|
SETIAP
10 November bangsa kita memiliki romantika sejarah yang terus dikenang
sepanjang masa karena pada 10 November 1945 di Surabaya, rakyat bangkit dengan
dipimpin Bung Tomo yang menggelorakan semangat perjuangan untuk mempertahankan
kemerdekaan bangsa dari kolonial Belanda menuju negara yang kuat dan mandiri. Perayaan
Hari Pahlawan Nasional ini selalu diperingati sepanjang tahun, di samping untuk
mengenang semangat perjuangan para pahlawan bangsa, untuk meneguhkan
nasionalisme (kecintaan tanah air).
Kedua
semangat itu rasanya hari-hari ini telah kehilangan elan vitalnya sebab kini
secara fisik tak ada lagi penjajahan atau koloni di negeri kita. Karena itu,
untuk membangkitkan semangat yang terkandung di dalamnya, guna menginspirasi
generasi pasca-1945 yang hidup di era reformasi ini perlu ditemukan makna
barunya yang lebih adaptif dan fleksibel dengan isu-isu kekinian.
Meminjam
ungkapan Ernst B Hass, dalam tulisannya berjudul Nationalism: An Instrument Social Construction (1993: 508),
menyatakan nasionalisme merupakan doktrin solidaritas sosial yang dilandasi
ciri-ciri dan simbol-simbol kebangsaan. Kate Manzo (1955:44) menyatakan
nasionalisme dapat berkaitan dengan tingkah laku yang dimotivasi ideologi. Bila
gagasan Erns B Hass dan Kate Manzo ini diadaptasi, kita harus dapat menumbuhkan
solidaritas nasionalisme kita untuk dapat memotivasi generasi baru guna
menancapkan ideologi baru perlawanan terhadap kolonial baru, yakni perilaku
korupsi.
Republik
ini tengah menyongsong kebangkrutan karena hampir seluruh harta kekayaan alam
dan kekayaan yang dihimpun dari dana pajak rakyat dalam bentuk APBN dan APBD
nyaris habis dicuri para koruptor ini. Aktor-aktor koruptor tidak lagi di
pusat-pusat kekuasaan eksekutif (menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan
BUMN/BUMD), tetapi telah merambah di legislatif (DPR/ DPRD), bahkan di partai
politik, begitu pula telah bersemayam di tubuh yudikatif (hakim, jaksa, dan
polisi).
Mencari pahlawan antikorupsi
Setelah
melihat fenomena korupsi yang mengerikan itu, Hari Pahlawan yang setiap tahun
kita peringati kiranya dijadikan alat solidaritas dan ideologi untuk mencari
pahlawan baru, yakni manusia Indonesia yang bersedia hidup bersih dari noda
korupsi dan mau berjuang melawan syahwat korupsi.
Di
titik ini kita perlu mewujudkan pahlawan baru di era reformasi dengan
pertamatama menemukan maskot atau semacam common
platform untuk membentuk kesadaran publik akan perlunya mencintai negerinya
agar tidak bangkrut akibat perilaku korupsi para elite ekonomi dan politiknya.
Bangsa ini sungguh menderita akibat korupsi ini. Persis seperti kata Ernest
Renan P (1823-1892) dalam bukunya, ( Qu'est-ce
qu'une Nation? (What is Nation?)
(1996:41-55), bahwa timbulnya rasa cinta negara (nasionalisme) pertama-tama
tumbuh dari perasaan menderita bersama (having
suffered together) sehingga dirasa perlu menjemput kegemilangan (genuine glory).
Hari-hari
ini kita sungguh merindukan lahirnya pahlawan-pahlawan baru antikorupsi.
Mengapa? Karena sistem pemberantasan korupsi di negeri nyaris hanyalah ilusi
dan absurd tanpa ditopang manusia-manusia yang sudi hidup jujur dan se derhana.
Lihat dalam fenomena berikut ini.
Reformasi birokrasi
Pertama,
terbentuknya setiap pemerintahan baru di era reformasi sejak 1998 hingga 2013
ini tak segera digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan konsolidasi
kekuatan-kekuatan antikorupsi dan melakukan reformasi birokrasi yang akurat dan
tepat untuk mengoreksi keburukan warisan rezim terdahulu, tetapi hanya untuk
melindungi segelintir kelompok tertentu, menumpuk pundi-pundi uang dan
kekuasaan. Nyaris mematisurikan gerakan antikorupsi dan reformasi.
Kekuasaan
politik berbasis parpol ternyata hanya alat untuk memperkukuh kekuasaan dan
saling berebut lahan lahan proyek basah di birokrasi dan kabinet. Akhirnya
parpol kehilangan elan vitalnya sebagai instrumen gerakan reformasi dan
antikorupsi.
Bahkan
menurut Eko Prasodjo (2007), tak berjalannya reformasi birokrasi telah
menghambat jalannya pemberantasan korupsi. Kalaupun ada, reformasi hanyalah
setengah hati dan belum dapat lepas dari jeratan pengaruh kekuasaan dan parpol.
Karena itu, menyaksikan birokrasi di negeri ini serasa melihat birokrasi
kolonial. Pada hal, mengadaptasi kata Weber (1958), efisiensi birokrasi dan
buruknya perilaku birokrasi hanya mungkin dapat dihin dari melalui refor masi
struktur birokrasi yang pendek dan tidak gemuk.
Pemilu 2014 konsolidasi demokrasi
Kedua,
segera mengakhiri slogan politik transisi demokrasi. Pemilu 2014 mendatang
hendaknya dapat mengakhiri transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi.
Karena itu, aneka problem teknis Pemilu 2014, mulai soal kisruh daftar pemilih
tetap (DPT), penggunaan teknologi informasi, hingga anggaran seharusnya bukan
menjadi kendala bagi hadirnya pemilu demokratis sebagai prasyarat demokrasi
yang terkonsolidasi.
Kelambatan
transisi demokrasi selama tiga kali pemilu (1999, 2004, dan 2009) pascaOrde
Baru telah mengakibatkan bekerjanya sistem politik di tingkat prosedural dan
tak mengubah perilaku korupsi elite politik lokal dan nasional dari warisan
Orde Baru karena ternyata korupsi di era reformasi ini bahkan jauh lebih
vulgar, terstruktur, masif, dan sistematis di semua lini di negeri ini.
Akhirnya substansi demokrasi menjelma menjadi zombi-zombi yang siap menerkam
siapa saja, kini demokrasi menjadi jauh dari harapan. Membaca transisi
demokrasi Indonesia ialah membaca pergantian simbol dan prosedur belaka, bukan
pergantian substansi, yakni ntikorupsi, perilaku jujur dan bersih.
Demokrasi
kita hari ini ialah demokrasi semu yang penuh tipu muslihat, mudah diucapkan
setiap elite politik, tetapi sulit dilakukan bahkan dilupakan saat dibuai
jabatan kekuasaan politik dan dimanja gelimangan fasilitas negara yang mudah
dikorupsi dan dimanipulasi. Mengeja praktik demokrasi Indonesia seperti membaca
teks-teks mati tanpa makna. Demokrasi tak lagi menjadi alat untuk menggapai
kemakmuran rakyat, tapi menjadi tujuan bagi mereka yang hidup di masa transisi
yang tak jelas. Demokrasi telah dibajak kaum berkerah putih, hanya bisa melukai
bahkan membunuh kaum miskin dan lebih menguntungkan kelompok-kelompok elite
politik, pemodal, dan rente ekonomi.
Modernisasi sistem kepartaian
Ketiga,
mandulnya desain institusi parpol dalam merekrut kader-kader terbaiknya
sehingga parpol bertekuk lutut pada kemauan dan tekanan pengurus parpol untuk
berebut kue kekuasaan. Model itu telah mematikan hubungan parpol dengan
konstituen politik mereka dan kian menumbuhkan budaya paternalistis parpol.
Mekanisme
perekrutan kader, penentuan calon kepala-kepala daerah dalam pemilu kada
langsung, bukan didasarkan pada visi dan platform parpol dan kader terbaiknya,
melainkan sekadar atas pertimbangan kedekatan personal dan besarnya `mahar'
yang digelontorkan ke parpol. Akibatnya tatkala anggota parpol, ketua parpol,
dan para kepala daerah terpilih terlibat korupsi, parpol tak mampu memberi
sanksi memadai.
Partai
politik ialah aktor utama sistem demokrasi perwakilan, kalau perilaku parpol
tak baik, demokrasi pasti tak dapat berjalan dengan baik pula. Dalam bahasa
yang agak berbeda Richards Katz (1980:1) mengatakan, “No democracy without politics, and no politics without parties. Modern
democray is party democracy: anti-corruption (tidak mungkin ada demokrasi tanpa hadirnya parpol, dan bukanlah politik
jika tanpa parpol. Demokrasi yang modern ditandai oleh sistem kepartaian yang
modern: salah satunya antikorupsi).“
Jika
kita menghendaki pemberantasan korupsi bukan sekadar ilusi setiap rezim, sudah
saatnya kita perlu mendesain sistem hukum dan sosial-politik kita untuk dapat
melahirkan generasi baru antikorupsi. Makna baru yang dapat dipetik dari
peringatan Hari Pahlawan Nasional kita kali ini ialah mencari pahlawan
antikorupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar