|
MASIH
segar dalam memori kolektif sebagian masyarakat bahwa pada 1 Juli 2013 bankir
andal berkebangsaan Kanada, Mark Carney, yang selama ini menjadi Gubernur Bank
Sentral Kanada dibajak dan dipercaya memimpin Bank Sentral Inggris. Seketika
pasar keuangan internasional tersentak.
Bagaimana
mungkin warga negara Kanada memimpin Bank Sentral Inggris, otoritas moneter
tertinggi pada sebuah negara yang banyak melahirkan ekonom kelas dunia? Memori
sebagian dari publik juga belum lupa bahwa pada 1 Mei 2005, Stanley Fischer,
Guru Besar Ekonomi Massachusetts
Institute of Technology (MIT), perguruan tinggi papan atas di Amerika
Serikat, dipercaya menjadi Gubernur Bank Sentral Israel. Dua contoh itu menjadi
catatan penting bagi perbankan komersial, baik di Indonesia maupun di dunia
internasional.
Harga
dari pengetahuan, pengalaman, dan integritas sangat mahal namun sangat
diperlukan. Tak ada yang dapat menghalangi sebuah bank untuk ’’mengimpor’’
bankir dari belahan dunia lain demi satu tujuan: peningkatan performa atau kinerja
bank yang ia pimpin. Perbankan Indonesia pun sejak dua dekade terakhir ini
merekrut bankir-bankir andal. Lihat saja, dirut BRI, BNI dan BCA, tiga bank
papan atas yang dipimpin bankir yang bukan dari internal
.
Di tingkat regional pun, bank pembangunan daerah (BPD) melakukan hal serupa.
Bank Jabar Banten dan Bank DKI, yang merupakan bank pembangunan daerah papan
atas, dinakhodai bankir bukan dari internal.
CEO
yang direkrut dari luar itu adalah bankir yang mengemban misi hanya demi satu
tujuan: peningkatan kinerja. Bagaimana hasilnya? Terjadi peningkatan
pertumbuhan signifikan pada hampir seluruh aspek keuangan setelah dipimpin oleh
CEO yang merupakan bankir andal dari eksternal.
Paradigma Baru
Change atau perubahan, adalah kata yang
sering menjadi slogan dalam organisasi dan perusahaan. Sebagai slogan, bisa
jadi hanya terbatas hiasan di tembok kantor. Tanpa makna, tanpa arti. Mengapa?
Hakikatnya tiap orang lebih menyukai ìtidak berubah.
Untuk
mencapai perubahan dibutuhkan energi besar, diperlukan aksi segera dan tidak
menunggu supaya bisa mencairkan status
quo. Realitas menunjukkan bahwa energi dari bankir profesional yang berasal
dari eksternal sangat memadai sedemikian rupa sehingga mampu melakukan
terobosan fundamental yang menghasilkan kinerja bank yang lebih baik.
Dalam
manajemen bisnis modern, dikotomi kepemimpinan internal atau eksternal sudah
usang. Perhatian pemangku kepentingan hanya pada peningkatan kinerja yang pada
akhirnya dinikmati semuanya. Apakah ada jaminan bahwa CEO dari eksternal akan
lebih baik? Juga sebaliknya, CEO dari internal? Terlalu prematur untuk
menjawabnya.
Yang
perlu diperhatikan adalah rekam jejak dari calon CEO. Kita bisa berkaca bahwa
pada fakta bahwa sekelas bank sentral pun direkrut lintas negara, tanpa
memandang kewarganegaraannya, kendati ia bertanggung jawab memimpin kebijakan
moneter sebuah negara. Hampir dapat dipastikan bahwa pemilihan CEO, baik dari
kalangan internal maupun eksternal tak akan dilakukan secara sembarangan.
Tak
ada pemangku kebijakan yang berani mengambil risiko melakukan perekrutan dengan
cara-cara buruk yang pada akhirnya membuat buruk kinerja perusahaan. Kesalahan
perekrutan CEO dalam dunia bisnis bisa cepat diketahui, paling tidak selama 4
tri wulan kepemimpinan. Indikator bisnis sangat kuantitatif, semua hal dapat
diukur secara matematis. Sebagai CEO, tentu saja pengalaman dalam hal
kepemimpinan, pemahaman tentang kompetisi dan rekam jejak memenangi kompetisi,
pengalaman operasional dan pengetahuan tentang risiko bisnis menjadi sangat
vital. Tanpa kriteria itu, proses perekrutan dipastikan keliru sejak awal. CEO
harus bekerja dan berpikir out of the box
supaya menang dalam turbulensi kompetisi. Industri perbankan adalah industri
yang paling turbulen. Semua bank menawarkan produk dan jasa yang relatif sama.
Hampir tak ditemukan perbedaan antara menabung di bank Adan bank B mengingat
keunggulan masing-masing fitur dan atribut produk relatif sama. Dalam konteks
itulah, hanya CEO yang memahami customer centric strategy bisa memenangi
kompetisi.
Menaati Regulasi
Dewasa
ini, risiko perbankan sangat kompleks. Bank Indonesia melalui PBI Nomor 11
Tahun 2009 membuat standar bagi direksi bank, disesuaikan dengan aset dan
struktur organisasi risiko. Bagi bank besar dengan aset di atas Rp 10 triliun,
seorang CEO bila membawahi divisi yang membidangi risiko, diwajibkan memiliki
sertifikat manajemen risiko tingkat 5. Demikian juga direktur kepatuhan, yang
sangat erat kaitannya dengan manajemen risiko.
Mungkinkah
seorang yang tak memiliki sertifikat manajemen risiko tingkat 5 menjadi CEO di
bank dengan total aset lebih dari Rp 10 triliun? Semua itu bergantung pada
struktur organisasi bank tersebut. Bank Indonesia hanya mensyaratkan sertifikat
manajemen risiko tingkat 5 bagi CEO dan direktur bila kedua orang itu membawahi
unit kerja yang mengelola risiko sebagaimana bunyi Pasal 11 PBI Nomor 11 Tahun
2009. Lazimnya, CEO adalah perencana utama sebuah bank.Dia harus berpikir
strategik dan mengarahkan seluruh sumber daya guna memenangi kompetisi.
Apabila
tidak, banknya ditinggalkan nasabah. Tak sulit menemukan kantor bank saat ini.
Tak puas di satu bank, begitu keluar dari bank itu, nasabah bisa menemukan bank
yang baru, hanya dengan melangkah beberapa meter. Dalam situasi seperti itu,
kerja tim menjadi vital. Kerja sama direksi bank harus bisa membentuk sinergi
yang solid. Masing-masing dengan tanggung jawab dan kewenangan yang jelas dan
terukur.
Keahlian
dalam hal pemasaran strategik, operasional, dan pengendalian risiko harus
terbagi secara sempurna antardireksi sehingga jadi satu kesatuan utuh dalam
menyokong CEO berperang melawan dan memenangi kompetisi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar