Rabu, 06 November 2013

Mengasihani Sejarah

Mengasihani Sejarah
Reza Indragiri Amriel ;   Mantan Ketua Delegasi Indonesia pada Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia, Associate Trainer Sekolah Guru Indonesia
SINAR HARAPAN, 04 November 2013

Belum lama ini saya menangis di depan kelas, di hadapan mahasiswa-mahasiswa saya, sesaat setelah bercerita selintas tentang ketakjuban saya pada sejarah Yogyakarta yang sarat unsur filosofis, magis, patriotis, akademis, bahkan romantis.

Sepekan sejak “insiden” di ruang perkuliahan itu, mesin pemutar CD di rumah dan kendaraan saya hampir tak putus-putus memperdengarkan “Tanah Air” karya Ibu Soed. Lagu itu menyajikan cara yang sesungguhnya amat sederhana tentang bagaimana seharusnya negeri ini diasuh.

Simak saja, tanahku yang kucintai // engkau kuhargai.

Kata “harga” dalam lirik lagu itu, tentu bermakna konotatif. Tanah Air Indonesia ini justru tak ternilai. Tak bisa dihargakan, apalagi dengan satuan mata uang rupiah yang belakangan ini nilainya kembali merosot tak karuan. Bilangan angka sepanjang apa pun tetap tidak bisa mewakili harga Indonesia, satu-satunya cara untuk menghargainya adalah dengan menjaganya.

Hanya mereka yang memiliki harga diri yang mampu melakukan itu—harga yang juga punya arti konotatif.

Tragisnya, hilangnya empat koleksi emas berumur ribuan tahun dari Museum Nasional, merupakan bukti tak terbantahkan bahwa negeri ini memang berharga. Kali ini “harga” dengan makna denotatif, karena barang-barang tak ternilai itu akan dilecehkan dengan dibubuhi harga sesuai mata uang tertentu di pasar gelap.

Tragedi pencurian benda-benda historis bukan baru kali ini terjadi. Pada waktu lampau, sekian banyak benda bersejarah juga dikabarkan lenyap dari Museum Kasepuhan Cirebon, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, dan Museum Radya Pustaka Solo.

Bagaimana barang-barang itu bisa diambil dan siapa gerangan pelakunya, tidak ada kabar beritanya hingga kini. Jangankan ditemukan kembali, sampai sekarang tidak pernah terdengar satu retorika pun yang disuarakan aparat keamanan kita seperti saat mereka memburu teroris, bahwa koleksi-koleksi tak ternilai itu pasti akan dicari hingga dapat.

Situasinya menjadi ironis. Saat negeri jiran berusaha merampok aset budaya nasional semacam angklung, Tari Pendet, dan Reog Ponorogo, masyarakat Indonesia langsung naik pitam. Dipertontonkanlah tekad bahwa Indonesia adalah pemilik aset-aset tersebut, bukan Malaysia.
Indonesia sang empunya sejati, dari gestur yang didemonstrasikan langsung termaknakan bahwa niscaya hanya di Indonesia pula aset-aset tadi akan lestari. Namun, manakala tidak ada satu pun negara asing yang mencuri koleksi-koleksi museum kita, justru—bisa dipastikan—orang Indonesia yang bertindak sebagai malingnya.

Seperti apa profil psikologis para pembobol museum itu tidak menarik bahkan peduli setan untuk dibicarakan. Namun, tentunya mereka tidak menghargai sejarah.

Mereka boleh jadi tidak pernah mengenyam bangku sekolah, walau kecil kemungkinan itu. Atau, lebih mungkin, mereka pernah berstatus sebagai anak sekolah, namun tidak menggemari pelajaran sejarah yang pada gilirannya menjadi pondasi mencintai bangsanya.

Kenapa mereka tidak menyukai pelajaran sejarah, barangkali ada banyak penjelasan. Tapi satu yang krusial, hemat saya, itu adalah efek kegagalan guru mengajarkan sejarah pada anak-anak didik mereka.

Membosankan

Semasa SD, mata pelajaran yang membahas sejarah adalah jam-jam yang saya rasa membosankan. Lanjut ke SMP, materi yang sama, ketika diajarkan di sekolah justru berefek kontraproduktif terhadap berseminya nasionalisme saya.

Beruntung, saban tahun TVRI—bahkan, seingat saya, semua stasiun televisi—tak pernah lalai 
menayangkan film Pengkhianatan G30S. Terlepas dari kontroversi tentang propaganda politik yang disebut-sebut kental dalam film tersebut, yang jelas midnight show akhir September itu berhasil merawat kepedulian saya pada sejumput episode penting dalam riwayat Indonesia.

Begitu pula di bangku SMA. Mata pelajaran sejarah yang disajikan di kelas adalah hidangan hambar tak berguna. Batin saya, persetan sejarah karena saya hidup pada masa kini dan berjalan ke masa depan.
Mujur, saya terselamatkan karena pada masa yang sama radio Geronimo FM di Yogyakarta memutar sandiwara radio berseri, seperti Tutur Tinular. Tepat pukul 12.30 setiap siang, Senin hingga Jumat, sambil berbaring di ranjang indekos, sandiwara itu mengajak saya napak tilas ke legenda fenomenal Kerajaan Majapahit.

Itulah momen ketika untuk pertama kalinya saya sepenuh hati belajar sesuatu tentang sejarah Nusantara, bahwa ternyata cagak-cagak kemasyhuran negeri ini dipancangkan di atas genangan darah anak-anak kandungnya sendiri.

Masih terang ingatan saya tentang prosesi penyiksaan terhadap para kriminal di lapangan Majapahit. Mengerikan karena penuh kebiadaban. Juga saat Jayanagara, raja kedua Majapahit, mengumbar rayuan binalnya pada gadis-gadis yang terbuai iming-iming menjadi permaisuri maupun selir raja.

Menggairahkan, panas oleh buncahan berahi terlarang. Juga mengagumkan, karena suara efek berupa benturan pedang dan ringkik kuda prajurit-prajurit Majapahit saat menumpas pemberontakan terdengar penuh sesak dengan gelora tekad membangun sebuah peradaban.

Sejak itulah, saya baru benar-benar bisa mencintai Indonesia dan pastinya mengasihi Yogyakarta. Sejarah, sungguh bukan kegiatan menghapal nama atau omong kosong jika melulu mengingat-ingat waktu kejadian suatu peristiwa. Panca indra memang penting. Namun, pada puncaknya, hati yang menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai sesuatu yang bersukma.

Hanya guru yang juga menggilai sejarah dengan hatinya yang akan mampu menulari anak-anak didiknya dengan kegilaan yang sama. Celakanya, masih kurang banyak guru-guru yang sanggup menghidupkan nuansa dramatis di kelas kala mengajar sejarah.

Mereka sukses menuntaskan bahan pelajaran, tapi gagal mereka ulang peristiwa di dalam kelas. Pengetahuan tentang nama dan kronologi peristiwa berhasil ditransfer ke siswa. Namun, saking rapinya para siswa kehilangan keleluasaan untuk menyutradarai foto-foto itu menjadi film-film kreatif buah karya penghayatan mereka masing-masing.

Arifin C Noer, di balik layar Pengkhianatan G30S, serta S Tijab dkk, di belakang lembaran kisah Tutur Tinular saya daulat sebagai “guru-guru sejarah” sejati berkat kesaktian mereka memanggil ruh tokoh-tokoh besar masa silam, hingga bergentayangan di alam khayali saya.

Kembali ke ihwal aksi maling menggasak koleksi museum, rendahnya penghargaan terhadap sejarah sebenarnya juga tampak pada bentuk-bentuk perangai yang lebih “lunak”. Banyak sekali pengunjung museum yang tidak bisa menahan diri untuk tidak menjamah benda-benda koleksi.

Sayangnya, pada saat yang sama, tidak ada tanda larangan untuk itu. Penyepelean serupa terlihat pada rombongan wisatawan yang tega-teganya meminta rabat untuk karcis masuk museum yang harganya hanya ribuan perak.

Padahal, jika mereka memaklumi nilai penting koleksi museum, mereka seharusnya bergumam, “Ribuan rupiah? Gile bener!” lalu menyumbang dengan membeli karcis lebih banyak daripada jumlah peserta rombongan.

Apa boleh buat, sejak kanak-kanak kita diasah untuk merajut cita-cita. Masuk ke lingkungan pendidikan dan dunia kerja, ditempa untuk membangun visi. Itu bagus. Masalahnya, seberapa besar kehirauan yang sama tertuju pada masa lalu, pada sejarah? Faktanya, peminat program studi sejarah di perguruan tinggi dari tahun ke tahun terus menurun.

Ya, saat ini ada kegemparan akibat lenyapnya koleksi Museum Nasional. Itu pun lokal dan jangka pendek sifatnya. Yang sesungguhnya lebih merisaukan namun tak menghebohkan, sekaligus sebagai latar aksi pencurian itu, adalah tergadainya harga diri kita dan nilai bangsa ini. “Kasihan....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar