Di negeri ini, institusi strategis yang
memang didaulat secara legal menjadi pengawal konstitusi adalah Mahkamah
Konstisi (MK). Akan tetapi dalam ranah das sein, semua elemen bangsa ini
adalah pengawal dan pengamal konstitusi. Jika mereka tidak
mengimplementasikan atau membumikannya, maka kesejatian degradasi dan
bahkan kematian konstitusi, adalah menjadi tanggungjawabnya.
Salah satu elemen fundamental bangsa yang
bertanggungjawab terhadap terdegradasi tidaknya konstitusi adalah KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi). Di tangan KPK, konstitusi bisa tegak
menjulang, namun bisa sebaliknya, terjun bebas menuju kematian. Konstitusi
secara formal memang masih hidup, tetapi dalam ranah sakral berbangsa,
sudah kehilangan kekuatannya.
Belakangan ini, memang ada banyak penilaian
dari anggota masyarakat bahwa KPK sudah menunjukkan kinerja empirik dalam
penangulangan korupsi. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang meragukan
keberadaan KPK. Sangat wajar gugatan itu, pasalnya ada elemen publik yang
tetap menyuarakan kritik kerasnya pada KPK, yang dinilainya masih kerap
dihadapkan pada kesulitan menegakkan prinsip egalitarianisme yuridis atau
kesamaan derajat di depan hukum seperti diajarkan konstitusi (UUD 1945).
Saat KPK dihadapkan dengan kasus-kasus berat secara politik, KPK seperti
kehilangan atau kekurangan energi. Pola kinerja KPK seperti siput yang
berjalan lambat.
Sikap KPK itu dikonklusi oleh publik sebagai
sikap yang mendistorsi dan cenderung mendegradasi prinsip egalitarianisme
yuridis (konstitusi), yang prinsip ini sejatinya sebagai doktrin sakral
yang wajib diberlakukannya secara universal dan inklusif. Sikap publik
demikian itu tak bisa dianggap sebagai sikap praduga bersalah (presumption
of guilt) pada KPK, tetapi merupakan wujud sikap kritis normal masyarakat
yang membaca atmosfir jagat internal KPK yang terkadang terjebak pada
interes eksklusif atau perselisihan paham saat dihadapkan pada kasus
korupsi bercorak istimewa.
Sudah beberapa kali publik mengkritik keras
pada KPK supaya setiap penjahat atau terduga korupsi tidak ada yang
diperlakukan istimewa atau diberikan layanan kelas satu. Pengistimewaan
pada tersangka tertentu atau siapapun yang terduga sebagai bagian dari
korupsi, dapat menjadi ancaman serius terhadap terjadinya degradasi
konstitusi.
Kalau seperti itu, tentu saja bukan hanya MK
yang kehilangan kewibawaan, tetapi konstitusi pun tidak akan mendapatkan
tempat di hati rakyat yang mencari keadilan. Bahkan lembaga-lembaga
strategis yang menggunakan bendera hukum, akan terancam tereliminasi dari
kredibilitas publik secara totalitas dan bahkan vulgaritas.
Perlakuan khusus atau kelas satu pada elite
yang bermasalah hukum, kata Haidar Maksum dalam Jejaring Koruptor (2012)
hanya akan memperluas atau memeratakan budaya penyalahgunaan amanat
kekuasaan di berbagai lini strategis. Lini yudisial menjadi paling gampang
digunakan tameng penyalahgunaan, pasalnya di lini ini, terdapat norma
yuridis yang dengan gampang digunakan sebagai instrument proteksinya.
Permintaan itu sejalan dengan konsekuensi
Indonesia sebagai negara hukum, yang salah satu prinsipnya adalah penegakan
asas persamaan derajat di depan hukum (equality before the law). Dalam
prinsip ini, siapapun yang menjadi pelanggar norma yuridis, wajib
mempertanggung jawabkan atau dipertanggungjawabkan secara hukum berbasis
kesederajatan, non-diskriminasi atau egalitarianisme.
Selama ini, jagat yuridis kita menjadi
sangat buram lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan dalam menerapkan norma
egalitarian. Elemen peradilan yang mengkhianati prinsip egalitarian telah
membuat karut marutnya jagat hukum. Mereka itu telah membuat kesalahan
besar karena memang sejatinya dirinya adalah pelaku utama yang memainkan
peran sangat vital bagi terwujudnya idealisme penegakan hukum (law
enforcement) dan keadilan.
Di tangannya, negara sudah mempercayakan
bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris, atau
bagaimana keadilan untuk semua (juctice for all) atau berbasis demokratis
memang secara empirik menjadi hak seseorang, atau masyarakat, yang
seharusnya menerimanya tanpa dikecualikan atau diintervensi siapapun. Dalam
ranah itu, hukum yang demokratis bermaknakan sebagai hukum yang bukan hanya
sejiwa dengan kepentingan masyarakat, tetapi sebagai hukum yang oleh negara
bisa dimediasi atau dilabuhkan sebagai norma yang mengejawentah yang mampu
memberikan manfaat demi dan untuk rakyat. Saat rakyat dieliminasi,
sementara oknum penguasa dan korporatis mendapatkan proteksi privilitas,
maka disinilah deskripsi riil degradasi negara hukum.
Untuk bisa menjadi hukum yang demokratis
atau bermanfaat tersebut, kuncinya kembali pada KPK. Elemen ini membuat
norma hukum bisa bekerja seperti melindungi, memenuhi, dan memberdayakan,
dan sebaliknya bisa menghadirkan dan menyuburkan distorsi egalitarianisme.
Ketidakadilan atau diskriminasi bisa dengan
mudah diproduksi oleh elite penegak hukum (KPK), pasalnya mereka inilah
yang dipercaya mengenakan baju hukum, menjadi generator peradilan, berperan
sebagai eksekutor, atau distigma oleh regulasi untuk menjalankan mandat
yuridis, sehingga ketika mandat ini "dibengkokkan", akibatnya ada
banyak sektor yang dikorbankan, diantaranya pencari keadilan dan keuangan
negara.
Dalam tubuh KPK juga
berisi manusia-manusia biasa yang bisa saja tergelincir dalam pergulatan
politik, sehingga melakukan pemihakan pada elite tertentu yang bermasalah
atau kepentingan eksklusif kekuasaan. Jika demikian, KPK terjerumus,
sehingga egalitarianisme terdistorsi, dan konstitusi terpuruk dalam ranah
degradasi total. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar