Jumat, 22 November 2013

Jebakan Politik Transaksional RI-Australia



Jebakan Politik Transaksional RI-Australia
Effnu Subiyanto  ;  Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep),
Kandidat Doktor Ekonomi Unair
JAWA POS,  22 November 2013



UNTUK kali kesekian, Australia memanaskan hubungan dengan Indonesia. Duta Besar Nadjib Riphat Kesoema sudah dipanggil pulang ke tanah air untuk menunjukkan sikap protes SBY. Jakarta benar-benar serius mereaksi aksi penyadapan terhadap SBY dan nyonya serta beberapa orang pembantu penting SBY.

Bukan hanya soal penyadapan semasa pemerintahan Perdana Menteri (PM) Kevin Rudd pertama (2007-2010), beberapa waktu lalu pemerintah Tony Abbott juga menunjukkan sikap merendahkan Indonesia. Abbott menggagas ide ekstrem seperti yang dijanjikan dalam kampanyenya, namun aktivitasnya menerobos Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

PM yang menggantikan Kevin Rudd saat memenangi pemilu 7 September 2013 itu bermaksud merekrut lurah atau kepala desa sebagai intelijen Australia di Indonesia. Australia hendak membeli sejumlah perahu nelayan Indonesia dan, yang keterlaluan, akan membayari anggota Polri untuk kepentingan Australia. Abbott tampaknya kesulitan mengatasi persoalan pemohon suaka politik dan menggunakan Indonesia sebagai buffer.

Berkali-kali Australia menampakkan sikap politik superior. Tidak sebersit pun terpikir untuk membantu kesulitan pangan negeri tetangga Indonesia karena itu berita yang terbaru. Negeri itu juga menolak rencana Indonesia membeli lahan sejuta hektare dengan ternaknya untuk cadangan daging Indonesia. Padahal, pasokan daging Tiongkok difasilitasi.

Kasus yang terus menghangat menyangkut hubungan Indonesia-Australia adalah soal Schapelle Leigh Corby. Tampak sekali usaha Australia memarginalkan Indonesia dari sisi ekonomi untuk pembebasan terpidana kasus ganja itu.

Australia tiba-tiba sangat baik dengan instansi Polri dan beberapa instansi lain di Indonesia. Bantuan pemerintah Australia melalui Australia Federal Police kepada Polri pada 2010, misalnya, sebesar AUD 20 juta (sekitar Rp 200 miliar) dalam bentuk peralatan laboratorium forensik terbesar di Asia, bahkan lebih besar daripada milik polisi Australia sendiri.

Awal 2012 Australia juga memberikan hibah berupa tiga kapal patroli polisi tipe C serbaguna yang lincah berkecepatan 30 knot. Alasan hibah itu agar Polri mampu melakukan tindakan pencegahan kejahatan laut, misalnya narkotika, terorisme, penyelundupan orang, bahkan perdagangan manusia. Pada tahun yang sama Kemenhan RI juga menerima hibah empat Hercules jenis C-130 seri H dari Australia.

Di sektor lain, seperti transportasi, negeri ini juga "terpaksa" menerima kebaikan Australia dalam bentuk hibah senilai AUD 24,5 juta (Rp 245 miliar) pada 2009 dan berlanjut pada 2012 sebesar AUD 14,5 juta (Rp 145 miliar). Kementerian PU juga menerima hibah baru-baru ini senilai AUD 190 juta (Rp 1,9 triliun) untuk perbaikan air minum dan sanitasi.

Ini hebatnya Australia yang memahami betul budaya Indonesia, janganlah bersikap kontra secara terang-terangan, namun bantulah, kelak mereka akan membalasnya dengan lebih besar. Tidak akan membalas "air susu dengan air tuba".

Dengan demikian, grasi lima tahun dari hukuman 20 tahun kepada Ratu Ganja Schapelle Leigh Corby oleh Presiden SBY pada tahun lalu itu tentu memiliki banyak alasan. Alasan mendasar tersebut adalah mentransaksikan hukum dengan ekonomi atau jual beli hukum antara dua negara.

Masa pemidanaan Corby saat ini sudah berlangsung selama sembilan tahun, terhitung sejak ditangkap pada Oktober 2004. Dengan demikian, agar hukumannya pas menjadi 15 tahun, sisa hukumannya enam tahun lagi. Namun, dia mendapat diskon hukuman atau remisi Hari Kemerdekaan RI dan Natal total 25 bulan atau 2 tahun 1 bulan.

Selain remisi, penghuni Lapas Kerobokan, Denpasar, itu masih berpeluang mendapat pembebasan bersyarat. Masa dua pertiga lama hukuman Corby yang sudah dijalani sekarang sudah memenuhi ketentuan PP 28/2006 untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Pas momentum pencitraan bertepatan dengan forum KTT APEC yang digelar di Bali pada 1-8 Oktober 2013.

Inilah maujud ekonomi transaksional Indonesia-Australia yang secara kasatmata nyata, namun sekaligus kesalahan Jakarta yang amat fatal.

Dalam sejarahnya, politik transaksional memang tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan ekonomi. Tokoh ekonomi neoklasik William Stanley Jevons kelahiran Inggris yang pindah ke Australia pada 1854 mulai mengembangkan sistem ekonomi untuk kebijakan yang tidak lain adalah hukum transaksi itu sendiri.

Menurut Jevons, pemerintah boleh mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memuaskan orang tertentu dengan tidak mengurangi kepuasan orang lain, namun semua dampak tidak langsung sudah diperhitungkan. Pemerintah Australia tampaknya menjadi penganut mazhab Jevons tersebut. Karena itu, selama ini mereka bersikap baik kepada pemerintah Indonesia, namun dengan tujuan tertentu.

Sangat berat konsekuensi menjadi negara berdaulat. Jadilah negara yang tidak mudah menerima bantuan, hibah, atau sumbangan. Tidak ada yang gratis di dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar