Rabu, 06 November 2013

Hijrah dari Korupsi

Hijrah dari Korupsi
Erna   Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon
KORAN JAKARTA, 06 November 2013


Indonesia baru saja memasuki tahun baru 1435 Hijriyah. Kata hijrah berarti "meninggalkan, memisahkan, atau menjauhi". Dalam konteks transformasi kebangsaan ke arah yang lebih baik, sangat tepat bila tahun baru digunakan sebagai momentum pindah dari (jiwa) korupsi, hidup baru dengan meninggalkan korupsi dan memberantasnya dari ruang lingkup terkecil sampai terbesar. 

Penyakit korupsi dan turunannya makin menyebar dan menjadi-jadi. Banyak kejadian memprihatinkan, seperti kasus korupsi di Mahkamah Konstitusi. Pelakunya dari kalangan berpendidikan. Bukan tidak mungkin masih ada korupsi lainnya yang belum terungkap.

Sungguh menjadi ironi di negeri hukum ini bila korupsi terjadi di segala sektor dan semua level status sosial. Jika korupsi dengan nilai hanya beberapa puluh ribu rupiah dilakukan petugas rendahan di lapangan, mungkin sebagian orang masih mencoba memaklumi karena gaji mereka terlalu rendah. Namun, bagaimana dengan korupsi yang justru dilakukan pejabat tinggi atau eksekutif yang sudah digaji tinggi atau sangat tinggi?

Korupsi agaknya tidak lagi merupakan persoalan moral individu, namun sudah menjadi kolektif. Budaya malu telah hilang di satu sisi, dan justru budaya hedonis yang menjalar di sisi lain. Itulah contoh perubahan sikap kolektif masyarakat. Sementara, sistem justru sering menjadi perangkap bagi aparat maupun masyarakat untuk, mau tak mau, bekerja sama dalam melakukan korupsi. Masyarakat butuh pelayanan yang cepat dan bermutu, sementara aparat perlu uang. Akibatnya, terjadilah lingkar kemerosotan yang semakin cepat. 

Pejabat korup akan cenderung merusak sistem dengan membuat sistem makin menguntungkan diri dan kelompoknya untuk menjarah uang rakyat. Menjelang Pemilu 2014, sistem politik demokrasi mahal menjadi salah satu sumber korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah, apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan, bahkan ratusan miliar. Kebutuhan tersebut tidak tercukupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. 

Untuk balik modal, terjadilah cara-cara "legal tapi curang" atau "curang tapi legal", seperti proses tender yang sudah diatur yang sudah menjadi rahasia umum. Cara tersingkat korupsi. Maka, wajar saja jika sangat jarang ada politisi dan pejabat, khususnya kepala daerah, yang benar-benar bersih. Juga tidak aneh jika ICW pernah mencatat ada 44 kader parpol terjerat kasus korupsi dari Januari hingga Juni 2012. 

Sebanyak 21 tokoh berasal dari kalangan atau mantan anggota dewan di pusat maupun daerah, sementara 21 kepala daerah atau mantan dan dua pengurus partai juga terjerat. Korupsi telah begitu berurat-berakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), telah terjadi 13.105 kasus penyimpangan pada instansi pemerintah pusat dan daerah pada semester I tahun 2012. Potensi kerugian negara mencapai 12,48 triliun rupiah.

Dalam sistem politik, agenda pemberantasan korupsi tersandera berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor. Sayang, dalam sistem demokrasi, hukum dibuat wakil rakyat bersama pemerintah. Di situlah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi, dan cukong pemberi modal politik amat berpengaruh. 

Di sisi lain, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor pun sangat ringan. Jangankan mencegah orang korupsi, koruptor pun tidak jera.

 

Melihat fenomena yang begitu kompleks, memerangi korupsi jelas tidak mungkin lagi hanya dengan perbaikan akhlak individu. Banyak orang yang menangis ketika mendengarkan nasihat atau seruan akhlak yang menyentuh, namun ketika kembali ke jabatan atau proyek-proyeknya, mereka merasa bahwa korupsi sah-sah saja. Khotbah agama tak sanggup lagi mencegah seseorang melakukan korupsi. Seorang birokrat yang telah naik haji berkali-kali bahkan tanpa sungkan berkata "Haji itu tugas agama, korupsi tugas negara." Tentu Ini menjadi ironi.

Karena penyebab korupsi ada pada individu yang tidak amanah, lingkungan budaya yang tidak kondusif, dan sistem yang tidak cukup menggiring orang untuk menjadi baik, berarti perang terhadap korupsi harus dilakukan secara terpadu di tiga lini ini sekaligus. Dari tiga lini ini, yang paling strategis dan punya pengaruh terbesar adalah perbaikan sistem.

Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat. Mereka bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberi hadiah atau suap. Karena itu, larangan menerima hadiah bagi aparat pemerintah perlu diingatkan terus-menerus. 

Selain itu, perhitungan kekayaan perlu diterapkan. Hal ini untuk menghindari tindakan curang. Perhitungan kekayaan para pejabat harus dilakukan di awal dan akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar legal. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik yang sebenarnya efektif mencegah aparat berbuat curang. 

Di sisi lain, birokrasi mesti disederhanakan. Birokrasi yang berbelit dan tidak rasional akan membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan akuntabilitas, dan membuka peluang korupsi. Demikian juga dengan prosedur hukum yang diskriminatif, misalnya, memeriksa pejabat tinggi harus izin kepala negara. Akibatnya, tidak jarang korupsi yang menyentuh lapisan elite tersebut, penyidikan biasanya terhenti. Di samping itu, hukuman setimpal perlu diwujudkan. 

Sistem hanya akan efektif diterapkan jika budaya masyarakat mendukung. Karena itu, panduan tentang cara agar budaya rusak ini bisa diperbaiki dengan teladan pemimpin. Dengan teladan pemimpin, pemberantasan korupsi jadi mudah. Mereka juga akan lebih siap memilih orang-orang bersih untuk menjadi polisi, jaksa, atau hakim, karena tak takut terseret sendiri.

Di samping itu, pengawasan masyarakat menjadi bagian penting. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat hedonis yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat. Sebaliknya, masyarakat yang mulia dan kritis akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajak menyimpang. 

Sementara itu, pers (media) dan LSM perlu dipersilakan lebar-lebar untuk mengawasi perilaku atau gaya hidup para pejabat atau calon pejabat. Namun, di sisi lain, media dilarang menjadi alat propaganda gaya hidup instan, hedonis, dan konsumtif yang akan kontraproduktif pada upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Orang yang ingin korupsi akan malu pada masyarakat yang telah menolaknya secara kolektif. Lagi pula, jika sistem sudah cukup rasional, baik kebutuhan maupun peluang korupsi bisa ditekan. Semua elemen bangsa harus bersatu membangun negeri tanpa korupsi. Hijrahlah dari korupsi! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar