Target aset perbankan syariah pada akhir
2013 sebesar Rp 268 triliun tampaknya akan sulit terwujud. Terlebih,
belakangan ini, kondisi perekonomian Indonesia tengah tertekan, yang
berdampak pada industri perbankan secara keseluruhan. Maklum, per September
2013, aset bank syariah dan unit usaha syariah (Bank Umum Syariah/BUS) baru
mencapai Rp 227 triliun. Adapun pembiayaan yang dukurukan mencapai Rp 177
triliun sedangkan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun sebesar Rp 174
triliun.
Aset industri perbankan syariah baru
mencapai 4,9 persen dari total aset perbankan konvensional. Industri
perbankan syariah sendiri tumbuh sekitar 35% secara tahunan. Pertumbuhan
tertinggi justru didukung oleh unit usaha syariah (UUS) yang tumbuh secara
tahunan sebesar 50-60%. Dengan dukungan kuat dari bank induknya, UUS justru
bisa mencapai target rencana bisnisnya. Saat ini ada sekitar 11 bank
syariah, dan 24 UUS di Indonesia. UUS artinya masih bergabung dengan bank
induknya, belum memisahkan diri (spin off) menjadi bank syariah.
Berdasarkan fenomena itu, terlihat jelas
bahwa pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia masih belum sepesat yang
dibayangkan. Dilihat dari perbandingan pertumbuhan antara bank syariah
dengan UUS dari BUS terlihat jelas, masalah network (jejaring) kantor
cabang menjadi kendala yang harus dipecahkan oleh perbankan syariah.
Menyadari masalah ini, Bank Indonesia (BI) sebagai regulator perbankan
syariah mencoba mencari solusi, dan yang akan dikeluarkan adalah aturan
mengenai leveraging perbankan syariah.
Leveraging
Adalah Direktur Kepala Group Penelitian
Perkembangan dan Regulasi Perbankan Syariah BI, Ahmad Buchori yang
menjelaskan persoalan ini. Aturan ini menegaskan bahwa perbankan syariah
bisa menggunakan jaringan kantor induknya untuk melayani masyarakat atau
sebagai office chanelling, mirip yang sudah terjadi di kalangan BUS dengan
UUS-nya. Inti aturan ini, agar BUS atau bank syariah dapat memanfaatkan
jaringan konvensional milik induknya. BI menargetkan, regulasi mengenai
masalah ini akan dapat terbit akhir 2013 atau setidaknya akan mulai berlaku
tahun 2014.
Misalnya, sebuah bank syariah yang sudah
memiliki kantor cabang di Bandung ingin menarik dana pihak ketiga (DPK) di
luar wilayah Bandung, tetapi masih di Jabar. Bank syariah tersebut dapat
menggunakan jaringan bank induknya yang konvesional untuk melayani
pengumpulan DPK yang berada di luar wilayah Bandung, seperti Sukabumi,
Bogor, hingga Cianjur.
Bahkan dalam aturan yang akan dirilis ini, bank
syariah yang menggunakan jaringan kantor cabang bank konvensional induknya,
tak perlu mempekerjakan pegawainya dalam melayani masyarakat.
Pelayanan tersebut dapat dilakukan oleh
pegawai kantor dari bank konvensional, yang merupakan jaringan induk bank
syariah tersebut. Syaratnya sederhana, harus ada kantor cabang induknya
terlebih dahulu. Selain menarik DPK, aturan ini juga akan membolehkan bank
syariah atau BUS menggunakan jasa konsultasi milik bank konvensional
induknya. Jasa konsultasi tersebut biasanya digunakan jika terkait dengan
pembiayaan berskala besar seperti pembiayaan korporasi, infrastruktur dan
pembiayaan besar lainnya.
Penggunaan jasa konsultasi tersebut karena
selama ini bank syariah belum memiliki banyak pengalaman menangani
pembiayaan berskala besar. Selama ini bank syariah banyak menangani
pembiayaan UMKM. Oleh sebab itu, kalau menangani pembiayaan debitur kakap,
bisa bekerja sama dengan induknya. Kunci utama dalam regulasi ini adalah
koordinasi antara BUS dengan induknya, dan juga hubungan sister company antara
bank syariah dengan bank induknya.
Aturan ini setidaknya merupakan respon BI
terhadap perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia. Bahwa untuk
akselerasi bisnis perbankan syariah dibutuhkan network (jejaring kantor
cabang). Kalau mengandalkan pertumbuhan organik bank syariah, maka pertumbuhan
jejaring ini akan menjadi kendala tersendiri. Padahal, BI belakangan tengah
gencar mengenalkan branchless banking atau jejaring bank tanpa kantor
cabang.
Perkembangan ini mirip dengan branchless banking di perbankan umum.
Beberapa bank, sampai akhir tahun ini tengah
melakukan uji coba branchless banking. Mereka bisa beroperasi tanpa kantor
cabang baru, namun dengan menjalin kerja sama dengan pihak ketiga sebagai
kepanjangan tangan dari perbankan, bisa berupa koperasi, kantor pos atau
yang lainnya. Kecenderungan perbankan ke depan memang semacam itu.
Perbankan syariah juga bisa mempercepat akselerasinya dengan bekerja sama
dengan kantor cabang bank induknya. Dengan demikian, industri perbankan
syariah diperkirakan akan dapat tumbuh pesat, layaknya bank konvensional.
Regulasi ini juga akan menumbuhkan budaya bank syariah minded sebagai salah
satu prasyarat akselesasi pertumbuhan.
Upaya ini juga sebagai bagian dari usaha
memelekkan masyarakat akan perbankan syariah (literacy keuangan syariah).
Harap maklum. Sampai sedemikian jauh perkembangan perbankan syariah di
Tanah Air, ternyata masih banyak anggota masyarakat yang buta terhadap
perbankan syariah.
Padahal, ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Maka,
untuk bisa semakin menjangkau banyak kalangan agar menggunakan jasa
perbankan syariah, salah satunya adalah dengan memperluas jejaring kantor
cabang. Jadi, leveraging perbankan syariah dimaksudkan sebagai upaya untuk
menggaet pasar yang lebih luas lagi.
Akhirnya, industri perbankan konvensional
dan perbankan syariah memang harus saling bekerja sama menggarap pasar
domestik dan manca negara yang lebih luas lagi. Di antara keduanya memang
harus dicarikan sinergi yang saling melengkapi sehingga tercipta kerja sama
yang saling win-win, bahkan
sinergis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar