Sabtu, 02 November 2013

Harapan Sederhana kepada Pak Sutarman

Harapan Sederhana kepada Pak Sutarman
Edi Supratno  ;  Warga biasa tinggal, Bekas kuli sawit, Kini komisioner di KPUD di Kudus
JAWA POS, 01 November 2013

JENDERAL Sutarman resmi menggantikan Jenderal Timur Pradopo sebagai kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pelantikan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (29/10) dan serah terima tongkat komando berlangsung sehari setelah pelantikan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.

Bersamaan dengan hari pelantikan, Jawa Pos menurunkan kisah hidup Pak Sutarman. Kisahnya sangat menarik karena mengupas masa kecil yang bersangkutan sebagai anak desa di Dusun Dayu, Desa Tawang, Kecamatan Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah. Masa kecilnya dilalui seperti layaknya anak desa yang akrab dengan lumpur sawah, menggembala ternak, dan pekerjaan kasar yang lain.

Masa mudanya juga penuh gemblengan. Pak Sutarman pernah menjadi pekerja kasar sebagai pengaspal jalan dan pedagang tongseng keliling. Seiring dengan berputarnya roda kehidupan, kini anak desa itu menjadi orang nomor satu kepolisian di negara yang jumlah penduduknya besar dan wilayahnya sangat luas ini. Tentu bukan satu tugas yang sederhana di tengah permasalahan sosial yang semakin kompleks.

Dalam hal kecepatan menangani kasus pun, polisi sudah dikesankan negatif, yaitu melalui film India, yang datang ke lokasi begitu kejadian selesai. Belum lagi berbicara tentang kepercayaan masyarakat saat mengurus sesuatu. Anekdot orang kehilangan ayam harus rela kehilangan kambing untuk biaya urus kasusnya di kepolisian hingga sekarang masih dipercaya masyarakat. 

Termasuk saat lalu lintas macet. Walau kesemrawutan itu juga dipengaruhi faktor rendahnya kesadaran dan ketertiban pengguna jalan, tetap saja polisi mendapat nilai buruk. ''Tugas polisi memang menjaga ketertiban. Kalau yang semrawut seperti ini, tidak perlu dijaga,'' cibir seseorang di tengah kemacetan. 



Seorang teman pernah mengingatkan, seburuk apa pun kepolisian kita, hal itu masih lebih baik. Bayangkan jika sudah tidak ada polisi di negeri ini, premanlah yang akan menguasai. Kalau preman berkuasa, lalu yang menertibkan preman siapa. Sulit membayangkan jika hukum benar-benar dikuasai preman. ''Yang perlu dibenahi itu orangnya, bukan membubarkan lembaganya,'' pesannya.

Munculnya nama Komjen Sutarman sebagai satu-satunya calon yang diajukan pemerintah kepada DPR sebagai calon Kapolri mendapat respons positif dari masyarakat. Setidaknya dari pemberitaan media massa. Sosoknya dikesankan sederhana, hartanya wajar, dan yang agak nyeleneh tidak mempunyai nomor rekening. Meskipun, dia pernah tercatat punya peran besar saat KPK dikepung setelah mengusut perkara Irjen Pol Djoko Susilo.

Jika beberapa waktu lalu kita dijejali informasi bahwa ada beberapa anggota Polri yang mempunyai rekening gendut, kita bisa menebak salah seorang di antara mereka bukan Pak Sutarman. Untuk itu, mestinya dia berani mengusut tuntas kasus tersebut. Akan tetapi, saya tidak mengharapkan yang muluk-muluk kepada Kapolri untuk bisa menyelesaikan itu. Sebab, musuhnya banyak dan orang-orang kuat pula. Selain itu, bagi saya dan masyarakat kecil pada umumnya, hal itu tidak ada yang berkaitan langsung dengan kehidupan kami. 

Yang saya harapkan kepada Pak Sutarman sangat sederhana: kepolisian bisa konsisten dengan slogannya, Kami Siap Melayani Anda, Hindari Calo, dan sejenisnya. Transparanlah saat menerapkan tarif. Kalau sudah konsisten dan transparan, perlahan-lahan kepercayaan publik akan kembali tumbuh. 

Kenyataannya, satu sisi ada tulisan Hindari Calo saat mengurus surat izin mengemudi (SIM), di tempat yang sama calo bebas beraksi dan aman-aman saja. Selain itu, katanya siap melayani, tapi kenyataannya menggesek nomor mesin kendaraan saja harus bayar Rp 50 ribu tanpa kuitansi. Itu praktik-praktik yang memperburuk wajah kepolisian kita. 

Asal Pak Sutarman tahu, bagi masyarakat, berapa pun biaya yang harus dibayarkan jika memang aturannya demikian, masyarakat akan patuh. Sebaliknya, sekecil apa pun pungutan itu, jika liar, membuat kecewa. 

Semoga Pak Sutarman masih ingat masa-masa susah dulu. Dan sampai sekarang, orang yang menjadi pengaspal jalan itu masih ada. Jumlahnya mungkin puluhan ribu. 

Bagi kami orang-orang biasa, untuk mendapatkan Rp 50 ribu itu harus berjemur seharian di tengah jalan sebagai pengaspal. Harus berkeliling berkilo-kilo untuk menjajakan dagangan, dengan cerita sedih lainnya. Sangat menyakitkan jika upah kerja seharian itu ''hilang'' saat mengurus sesuatu di kantor polisi, lembaga yang dibiayai negara. Apakah ini adil?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar