KONSEP kepemim pinan selalu menarik untuk
dibahas. Teori dan pemahaman yang menelaah tentang diskursus ini juga terus
berkembang dan berevolusi dari masa ke masa. Kepemimpinan memegang peranan
yang sangat penting dan menentukan arah, gerak dan perkembangan sebuah
konstalasi. Sejak Republik ini merdeka, kita telah beberapa kali mengalami
suksesi kepemimpinan. Sampai saat ini kita belum mempunyai rezim
kepemimpinan yang mampu membawa Indonesia ke gerbang kemajuan.
Arus reformasi sebagai antitesis dari rezim
Orde Baru, yang dihembuskan kaum muda mahasiswa Indonesia pada pertengahan
1997 dan 1998, sampai saat ini pun belum bisa mewujudkan cita-citanya
membentuk pola kepemimpinan yang dapat membawa Indonesia keluar dari
berbagai krisis.
Mekanisme pemilu yang seharusnya merupakan wahana seleksi yang sah dan
konstitusional sebagai jembatan suksesi kepemimpinan demokratis, juga belum
bisa menciptakan kepemimpinan yang ideal. Proses demokrasi yang berlangsung
bisa jadi baru dalam tahap seremoni demokrasi yang mewujud dalam sebuah
proses pemilihan yang melibatkan seluruh rakyat.
Adapun, substansi dan
kualitas output proses demokratisasi tersebut tidak berjalan dengan baik.
Partai politik (parpol) yang diharap kan bisa bertindak optimal dalam
menjalankan perannya sebagai intermediary terjadinya suksesi kepemimpinan,
juga belum menunjukkan peranannya. Mereka saat ini baru sibuk berbicara
memikirkan kepentingan politik dan golongannya serta upaya melanggengkan
kekuasaan. Parpol tidak lagi menjadi proses pendidikan untuk menjadi
pemimpin, tapi hanya dijadikan sebagai kendaraan politik dengan uang
sebagai motor penggeraknya. Tidak jarang juga kepopuleran menjadi indikator
penting sebagai salah satu yang dipaksakan.
Mayoritas pemimpin yang tampil ke permukaan
gagal merepresentasikan cita-cita kebangsaan. Berbagai indikasi seperti
minimnya visi kebangsaan, pudarnya rasa tanggung jawab, maraknya kasus
pelanggaran hukum dan praktik asusila jadi bukti tak terbantahkan. Fenomena
tersebut hampir merata di semua tingkat kepemimpinan mulai pusat hingga
daerah. Bahkan pemimpin yang mengusung serta lahir dari rahim reformasi pun
mengalami nasib serupa.
Kegagalan kaum
akademikus
Kaum akademikus atau kaum berpikir selalu
gelisah ketika berbicara tentang konsep k kepemimpinan. Mereka r pada
umumnya dalam bertindak hanya didasarkan pada dua sudut pandang, yakni apa
yang dibaca dan didengar. Jarang sekali diinternalisasi dengan apa yang
dirasa. Sehingga ketika yang terjadi hanya menginternalisasi pada apa yang
dilihat dan didengar, rata-rata kaum akademikus menentukan suatu kesimpulan
dalam bentuk kebijakan atau suatu langkah, setelah apa yang dilihat dan
didengarnya, yaitu melalui mata dan telinga.
Karena memutuskan sesuatu itu berdasarkan
yang masuk pada pikirannya lewat mata dan telinga, yang terjadi kemudian
adalah kaum akademi kus punya ketergantungan pada sumber-sumber informasi
yang diterima seperti buku, media cetak/elektronik, dan sumber informasi
lainnya. Apakah yang menjadi sumber-sumber informasi penyebab
ketergantungan kaum akademikus itu memiliki nilai kebenaran yang
sesungguhnya? Tentu tidak semua informasi yang masuk tersebut memiliki
nilai validitas dan harus diinternalisasi melalui kekuatan rasa. Proses
internalisasi kekuatan rasa tersebut justru jarang dilakukan kaum
akademikus. Mereka sangat percaya diri, bahwa premis-premis dalam bentuk
informasi yang diterima melalui mata dan telinga adalah bernilai benar.
Kaum akademikus pada awal kelahiran awal
kelahiran Indonesia beru paya untuk menggagas terbentuknya Republik
Indonesia. Setelah merdeka, mereka bergerak untuk menyusun dan menciptakan
tatanan ketatanegaraan Indonesia sebagai sebuah negara. Tetapi, mereka
sendiri yang menganggap rezim saat itu (Orde Lama) telah gagal dan
menggantinya dengan rezim Orde Baru, dan selanjutnya dengan alasan yang
sama, diganti dengan Orde Reformasi.
Tidak berlebihan ketika ada anggapan kaum
akademikus lah yang membuat desain konflik di Indonesia. Bangsa ini
seolah-olah menjadi bahan percobaan untuk mengganti dan bongkar pasang
kepemimpinan dan konstitusi. Kita sebagai bangsa telah lupa. Tidak
selamanya pemimpin-pemimpin hebat di Indonesia dari Aceh sampai Papua
selalu lahir dari kaum akademikus dan terdidik.
Dalam mereposisi kepemimpinan, dibutuhkan
perubahan kultur, bukan perubahan politik. Reposisi kepemimpinan dari satu
rezim ke rezim lainnya yang pernah terjadi di Indonesia nuansa dominannya
adalah perubahan politik, bukan revolusi kultur dan para digma. Indo nesia
tidak pernah mengalami Aufklarung
dan revolusi seperti yang terjadi di Iran. Jika revolusi kultural yang
terjadi, pemimpin yang terbentuk adalah mereka yang lahir dari rahim kultur
masyarakat Indonesia. Pemimpin yang mengerti masalah rakyatnya.
Perlunya sintesis
Dari aspek kebangsaan, kenegaraan dan
ketatanegaraan, secara konstruktif Indonesia itu sebenarnya bangsa yang
tidak mungkin dibangun menjadi sebuah negara. Karena sesungguhnya secara
umum persyaratan formal sebuah negara haruslah memiliki kesamaan ideologi,
visi, ras, golongan, yang semuanya tertata dengan rapi dan homogen.
Indonesia memiliki ideologi pemahaman, ras, suku, bahasa, dan warna kulit
yang berbeda. Berdirinya negara bernama Indonesia menjadi sebuah bangsa
adalah sebuah keajaiban dunia.
Sehingga negara yang ajaib ini, sepanjang
sejarahnya diperlukan pemimpin yang ajaib, yaitu pemimpin yang memiliki
keunggulan kompetitif dibanding warga negara yang lainnya. Bahkan secara
mitologi, telah sejak lama orang Indonesia beranggapan bahwa seorang
pemimpin diyakini memiliki kesaktian, bukan hanya kesaktian akademik,
melainkan kesaktian spiritual.
Secara pragmatis, pemimpin itu memiliki
keterbatasan dan kekurangan. Keterbatasan dan kekurangannya dalah keter
batasan aka demik dan keterbatasan politik. Keterbatasan akademik
menyebabkan pemimpin terperdayakan logika berpikir akademik yang cenderung
menyimpang. Keterbatasan politik menyebabkan pemimpin terperdayakan secara
politik, yang berakibat dia terkungkung pada kebijakan yang hanya berpihak
pada suatu parpol dan kelompok tertentu. Inilah problem kepemimpinan
Indonesia selama ini.
Degradasi konstitusi
Dalam pengelolaan negara modern, rule dan garis pengelolaan negara
terletak pada konstitusi, bukan pada kepemimpinan individu yang cenderung
terkultuskan. Pengelolaan negara individual kita kenal sebagai model negara
teokratis, yakni kekuasaan tertinggi berada pada satu tangan pemimpin yang
sekaligus sebagai penentu rule, konstitusi dan penyelenggaraan negara.
Dalam negara seperti ini akan sering terjadi pergantian konstitusi seiring
suksesi kepemimpinan. Di Indonesia terjadi seperti ini.
Beda dengan negara modern, siapa pun
presidennya, konstitusi tentang penyelenggaraan negara, pelayanan
masyarakat, jaminan kesehatan, pendidikan, pengelolaan ruang dan
infrastruktur, hingga pengaturan welfare
state (negara kesejahteraan), cetak birunya tecermin dalam konstitusi.
Pergantian kepemimpinan tidak mengubah arah konstitusi dan konsep welfare
state akan terus berkelanjutan.
Kelemahan para pemangku kebijakan negeri
ini, telaah akademis tentang kepemimpinan lebih didasarkan pada penguatan
aspek mekanisme, yang didasarkan pada sentimen kelompok partai dan kelompok
kepentingan. Sehingga konstitusinya terus berubah, sedangkan peran dan
fungsi seorang pemimpin untuk menyejahterakan masyarakat justru terabaikan.
Inilah salah satu faktor kenapa reformasi belum dapat memecahkan
kesejahteran publik, dan baru sebatas memecahkan kebebasan publik.
Dari sudut pandang degradasi konstitusi
kepemimpinan, penulis cenderung untuk mengatakan bahwa bangsa ini tidak
sedang mengalami krisis kepemimpinan, tetapi lebih kepada krisis opini
kepemimpinan dan degradasi konstitusi kepemimpinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar