Jumat, 08 November 2013

Hamka dan “Khaira Ummah”

Hamka dan “Khaira Ummah”
A Mujib El Shirazy  ;  Dosen Peradaban Islam,
Ketua Panitia Gebyar Muharram Unissula
SUARA MERDEKA, 08 November 2013


DI Indonesia, hingga hari ini bukan perkara mudah mencari pribadi muslim sekaliber Buya Hamka. Dalam diri Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu berpadu karakter ulama, intelektual, sastrawan, dan politikus sekaligus.

Sebagai ulama, ia telah menunjukkan teladan sebaik-baik ulama. Ulama yang rela menggenggam erat kebenaran meski itu laksana bara api yang membakar tangan.

Sebagai intelektual, ia telah mempersembahkan lebih dari 100 karya. Sebagai sastrawan, ia dikenal adiluhung lewat sejumlah karya yang memikat jiwa. Salah satu karyanya, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) memenangi lomba mengarang roman yang diselenggarakan Volkslectuur Balai Pustaka. Karya itu belakangan difilmkan dan diputar di bioskop negeri ini.

Inilah yang menjadi alasan kuat pada perayaan Muharam kali ini, Unissula dengan penuh kebanggaan menganugerahkan Budai Award kepadanya. Penghargaan yang hanya diberikan kepada muslim yang dianggap merepresentasikan pribadi khaira ummah.

Pribadi dengan segudang keteladanan dan prestasi, serta berkontribusi bagi pengembangan umat Islam Indonesia. Menyusuri kehidupannya, kita menjumpai banyak pelajaran hidup berharga. Ia seorang pecinta ilmu, kecintaannya terhadap ilmu mengerakkannya berpetualang ke luar pulau, bahkan keluar negeri.

Ia hijrah ke Jawa dalam usia belia, berguru pada AR Sutan Mansur dan HOS Tjokroaminoto. Ia juga berkunjung ke Makkah, kota yang menjadi kiblat umat Islam. Dia juga terus berpetualang dari buku ke buku. Walaupun lahir dari rahim belajar autodidak, kedalaman wawasan dan pengetahuannya tidak kalah dari mereka yang mengenyam pendidikan formal.

Bahkan dalam segi produktivitas menulis, ia mengalahkan mereka yang jebolan pendidikan formal. Ia mendapatkan doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Sebagai ulama, ia tak mencukupkan diri hanya berdakwah melalui mimbar tapi juga melalui pena, mengarang ratusan buku.
Pilihannya itu menjadikan warisan intelektualnya masih bisa kita nikmati sampai sekarang, antara lain Tafsir Al Azhar, Pandangan Hidup Muslim, Pelajaran Agama Islam, Iman dan Amal Soleh, Tasauf Moderen, Falsafah Ideologi, Keadilan Sosial dalam Islam, dan Ghirah dan Tantangan terhadap Islam.

Hamka tahu benar cara mensyukuri hidup. Ia sadar bahwa apa pun itu hakikatnya berasal dari Allah dan karenanya pantang untuk meratap. Sebaliknya, tiap kejadian dimaknai secara positif. Pernah suatu masa, ia harus mendekam di balik jeruji besi, lantaran bersinggungan dengan kekuasaan.

Namun ia tak patah arang, terpisah dari manusia, terkungkung dalam bilik sumpek. Ia justru menggunakan waktunya yang longgar untuk menulis. Katanya,’’Bila pintu komunikasi antarmanusia diputus oleh manusia, pintu komunikasi dengan Allah terbentang luas”. Dua tahun berada di penjara, ia berhasil menyelesaikan karya monumental Tafsir Al Azhar Pernah Hamka mengalami badai kehidupan dahsyat.

Difitnah, karyanya dicibir, dituding melakukan plagiasi, bahkan dijebloskan ke penjara, semua itu tidak juga menjadikannya pendendam. Dengan kelegaan hati ia maafkan musuh-musuh politiknya. Ia tidak membenci pengarang Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer yang menelanjanginya habis-habisan karyanya. Ia hanya mengatakan, ”Serangan yang dilancarkan terhadap diri saya, sama sekali tidak benar. Semua itu fitnah. Saya hanya dapat berdoa. Biarlah mereka sepuas-puasnya memaki saya, sebab yang pasti akan ketahuan mana emas mana loyang” (Harmoko, 1984)

Shalat Jenazah

Termasuk tidak dendam kepada Soekarno yang memenjarakannya. Bahkan ketika Soekarno meninggal, memenuhi permintaan keluarga itu, Hamka-lah yang menjadi imam shalat jenazah. Seusai memimpin shalat jenazah, Hamka berkata, “Aku telah doakan engkau dalam sembahyangku, supaya Allah memberikan ampunan atas dosamu. Adapun dosamu pada diriku, menganiaya aku, menuduhku dengan tuduhan palsu, mengecewakanku dengan anak cucuku sampai kami menderita bertahun-tahun lamanya, di hari perpisahan ini aku jelaskan bahwa engkau telah kuberi maaf.’’ (Poeradisastra,1984)

Karya Hamka meski sudah termakan usia, masih layak menjadi pegangan hingga hari ini. Salah satu tulisan yang patut kita renungkan adalah tentang ketergerusan nilai-nilai karakter masyarakat oleh penetrasi budaya Barat. Nilai-nilai luhur yang menjadikan bangsa ini terhormat sudah termakan pengaruh luar. Akibatnya, bangsa ini diremehkan oleh bangsa lain. Misalnya di Minangkabau, ada pepatah seperti yang dia tulis dalam Ghirah dan Tantangan terhadap Islam, ’’arang tercoreng di kening, malu tergaris di muka’’.

Karena prinsip ini ketika seorang pemuda dibuat malu karena saudara perempuannya dinodai kehormatannya, ia bangkit menghajar dan menghabisi orang yang menodai saudaranya perempuannya itu. Walaupun ia harus mendekam di penjara, baginya lebih baik daripada tidak membela kehormatan keluarga,” (Hamka, 1982).

Berkenaan menyambut kedatangan fajar baru Islam, Hamka memberikan nasihat, umat Islam jangan hanya pandai menanam kangkung, yang hari ini ditanam, esok dipetik, dan lusa habis dimakan. Ia menasihati harus banyak menanam jati, yang sekalipun si penanam tidak menikmati hasilnya, pohon itu kelak bermanfaat bagi kehidupan generasi mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar