TENTU saja kita semua penyayang keadilan mengamini
putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Angelina Sondakh. Bukan hanya
karena keberanian MA yang menghukum berat. Tetapi, ini seperti oase di
tengah kehausan keadilan. Seperti sebongkah harapan pada kegersangan hukum
yang terkadang membuat kita jengah: antara malu dan bosan.
Putusan MA
melalui majelis hakim kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar itu memang
patut diapresiasi. Tentu saja apresiasi kita semua merupakan hal wajar.
Pidana ''bonus'' bagi janda almarhum Adji Massaid dari 4 tahun 6 bulan
menjadi 12 tahun itu bagaikan mengobati rasa jengah kita. Itu juga bisa
menjadi titik balik panggung sandiwara hukum yang selama ini
mempertontonkan adegan kocak dan membuat kita tersenyum pahit.
Di luar
apresiasi kita, vonis berat bagi Putri Indonesia 2001 tersebut bagaikan
mengirim pesan penting. Sebuah pesan yang sengaja dikirim dari kamar pidana
gedung MA kepada kita semua. Pengirim pesan itu seolah ingin mengatakan, ''Masih ada keadilan di sini, di MA.''
Dengan begitu,
kita yang selama ini melihat suramnya penegakan hukum mendapat secercah
harapan. Melihat setitik cahaya yang semoga akan menjadi efek penegakan
hukum selanjutnya. Inilah optimisme yang secara perlahan menyeruak dari
balik gedung MA. Inilah potret baru penegakan hukum yang dimotori Artidjo
Alkostar itu.
Optimisme penegakan
hukum tersebut mengingatkan kita pada legenda hakim keras dan adil dari
negeri Tiongkok: Hakim Bao. Hakim pemilik nama lengkap Bao Zheng yang hidup
pada 999 sampai 1062 itu dikenal sebagai hakim dan negarawan terkenal zaman
Dinasti Song Utara. Meski kita mengenalnya sebagai hakim bersih, oleh
musuh-musuhnya, dia kerap disebut Si Hitam Bao karena kulitnya yang memang
legam.
Hakim Bao yang
populer itu menghiasi banyak karya literatur sejarah Tiongkok. Tak heran,
kita di Indonesia pun mengenalnya dengan familier lewat serial drama
Justice Bao pada dekade 90-an. Karena ceritanya yang menginspirasi
penegakan hukum, sosok Hakim Bao juga kerap menjadi aktor dalam opera dan
drama.
Memang, hakim
sekelas Artidjo Alkostar barangkali tidak sama dengan Hakim Bao. Tetapi,
semangat Artidjo yang cenderung berani melawan arus demi keadilan bagaikan
mewarisi watak Hakim Bao. Hakim agung yang berlatar pengacara jalanan
tersebut pantang didikte siapa pun. Karena itu, tidak jarang hakim kurus
kelahiran Situbondo berdarah Sumenep (Madura) tersebut berani dissenting
opinion dengan hakim lain dalam beberapa perkara.
Sejak berbeda
dalam menangani kasus Soeharto, ketika hakim agung lainnya menghendaki
dihentikan, Artidjo tidak hanya sekali dua kali memutus berbeda suatu perkara.
Saat dua koleganya membebaskan Joko Tjandra dalam kasus korupsi Bank Bali,
dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu menghendaki
pidana, meski harus kalah suara. Tetapi, pendapat Artidjo yang berbeda
akhirnya dimasukkan dalam putusan.
Belakangan,
kegarangan Artidjo makin terasa. Mulai menghukum Anggodo Widjojo dari 5
tahun menjadi 10 tahun penjara, menghukum mantan Bendahara Umum Partai
Demokrat M. Nazaruddin dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara,
hingga Gayus Tambunan yang dipidana 12 tahun penjara dari sebelumnya 7
tahun penjara.
Oktober lalu
Artidjo juga menambah secara dramatis hukuman seorang bandar narkoba Alung
alias Ananta Lianggara yang asli Surabaya. Dia memberikan ''bonus'' hukuman
dari sebelumnya hanya setahun penjara di tingkat PN dan PT menjadi 20 tahun
penjara.
Sebelum
memvonis Angie, Artidjo juga memperberat hukuman Tommy Hindratno, pegawai
pajak di Kantor Pajak Sidoarjo yang terlibat suap. Artidjo selaku ketua
majelis menambah hukuman 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun penjara. Dia
bersama dua hakim agung lainnya juga menambah hukuman Zen Umar, direktur PT
Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun.
Semua itu cukup
menegaskan kepada kita kiprah ''Hakim Bao'' modern seperti Artidjo. Dengan
begitu, mereka yang berada dalam lingkaran putusan ''neraka'' karena ketuk
palu Artidjo tidak bisa menyebut ini sebagai pencitraan. Apalagi menyebut
sebagai putusan untuk mendapatkan tepuk tangan seperti yang disebut Teuku
Nasrullah, pengacara Angie.
Bahwa vonis MA
melalui tangan Artidjo ini disebut hanya memuaskan keinginan publik, tentu
tidak masalah. Sebab, publik memang menunggu terobosan hukum seperti yang
dilakukan Artidjo ini sehingga putusan yang dibuat dirasakan adil oleh
masyarakat.
Hanya, apakah cukup
seorang Artidjo Alkostar bermain peran sendiri dalam panggung mulia
penegakan hukum? Tentu tidak. Seleksi hakim agung akan menjadi titik
masuknya. Mereka yang berhak menjadi hakim agung harus mewakili keadilan
masyarakat. Bukan mereka yang tersandera oleh apa pun. Seperti halnya Hakim
Bao, berani menghukum karibnya sendiri. Kita tunggu saja kiprah ''Hakim Bao-Hakim Bao'' yang lain
dari spirit ketegasan Artidjo Alkostar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar