Jumat, 01 November 2013

Hasrat Nekrofilia Perilaku Korup

Hasrat Nekrofilia Perilaku Korup
Thomas Koten  ;   Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA, 31 Oktober 2013

Power tends to corrupt, Absolute power corrupts absolutely. (Lord Acton, 1834-1902)

MARAKNYA praktik penegakan hukum, politik, dan berbagai praktik dalam tata kelola negara yang rakus, serakah, dan korup senantiasa meniscayakan kredo Lord Acton tentang kekuasaan yang busuk. Tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap awal Oktober lalu, dan terungkapnya berbagai kasus korupsi lainnya baru-baru ini semakin mengabadikan tesis Lord Acton di atas.

Sebuah tesis yang menegaskan bahwa tindakan korupsi hanya mungkin dilakukan mereka yang punya kekuasaan. Kemungkinan itu menjadi tidak terbantahkan jika kultur dan struktur sosial dan politik yang korup mendukungnya. Realitas juga menunjukkan bahwa kultur dan struktur sosial politik di negeri ini sungguh korup. Lihat, misalnya, Indonesia hingga kini masih menjadi negara terdepan dalam barisan negara-negara korup di dunia.

Pertanyaan mendasar yang perlu diadopsi adalah mengapa manusia melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas mencelakakan dirinya? Apa motif dasar yang mendorong seseorang untuk bertindak korup, bahkan hingga mengorupsi uang negara dalam jumlah yang sangat fantastis, yang tentu saja memiliki risiko yang sangat tinggi? Bagaimana menjawabnya?

Hasrat nekrofilia

Jika pertanyaan di atas diajukan kepada para filsuf seperti Thomas Hobbes, tentu kita akan memperoleh jawabannya: karena manusia cenderung pada pemenuhan hasrat secara berkelanjutan untuk memenuhi segala kepentingan dirinya yang tidak terbatas. Dengan pemenuhan kebutuhan itu, manusia menjadi kurang tenang dalam kepuasan dan manusia selalu merasa kurang.

Bahwasanya, objek hasrat seseorang bukanlah semata menikmati sesuatu yang sifatnya pragmatis semata, melainkan berkelanjutan untuk memenuhi hasrat kepuasan yang memang tidak terbatas. Dalam bukunya yang terkenal, Leviathan, dituliskan bahwa kecenderungan umum manusia adalah hasrat abadi dari d penguasaan yang satu menuju m penguasaan lainnya. Kecenderungan itu hanya berhenti pada saat kematiannya.

Menurut Hobbes, manusia memiliki kebebasan berpikir dan bertindak yang dilandasi oleh emosi dan hasrat diri untuk mendapatkan sesuatu demi pemenuhan kebutuhan hidupnya kini dan akan datang. Dalam landasan emosi itu terdapat guratan dan de nyut rasa cinta dan benci. Dalam buku Leviathan itu, diuraikan bahwa sesuatu yang dikehendaki orang adalah apa yang mereka cintai, sebaliknya sesuatu yang dibenci adalah apa yang tidak dikehendakinya.

Oleh karena itulah, orang kemudian berkesimpulan bahwa segala yang memenuhi hasrat kesenangan dipandang baik dan segala yang memenuhi hasrat penderitaan di pandang tidak baik, bahkan buruk dan jahat. Misalnya, miskin, bodoh, sengsara, lapar, sakit, tidak cantik, dihina, itu buruk dan menakutkan sehingga perlu dijauhkan. Sebaliknya, kaya, pintar, kenyang, cantik, ganteng, sehat, dipuji, itu baik dan nikmat sehingga perlu dikejar dan diperjuangkan. Bila perlu dengan menempuh jalan yang tidak wajar untuk bisa mendapatkannya.

Itulah yang kemudian terungkap juga dalam tesis klasik filsuf Friederich Nietzsche, bahwa segala sesuatu menjadi dasar dari naluri manusia yang tidak pernah padam dan/atau terhapus dari lahir hingga matinya adalah mengejar segala kenikmatan hidup yang memenuhi selera dan keinginan badani yang hedonistik. Salah satu kenikmatan yang selalu dikejar oleh manusia adalah kenikmatan dalam mengecapi kekuasaan. Lihat, orang dengan segala macam cara berusaha untuk meraih dan merengkuh serta mempertahankan kekuasaan.

Maka, tidak mengherankan korupsi dijalankan dengan cara yang bisa besar-besaran karena dianggap nikmat dan menguntungkan, meski mereka harus berhadapan dengan risiko yang akan datang, termasuk risiko penjara, bahkan kematian. Karena itu, korupsi dari satu dimensi dikatakan sebagai orang yang memiliki hasrat atau cinta akan kematian-nekrofilia (Erich Fromm). Tanda orang yang cinta akan kematian, yakni selalu terpesona oleh kenikmatan hidup atau kepuasan hidup tanpa memedulikan bagaimana memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu. Misalnya, dengan jalan korupsi besar-besaran tanpa memedulikan risiko yang ditanggung secara mental, psikis, moral, ataupun fisik, jika tindakan korupsinya diketahui publik hingga digiring mendekam di balik terali besi.

Nekrofilia adalah sebuah penyimpangan orientasi hidup yang ingin menikmati segala sesuatu yang disediakan dunia ini. Bersifat hedonistik. Berbeda dengan biofilia, yaitu mencintai kehidupan, yang juga oleh Erich Fromm disebut dalam tulisannya, Creators and Destroyers (1964).

Biofilia berarti, `Mencintai kehidupan'. Inilah orientasi normal yang ada di antara orang-orang bermoral yang selalu mempertimbangkan baikburuk dalam tindakan, seperti menghindari perilaku korup. Insan biofilia selalu mencintai kehidupan sehingga selalu ingin berbuat baik dan menjauhkan tindakan-tindakan yang kurang baik atau jahat, seperti menghindari tindakan korupsi.

Membangun kesadaran

Oleh karena itu, tindakan solutif kini adalah bagaimana mencegah perkembangan virus korupsi dan mengurangi munculnya koruptor-koruptor baru. Banyak cara solutif yang bisa ditempuh, tetapi satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara membangkitkan kesadaran dalam diri pribadi publik tentang buruknya kepemilikan hasrat nekrofilia. Artinya, tidak ada solusi jitu dan permanen bagi penyakit korupsi yang terus merajalela dan kian mengganas ini. Yang dilakukan hanya pencegahan.

Dengan cara membangkitkan kesadaran ini, terapi ala sang psikoanalis Sigmund Freud dapat dilakukan, yaitu dengan cara mengembangkan ekspresi muak dan rasa jijik, menakutkan dalam diri para koruptor. Menurut Freud, menyitir tulisan YK KA Jahija (2005), menekankan keberhasilan terapi tidak berhenti pada tahu, tetapi ekspresi yang bila ditransfer secara sosial berhasil dalam memerangi perilaku korupsi dan tidak berhenti pada pengetahuan akan keburukan korupsi. Namun juga berlanjut pada ekspresi muak terhadap korupsi. Ekspresi adalah kunci melepaskan diri dari pengaruh dorongan korup yang dialami bawah sadar sang koruptor.

Selain itu, para agamawan pun perlu menekankan `psikologi transpersonal': dengan menekankan pentingnya penerangan bawah sadar yang dipahami secara baru dengan tidak hanya menyimpan pengalaman pahit, tetapi juga mutiara yang mampu mengubah perilaku secara radikal. Banyak praktik spiritualitas, seperti refleksi, kontemplasi, yoga, meditasi, tafakur, zikir, dan lain-lain yang terbukti mampu menggiring orang kepada perilaku kebaikan dan menjauhkan segala tindakan buruk yang merugikan diri, bahkan juga orang lain di sekitarnya.


Dalam hal ini, pemerintah bukan saja memperhatikan hukum positif dengan memikirkan bagaimana hukum sekeraskerasnya diterapkan kepada para koruptor untuk mengurangi korupsi. Melainkan perlu membangun kebijakan di sejumlah sektor, khususnya pendidikan, agar membangkitkan kesadaran dan merangsang kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak merusak diri sendiri, seperti lewat tindakan korupsi, yang tentu akan mencelakakan dirinya, bahkan ikut merusak moral masyarakat dan bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar