Coba bayangkan betapa
kaget dan tersinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membaca di
pers, atas titipan info dari buronan eks-intel Amerika Edward Snowden,
bahwa telepon pribadinya, termasuk di dalamnya percakapan dengan ibu Ani
telah disadap oleh lembaga intelijen Australia. Dan itu dilakukan dengan
sepengetahuan ”temannya” perdana menteri negara tersebut, seolah-olah
beliau tak lebih dari seorang gembong teroris. Keterlaluan, banget! Apalagi
”temannya”
itu, meskipun namanya berarti ”pendeta” (Abott), tidak merasa perlu mengaku
salah.
Maka wajarlah bila reaksi sebagian dari
masyarakat dan politikus yang ”kurang kerjaan” mengajak kita kembali ke
zaman yang lama, ke zaman ”kejayaan” para juru pidato Indonesia: yaitu
ketika, kadangkala bukan tanpa alasan, Indonesia suka menghujat kaum
”imperialis” dari Barat sana.
Termasuk dari Australia, yang memang hasil
invasi imperialis itu. Tidak mengherankan pula bila istilah-istilah seperti
”penghinaan terhadap presiden”, ”martabat bangsa”, ”putuskan hubungan diplomatik”,
dan pernyataan merdu serupa lainnya tiba-tiba menjadifashion serta membeludak di
Facebook dan Twitter. Sampai SBY, betapa pun ingin kelihatan rasional,
”terpaksa” naik darah atas nama keagungan sejarah lama.
Apakah situasi gawat? Tidak. Memang menyangkut
rasa ”nasionalisme”, dan cukup peka karena itu: bisa dimanipulasi ke segala
arah. Tetapi… SBY bukanlah satu-satunya korban peristiwa serupa! Indonesia
bukanlah satu-satu negara sasaran, dan Australia bukan satu-satunya
”pelaku”! Sejak dua tahun yang lalu, atas prakarsa segelintir aktivis–dulu
Assange dan Manning, kini Snowden Cs–pembocoran dari rahasia-rahasia dunia
maya memang merajalela. Tanyalah saja kepada Merkel dan Hollande, yang
disadap oleh Amerika. Merkel yang Kanselir Jerman itu, bisa jadi telah
disadap saat mencuci rambut di kamar mandinya. Adapun Presiden Perancis
Hollande siapa tahu disadap ketika bertengkar dengan partnernya tentang
warna rambutnya Merkel. Jadi tidak lucu! Kendati keduanya memprotes dengan
keras atas nama martabat Eropa dan tetek bengeknya, sang pelaku yang bekas
penduduk Menteng Dalam itu, yaitu Obama, diam seribu bahasa. Bukan tanpa
alasan: ratusan kepala negara lainnya ternyata disadap pula oleh lembaga
intel Amerika NSA.
Sementara keributan meluas, para
pembocor, yaitu Snowden dan teman-temannya tertawa terkekeh-kekeh, dan
asyik menyiapkan skandal berikutnya. ”Kena satu! Ya! Hore! Bocoran data
mana lagi yang bisa menghebohkan?” Mereka tahu bahwa perang tidak akan
meletus. Mereka juga tidak peduli apakah bangsa ini atau itu tersinggung
atau tidak, serta betapa marahnya SBY atau Merkel. Tindakan mereka adalah
tindakan aktivis: mereka ingin menyadarkan kita atas risiko munculnya ”Big Brother”, yaitu suatu sistem
totaliter berlandaskan teknologi–sebagaimana dikisahkan oleh George Orwell
di dalam novel tersohornya Nineteen
Eighty Four (1949),
di mana ”Big Brother” mengawasi dan mengontrol gerak-gerik dan kehidupan
semua orang.
Memang! Bila penyadap bisa masuk ke ruang
pribadi seorang kepala negara, berarti ”kita-kita” ini bisa juga disadap,
diintai, dicuri datanya, dicuci otaknya, dan digiring perbuatannya. Lalu
bagaimana dengan kebebasan berpikir, bagaimana dengan demokrasi? Itulah
yang hendak ditekankan oleh komplotan pembocor kita ini. Tak heran bila,
dituduh sebagai pengkhianat rahasia bangsanya, mereka malah merasa dirinya
sebagai pahlawan demokrasi global! Setuju atau tidak, menarik, kan?
Ya! Tak ayal teknologi IT global ini
mengguncangkan cara kita berpikir, bersosialisasi, berpacaran,
bermasyarakat, dan bahkan juga cara kita bernegara dan bergaul antarbangsa.
Semua rumus sosial lama dilabraknya, hal mana bukan tanpa risiko terhadap
kebebasan berpikir. Maka muncul pertanyaan: Apakah kita sudah mempunyai
perangkat institusional yang sekaligus jitu, kokoh dan etis, untuk menanggulangi
dampak global dari IT ini? Ternyata belum. Itulah pada hemat saya tugas
besar yang menanti Indonesia. Boleh ”marah-marah” sebentar terhadap
Australia, yang memang keterlaluan itu, tetapi lebih penting lagi Indonesia
menjadi pemrakarsa di PBB dari suatu etika global– dan hukum internasional
terkait–perihal IT.
Namun, hati-hati, lho. Janganlah
peristiwa ini dijadikan dalih untuk ”mengebiri” kuasa KPK atas nama
perlindungan terhadap ”Big Brother”.
Karena di belakang upaya pengebirian itu boleh jadi terdapat bukan lagi
bayangan ”Big Brother”, tetapi
”bau” yang tersisa dari Bapak Pembangunan yaitu ”Big Father” Orde Baru. Bila itu terjadi, Indonesia bakal
membutuhkan bukan lagi seorang Snowden, melainkan seorang Wibisana, yang
mengkhianati kakaknya Rahwana demi Kebenaran Rama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar