Senin, 11 November 2013

Liberalisasi yang Terkendali

Liberalisasi yang Terkendali
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 11 November 2013


KAPITALISME dan liberalisasi adalah sepasang kata yang dipersepsikan buruk (dirty words) bagi rakyat di kebanyakan negara berkembang, termasuk kawasan Asia Tenggara (Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia, 1988).

Istilah liberalisasi sering dimaknai sebagai ”pembiaran secara besar-besaran atau hampir tanpa batas” bagi terjadinya dominasi asing terhadap perekonomian domestik. Liberalisasi juga merupakan kata kunci yang direkomendasikan Konsensus Washington bagi pemulihan ekonomi negara-negara berkembang (John Williamson, 1994). Itulah sebabnya, liberalisasi lekas menimbulkan penolakan dan kontroversi di negara-negara berkembang.

Ketika Indonesia memulai liberalisasi industri perbankan pada 1983, pemerintah memilih istilah deregulasi agar terasa lebih lunak dan mudah diterima publik. Kebijakan memberikan kemudahan pendirian bank seperti yang kita lakukan sejak 1987, di luar negeri diberi nama liberalisasi, tetapi di Indonesia kita gunakan istilah deregulasi. Hasilnya? Aman. Kontroversi yang berlebihan tidak terjadi. Deregulasi dipersepsikan tidak ”jahat”.

Namun, sekarang, pemerintah sulit mengelak untuk menghindari istilah liberalisasi ketika mereka membuka peluang lebar bagi investor asing untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia. Istilah liberalisasi kini sudah lazim digunakan. Pada akhir tahun ini, pemerintah akan menerbitkan revisi daftar negatif investasi (DNI). Pemerintah membuka akses baru dan perluasan akses yang sudah ada bagi investor asing di sejumlah sektor. Di satu pihak, investasi akan meningkat. Namun, di lain pihak, dominasi asing terhadap perekonomian Indonesia akan menguat (Kompas, 7/11).

Motivasi liberalisasi

Dalam situasi tekanan berat terhadap keseimbangan eksternal, yang ditunjukkan dengan defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan sehingga cadangan devisa merosot menjadi 97 miliar dollar AS (dari puncaknya 124,7 miliar dollar AS pada 2011), strategi untuk mengumpulkan devisa melalui kenaikan investasi asing (PMA) merupakan hal yang logis. Memang kita masih punya harapan untuk mengumpulkan devisa dari tenaga kerja kita di luar negeri (remitan) dan turis asing. Namun, tren kenaikannya akan lambat. Turis asing ke Indonesia memang terus meningkat, tetapi jumlahnya diperkirakan maksimal 8 juta hingga 8,5 juta orang per tahun. Belum seperti Turki, misalnya, yang bisa menarik lebih dari 30 juta orang per tahun.

Dalam tata perekonomian global yang semakin kuat mencengkeram, kita juga sulit untuk mengelak datangnya investasi asing karena berbagai skema regionalisasi dan globalisasi yang kita ikuti, mulai dari masyarakat ASEAN, APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik), hingga WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Liberalisasi adalah sebuah keniscayaan. Namun, kita juga tidak boleh mengabaikan adanya arus penentang liberalisasi karena selalu akan ada dampak negatif liberalisasi.

Dalam kasus industri otomotif, liberalisasi yang dilakukan Thailand telah mengantar negara ini menjadi produsen dan eksportir terbesar. Tahun 2012, Thailand berhasil memproduksi 2,4 juta mobil, dengan konsumsi domestik 1,4 juta unit. Mereka pun mengekspor 1 juta mobil. Indonesia tahun lalu memproduksi 1,16 juta unit, dengan ekspor yang sangat kecil. Ini kisah manis liberalisasi.

Dalam kasus industri perbankan di Indonesia, kita terpaksa membuka amat lebar investasi asing pada saat krisis 1998, hingga mencapai 99 persen. Dalam kacamata kondisi saat itu, menarik investor asing adalah hal yang positif. Pertama, kita memang memerlukan pemodal yang bisa menyuntikkan dana ke bank-bank yang direkapitalisasi pemerintah. Kedua, memberikan sinyal kepada dunia, bahwa investor asing berani mengambil posisi masuk ke Indonesia saat perekonomian berada pada titik terburuk. Ini penting untuk menarik para investor asing lainnya. Ketiga, kita memerlukan dana asing untuk menambah cadangan devisa agar dapat membantu penguatan kurs rupiah, yang pernah terkulai hingga Rp 15.000-17.000 per dollar AS.

Seiring dengan berlalunya waktu, industri perbankan pelan-pelan terus mengalami penguatan, baik dari sisi permodalan (rasio kecukupan modal atau CAR kini mencapai 17-18 persen), kinerja, kemampuan memitigasi risiko, serta penerapan tata kelola yang baik. Kondisi ini mendorong ide, bagaimana jika peraturan kepemilikan asing diubah agar setara dengan praktik di negara-negara tetangga? Kepemilikan maksimal ditentukan 49 atau 51 persen.

Dalam situasi kinerja bank terus membaik, bahkan Indonesia merupakan ”surga” untuk mendulang net interest margin (NIM) yang tertinggi di kawasan ini, wajar saja jika timbul hasrat agar investor domestik mestinya diprioritaskan mendapat kesempatan untuk mencetak keuntungan besar tersebut. Ide ini di satu pihak sangat baik. Jika ada peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan besar di Indonesia, logikanya investor domestik mestinya yang menikmati keuntungan tersebut.

Namun, sayangnya, hal itu tidak mudah direalisasikan. Usaha bank sekarang kian membutuhkan komitmen tinggi untuk terus meladeni kebutuhan modal yang kian besar. Aset total bank harus terus membesar karena ada prinsip economies of scale, yakni kian besar skala usaha, akan kian ekonomis atau efisien sehingga menguntungkan. Konsekuensinya, ketika aset total tumbuh, bank juga harus bisa mengimbanginya dengan pertumbuhan modal yang sebanding.

Pertambahan modal ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko. Ibarat kendaraan, modal besar menyerupai volume mesin mobil yang besar yang bisa meredam gejolak di jalanan bergelombang. Mobil dengan cc besar lebih tahan guncangan daripada mobil dengan cc kecil. Dengan kata lain, modal bank harus terus membesar tanpa batas. Masalahnya, investor domestik yang bisa memenuhi syarat untuk selalu mampu menginjeksi modal jumlahnya sangat terbatas. Bank-bank BUMN termasuk di antaranya. Sementara investor domestik swasta yang besar, kuat, dan tahan lama (sustainable) tidak banyak. Di sinilah celah yang memberikan peluang masuknya investor asing.

Meski demikian, ada baiknya pemerintah dan Bank Indonesia meninjau kebijakan kepemilikan asing. Jika saat ini diizinkan hingga 99 persen, bisa dikurangi menjadi lebih rendah, misalnya 60 persen, tanpa berlaku surut agar investor asing yang sudah telanjur memiliki saham lebih tinggi tidak harus tergopoh-gopoh menjual sahamnya.

Urgensi dan jangan kebablasan

Tiap-tiap industri tentu saja memiliki variasi problematik yang berbeda. Karena itu, kepemilikan maksimal saham asing di setiap industri bisa berbeda. Faktor yang juga membedakan adalah soal urgensi. Semakin kita membutuhkannya, semakin besar pula pintu terbuka bagi investor asing. Saat ini, amat mendesak kita memerlukan investasi besar-besaran di bidang infrastruktur, seperti bandar udara, pelabuhan, dan jalan tol. Jika kehilangan momentum ini, kita akan kehilangan daya saing, investor baru tidak datang, sedangkan investor lama kabur ke luar negeri. Akibatnya, defisit perdagangan dan transaksi berjalan akan memburuk dan berlanjut.

Sebenarnya, kita juga sudah memberikan kesempatan investor domestik untuk membangun infrastruktur. Namun, tidak banyak yang berani mengambil risiko. Jika ini berlanjut, pilihannya adalah menunggu sampai investor domestik berani melakukan investasi, tetapi tidak tahu kapan? Alternatifnya, kita mempercepat proses pembangunan infrastruktur, tetapi investornya asing.

Jalan tengahnya adalah investor asing boleh masuk dengan porsi kepemilikan tertentu, tetapi tidak mencapai 100 persen (misalnya 80 persen, sisanya mitra lokal atau pemerintah), dengan syarat pemerintah masih bisa mengendalikannya melalui regulasi. Kasus Freeport yang dulu masuk ke sini seperti mendapatkan ”cek kosong”, sehingga penerimaan negara tidak optimal, tidak boleh terulang.

Jalan tengah ini mirip yang dilakukan dalam kasus privatisasi BUMN. Saat terjadi divestasi BUMN oleh pemerintah kepada swasta, pemerintah masih dimungkinkan memiliki hak ”saham merah-putih” (golden share), yakni opsi untuk menunjuk direksi orang Indonesia. Bisa pula hak ini diwujudkan dalam penentuan tarif pungutan jasa bandara, tarif tol, tarif pelabuhan, dan sebagainya.

Inilah cara yang bisa dilakukan agar liberalisasi tidak terjerumus menjadi kebijakan yang kebablasan tanpa kendali. Bahkan, di negara seliberal Amerika Serikat pun, pemerintah federal masih mempunyai hak untuk memastikan agar mekanisme pasar tidak berujung pada eksploitasi harga yang merugikan rakyat. Getting prices right. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar