DALAM sejarah aksi unjuk rasa yang terjadi selama ini,
umumnya didominasi oleh mahasiswa, buruh dan aktivis. Namun, pekan ini
unjuk rasa dilakukan para dokter. Padahal penerus Hipokrates tersebut
tergolong jarang, bahkan nyaris luput dari ingar bingar unjuk rasa. Namun,
kali ini mereka begitu bersemangat dan kompak melakukan unjuk rasa untuk
memprotes putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengkriminalisasi Dewa Ayu
Sasiary Prawani, Hendi Siagian, dan Hendry Simanjuntak (dokter di RS Prof
dr Kandau Manado) dengan vonis 10 bulan penjara. Dalam putusan MA No
365.K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2013, ketiganya dinyatakan terbukti
secara meyakinkan sebagai pelaku malapraktik yang mengakibatkan Julia
Fransiska meninggal dunia.
Sebagian kalangan menilai aksi solidaritas seperti itu
merupakan sikap non-gentleman dan
overprotective. Betapa tidak,
karena sebagai manusia, dokter mustahil luput dari kesalahan meski didukung
pengalaman hingga gelar akademik yang berderet mengapit namanya.
Malapraktik adalah sebuah keniscayaan yang lazim terjadi karena kesalahan prosedur
dalam penanganan seorang pasien yang dilakukan dokter. Kesalahan itu bisa
berupa kesalahan diagnosis, kesalahan pemberian terapi, ataupun kesalahan
dalam hal penanganan pasien oleh dokter.
Dalam berbagai kasus malapraktik, pasien selalu menjadi
pihak yang dirugikan, baik secara materiil maupun pada aspek kejiwaan dan
mental pasien serta keluarganya. Pasalnya, tak jarang kasus malapraktik
bisa fatal hingga berakibat hilangnya nyawa atau menimbulkan keadaan cacat
pada diri pasien. Jika demikian halnya, berarti oknum dokter dimaksud dapat
dipidana dengan Pasal 359, 360, 361 KUHP tentang Kelalaian yang
Mengakibatkan Matinya Orang Lain atau Mengalami Keadaan Cacat jo UU No
29/2004 tentang Praktik Kedokteran jo UU No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Menjadi aneh karena ancaman pidana bagi pelaku
malapraktik tersebut sering dimentahkan, bahkan gugur hanya dengan fatwa
majelis kode etik kedokteran. Sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan
bahwa dalam setiap keputusan sidang majelis kode etik kedokteran atas suatu
kasus malapraktik, dokter selalu dinyatakan tidak melakukan pelanggaran apa
pun terhadap kode etik kedokteran karena dinilai sudah memenuhi seluruh
prosedur medis. Berdasarkan hal tersebut, sang dokter lazimnya melaporkan
pasien ke pihak berwajib dengan dalil pencemaran nama baik. Inilah yang
menimpa Haslinda Siregar, korban malapraktik di Jakarta, hingga
mengakibatkan kebutaan secara permanen 2006.
Senjata makan tuan
Karena putusan majelis kode etik cenderung melindungi
koleganya, posisi laporan Haslinda ke pihak berwajib tentang dugaan
malapraktik berbalik menjadi senjata makan tuan. Bukannya diproses terlebih
dahulu, Haslinda malah dilaporkan balik oleh dokternya dengan tuduhan
pencemaran nama baik. Haslinda pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda
Metro Jaya.
Sementara itu, tindakan malapraktik yang dilakukan dokternya
tidak diproses meski dilaporkan lebih awal daripada pencemaran nama baik.
Dalam persidangan Haslinda di pengadilan, ia harus
mendatangkan saksi-saksi ahli dari luar negeri karena dokter dari Indonesia
tidak ada yang bersedia membelanya lantaran dokter terikat komitmen korps
sehingga lebih mengutamakan solidaritas korps daripada kebenaran secara scientific.
Sampai di sini otoritas
medis rupanya banyak yang bermental pengecut, hipokrit, tidak mau bertanggung
jawab, dan hanya mau enaknya saja, tetapi lempar batu sembunyi tangan. Padahal,
bukankah pasien telah meng alami korban secara berganda ibarat kata pepatah
sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Dengan merujuk pada definisi malapraktik seba gai bentuk
kelalaian dari dokter untuk mempergu nakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan da lam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama, malapraktik harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian dokter dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan dengan
ukuran: lazim dipergunakan di wilayah tersebut. Jika akibat yang tidak
diinginkan tersebut terjadi, apakah bukan meru pakan risiko yang melekat
terhadap suatu (risk of treatment)?
Meski demikian, malapraktik yang dilakukan dokter
merupakan tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia. Namun, penegak
hukum dituntut mampu membuktikan perbuatan itu telah memenuhi unsur delik,
yaitu perbuatan (positive act
atau negative act) merupakan
perbuatan tercela, dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh, atau adanya kealpaan).
Jika terjadi malapraktik, yang harus dibuktikan ialah adanya unsur
perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa
atau kurang hati-hati.
Upaya sangkalan
Untuk membebaskan diri dari jerat hukum,
sekurangkurangnya dua alasan yang paling sering menjadi senjata pembelaan
diri dokter dalam menggugurkan tuntutan pidana, meliputi, pertama, Informal defence, yaitu menangkis
tuduhan bahwa ia tidak mempunyai sikap batin (mens rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik atau
kejadian itu merupakan risiko medis. Kedua, formal/legal defence, yaitu menyangkal tuntutan dengan cara
menolak unsurunsur pertanggungjawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggungjawaban, dengan mengajukan bukti bahwa
yang dilakukan ialah pengaruh daya paksa.
Dalam hukum perdata, bentuk perikatan antara dokter dan
pasien disebut hubungan terapeutik, yaitu bentuk perikatan dengan kategori
daya upaya (inspaning verbintenis)
dan bukan perikatan tentang hasil (resulta
verbintenis). Karena itu, gugatan terhadap malapraktik dapat dibuktikan
berdasarkan kelalaian dokter melalui 4D. Pertama, duty (kewajiban) yang
melekat pada dokter berupa; indikasi medis, bertindak secara hatihati dan
teliti, bekerja sesuai standar profesi, sudah ada informed consent. Kedua, dereliction
of duty (penyimpangan dari kewajiban), jika seorang dokter melakukan
penangan medis menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa
yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya, ia dapat
dipersalahkan. Ketiga, direct
causation (penyebab langsung).
Keempat, damage (kerugian); untuk dapat dipersalahkan haruslah ada
hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)
yang dialami pasien dan tanpa ada tindakan sela di antaranya.
Gugatan perdata terhadap malapraktik tidaklah mudah
karena tidak ada fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menelantarkan ke wajiban (dereliction
of duty) dan adanya hubungan langsung antara menelantarkan kewajiban
dengan terjadinya kerusakan (damage),
di sinilah titik krusialnya karena yang harus membuktikan ialah pasien yang
sangat awam tentang hukum medis. Hal ini tentu sangat menguntungkan posisi
dokter.
Meski demikian, pasien sebagai penggugat dapat menangkal
pembelaan dokter dengan cara mengajukan fakta-fakta yang dialaminya sebagai
akibat penanganan medis melalui doktrin res
ipsa loquitur. Doktrin ini dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria: a) fakta tidak mungkin ada apabila dokter tidak
lalai; b) fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter; c)
fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien (non-contributory negligence). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar