Selasa, 12 November 2013

Menanti Sikap Keras Pemerintah atas Penyadapan

Menanti Sikap Keras Pemerintah atas Penyadapan
Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA,  11 November 2013

  
TERKUAKNYA penyadapan antarnegara di era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur akan berkonsekuensi pada pengusiran diplomat (persona non grata) dari negara yang melakukan praktik kotor spionase.
Dalam praktik diplomasi pengusiran bisa didahului atau tidak didahului dengan protes keras. Selanjutnya negara yang disadap akan menuntut penjelasan dari perwakilan negara yang dituduh melakukan penyadapan. 

Bagi negara yang dituduh sampai kapan pun mereka tidak akan secara suka rela menyatakan dilakukannya penyadapan. Itu sama saja dengan bunuh diri bila menyatakan dirinya bersalah. Praktik yang selama ini berlaku ialah negara yang menyadap akan memberi respons normatif, yaitu neither deny nor confirm (tidak menyangkal ataupun mengakui).

Bila negara yang dituduh melakukan penyadapan merasa tidak melakukan spionase tersebut, negara itu akan melakukan balasan yang sama berupa pengusiran diplomat dari negara yang menuduh. Bagaimana dengan Indonesia ketika Edward Snowden melalui harian asal Jerman der Spiegel dan harian asal Australia Sydney Morning Herald membocorkan praktik kotor penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Australia?

Indonesia diberitakan telah disadap pada 2007 saat diadakan Konferensi Perubahan Iklim di Bali dan 2009 saat berlangsungnya pertemuan G-20 di London. Bahkan berdasarkan bocoran tersebut diketahui Australia telah memasang instrumen dan peralatan canggih penyadapan di kedutaan besar (kedubes) mereka. Kedubes yang diberi kekebalan diplomatik berdasarkan praktik diplomasi dan hukum internasional ternyata telah disalahgunakan Australia.

Praktik ilegal yang dilakukan Australia sama saja dengan kegiatan memproduksi narkoba di lingkungan kedubes mereka. Keduanya merupakan tindakan ilegal, tetapi karena adanya kekebalan diplomatik, otoritas dan aparat penegak hukum Indonesia tidak mungkin melakukan penegakan hukum.

Pemerintah Indonesia tentu bisa marah, tersinggung, dan tidak bisa menerima praktik kotor penyadapan yang dilakukan AS dan Australia.
Masalahnya yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda dengan era Perang Dingin, penyadapan dilakukan negara sahabat.

Lunak

Apakah karena dilakukan negara sahabat, pemerintah seolah lunak sebab tidak berani mengambil tindakan keras pascaprotes keras yang dilakukan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa dan penjelasan normatif yang diberikan kedua kepala perwakilan?

Padahal, terlepas dari sahabat atau musuh, pemerintah Indonesia seharusnya bisa bersikap tegas. Sikap tegas yang paling mungkin dilakukan saat ini, seperti praktik diplomasi selama ini, ialah melakukan pengusiran terhadap se jumlah diplomat AS dan Australia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat menginstruksikan kepada 
Menlu agar melayangkan surat ke dua perwakilan tersebut untuk memulangkan diplomat mereka dalam jangka waktu 1 x 24 jam. Apakah pemerintah perlu khawatir akan reaksi pemerintah AS dan Australia?

Apakah kedua pemerintahan itu akan melakukan tindakan balasan pengusiran diplomat Indonesia?

Kekhawatiran pemerintah sebenarnya tidak perlu. Ada tiga alasan mengapa pemerintah tidak perlu khawatir. Pertama, AS dan Australia tahu betul bahwa aparat intelijen me reka memang melakukan penyadapan. Presiden Barack Obama dalam satu kesempatan mengatakan tindakan penya dapan, kalaupun dilakukan, tanpa sepengetahuan dan perintah dari dirinya.

Itu mengindikasikan secara internal di pemerintahan AS kegiatan intelijen merupakan tanggung jawab aparat intelijen dan sama sekali bukan presiden ataupun jajarannya. Di samping itu, tiadanya tuntutan hukum dari pemerintah AS dan Australia terhadap der Spiegel maupun Sydney Morning Herald merupakan bukti cukup bahwa penyadapan memang dilakukan.

Pemberitaan praktik ilegal penyadapan oleh AS dan Australia tidak mungkin didasarkan pada isapan jempol ataupun informasi lisan. Mereka sudah dapat dipastikan memegang dokumen sah yang diberikan Snowden. Bila tuntutan hukum dilakukan AS dan Australia, mereka pun akan membeberkan dokumen pendukung. Tentu itu akan membuat lebih malu kedua negara. Banyak negara pun akan tersakiti dan marah bila ternyata penyadapan dilakukan di hampir semua negara secara masif untuk jangka waktu yang lama.

Kedua, tindakan keras oleh Indonesia justru akan membuat Presiden Obama dan PM Tony Abbott akan berterima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itu mengingat kedua kepala pemerintahan tersebut tahu betul bila kemarahan publik Indonesia bila tidak dikanalisasi, mereka akan melakukan tindakan destruktif.

Contoh telah terlihat, yaitu sejumlah peretas (hackers) asal Indonesia telah membobol sejumlah situs Australia. Bahkan salah satu pemimpin DPR dan sejumlah tokoh justru mendorong tindakan tidak patut yang dilakukan peretas.

Bukannya tidak mungkin ketidaktegasan pemerintah akan diwujudkan juga oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk melakukan sweeping atas warga AS dan Australia. Belum lagi bila mereka melakukan perusakan-perusakan atas berbagai hal yang berbau AS dan Australia. Oleh karenanya, tindakan tegas pemerintah merupakan upaya membatasi agar permasalahan penyadapan cukup diselesaikan di tingkat pemerintah dan tidak perlu merembet ke tingkat masyarakat (people to people relations).

Terakhir, pengusiran atas diplomat diharapkan dapat menjadi tonggak untuk memulihkan kepercayaan Indonesia dalam berhubungan dengan AS dan Australia. Bila tidak ada tindakan tegas, AS dan Australia akan merasa setiap kebijakan negatif yang dilakukan pemerintah atas mereka merupakan buntut dan wujud dari ketidakpercayaan Indonesia atas dua sahabatnya. Kerja sama antarnegara pun tidak dapat dilakukan bila hubungan dilandasi pada kecurigaan.

Menepis

Tindakan tegas melakukan persona non grata terhadap diplomat AS dan Australia untuk kepentingan dalam negeri dapat berdampak pada tertepisnya kecurigaan-kecurigaan publik atas sikap lunak pemerintah. Salah satu kecurigaan tersebut ialah jangan-jangan Presiden Yudhoyono mendapatkan keuntungan pribadi dari hasil sadapan AS atau Australia dalam Pemilu 2009. Atau jangan-jangan hasil sadapan digunakan pemerintah untuk meredam kehebohan lawan politik, bahkan menghabisi mereka.

Kecurigaan seperti itu tentu tidak berdasar. Namun, bila dibiarkan berkembang karena absennya tindakan tegas oleh pemerintah, di tingkat masyarakat akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Presiden Yudhoyono tidak memiliki banyak waktu untuk mengambil sikap keras dan tegas atas nama pemerintah Indonesia.

Momentum saat ini, bila dilewatkan, akan memperburuk masalah yang dihadapi, tidak hanya terkait dengan hubungan Indonesia dengan AS dan Australia, tetapi juga legitimasi SBY selaku presiden dan para penyelenggara negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar