrastruktur. Ini demi upaya bangsa menggerakkan perekonomian berbasis inovasi. Tujuan akhirnya tentu demi kesejahteraan rakyat. Kalau bisa, lebih singkat dari prediksi McKinsey.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar