Rabu, 06 November 2013

Dari Institut ke Universitas

Dari Institut ke Universitas
Ahmad Baedowi  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 04 November 2013


ADA yang menarik dari perkembangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), yaitu tetap tinggalnya nuansa dualisme pada aspek pengembangan akademik. Sementara itu, ranah ilmu-ilmu keagamaan tetap dipertahankan, seperti usuluddin, dakwah, adab, tarbiah dan syariah, serta fakultas baru yang lebih berorientasi pada keilmuan umum seperti kedokteran, psikologi, ekonomi, dan teknologi informasi juga dikembangkan. Lebih menarik lagi, dan ini perlu untuk diteliti lebih lanjut, jumlah mahasiswa yang masuk ke UIN tak lagi menempatkan fakultas-fakultas agama menjadi pilihan utama sehingga minat mereka untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman menjadi sepi peminat.

Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, misalnya, jumlah pendaftar untuk fakultas kedokteran, ekonomi, dan psikologi begitu membeludak, tetapi yang mendaftar ke fakultas usuluddin, syariah, dakwah, dan adab jauh berkurang. Bahkan konon, di UIN Alauddin Makassar, jurusan yang paling laris dan diserbu calon mahasiswa adalah kebidanan dan keperawatan. Jika faktafakta ini benar adanya, apa yang bakal terjadi dengan tradisi pemikiran Islam 20 tahun ke depan di Indonesia? Inilah salah satu pekerjaan rumah para rektor UIN yang saat ini sedang memimpin kampus mereka masing-masing.

Mengapa pertanyaan tentang mempertahankan tradisi pemikiran Islam yang terbuka, toleran, dan modern penting dikemukakan? Karena secara historis IAIN banyak menelurkan sarjana-sarjana dengan tradisi pemikiran Islam yang memang kuat secara keilmuan dan punya akar yang juga lumayan kuat di masyarakat. Saya khawatir fenomena di atas akan menjadi salah satu sebab mundurnya tradisi pemikiran Islam Indonesia di masa depan. Hal ini bisa dilihat dari kualitas mahasiswa UIN saat ini yang rata-rata masuk ke fakultas tarbiah saja, misalnya, tak cukup punya pengetahuan dasar tentang akar pemikiran Islam di Indonesia.

Ketika mengajar, saya sering bertanya kepada mahasiswa UIN tentang tokoh-tokoh pemikiran Islam, baik yang berkaliber dunia maupun Indonesia. Saya heran bukan kepalang karena baik mahasiswa yang dari lulusan aliah sekalipun--apalagi lulusan SMA--rata-rata tak tahu siapa itu Ibnu Taymiyah, Ibnu Khaldun, Ahmad Khan, Iqbal, sampai Fazlur Rahman. Lebih miris lagi bahkan mereka juga tak mengenal siapa itu Harun Nasution, Hasbi Ash-Shiddiqie, Buya Hamka, Nurcholis Madjid, hingga Amin Abdullah. Saya hanya termenung, jika nama saja mereka tak kenal, bagaimana mengenali corak-ragam pemikiran keislaman para tokoh tersebut. Jangan ditanya penguasaan bahasa Arab dan Inggris mereka, maka lengkaplah kondisi UIN saat ini.

Berangkat dari fakta-fakta ini, saya kira UIN harus berani melakukan review kurikulum secara keseluruhan agar tradisi pemikiran keislaman dapat terus diperkenalkan dan diajarkan secara baik. Sisi ini menurut saya menjadi bagian terlemah dan akan cukup sulit untuk dilakukan oleh UIN jika tak ada komitmen besar dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Keberanian untuk menjadikan tradisi pemikiran keislaman di Indonesia tetap hidup harus secara kongkret dijabarkan dalam kebijakan pengembangan bahan ajar yang relevan dengan nomenklatur `Islam' dalam konteks Universitas Islam Negeri. Selain itu, seleksi masuk mahasiswa di UIN juga harus ada porsi dan persentasi yang jelas tentang aspek pemikiran Islam yang ingin diujikan. Jika tak lulus, membuat matrikulasi dan remedial tentang mata kuliah tradisi pemikiran Islam Indonesia juga penting untuk dilakukan.

Review kurikulum dalam arti sesungguhnya untuk kebutuhan mempertahankan tradisi pemikiran Islam sebelum di UIN menurut saya banyak dilakukan, terutama di tingkat pengambil kebijakan maupun institusi pelaksana pendidikan. Review kurikulum merupakan sebuah proses untuk mengetahui seberapa besar kebijakan pengembangan kurikulum memengaruhi tujuan-tujuan pendidikan yang dirumuskan, baik dalam skala mikro di sekolah maupun dalam skala makro secara nasional.

Sistem manajemen kurikulum yang baik biasanya selalu menyediakan ruang dan struktur yang jelas serta tegas dalam setiap tahapan dimensinya. Dari mulai mengonstruksi kurikulum, mengembangkan, mengimplementasikan dan mengevaluasinya dilakukan berdasarkan timeline dan penanggung jawab yang jelas dan terkontrol. Telaah kurikulum (curriculum review) wajib dilakukan oleh segenap sivitas akademika UIN untuk memperoleh kepastian apakah basis dan tradisi pemikiran Islam tetap menjadi arus utama dan ciri khas UIN.

Menurut saya, salah satu kelemahan--untuk tidak menyebutkan sebagai kesalahan-kebijakan menjadikan IAIN menjadi UIN adalah lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap struktur kurikulum yang seharusnya tetap mengajarkan tradisi pemikiran Islam yang komprehensif. Saya khawatir perubahan IAIN menjadi UIN hanya kental dengan agenda politik tanpa menimbang akibat terhadap upaya mempertahankan tradisi pemikiran Islam yang baik dan terbuka. Karena itu, memperbaiki manajemen kurikulum secara sehat adalah dengan melakukan review kurikulum yang menjadi ciri khas UIN dari waktu ke waktu.

Melakukan telaah kurikulum (curriculum review) sesungguhnya merupakan kebutuhan dasar bagi UIN saat ini. Tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa UIN tetap bersandar pada rohnya semula, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi yang secara berkesinambungan tetap mempertahankan tradisi pemikiran Islam yang toleran, modern, dan terbuka.

Karena itu, telaah kurikulum yang konsisten dan simultan diharapkan akan meningkatkan kemampuan UIN untuk terus memberikan sumbangannya bagi kelangsungan NKRI di masa depan. Sangat sulit membayangkan NKRI menjadi nihil karena UIN, misalnya, tak mampu menyumbangkan sarjana-sarjana yang tangguh dari aspek moral sekaligus memiliki tradisi pemikiran keislaman yang mampu menjaga keutuhan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar