Keriuhan pemilu sudah semakin marak.
Pohon-pohon di pinggir jalan sudah mengaduh kesakitan ditusuk paku untuk
memasang poster, baliho, dan spanduk kampanye. "Itu salah sang
pemasang, mereka orang upahan," kata seorang caleg (calon legislator).
Jadi, sang caleg menertibkan orang upahan saja tak mampu, bagaimana
"menertibkan" rakyat untuk memberikan suara kepada mereka. Ternyata,
calon presiden dari jalur konvensi juga memasang poster dengan memaku pohon.
Kenapa
para caleg dan capres perlu kampanye murahan seperti itu? Wajah mereka di
jalan-jalan dibuat selugu mungkin, nyaris seperti pengemis yang minta
bantuan ala kadarnya. Itu karena partai tak mengakar di masyarakat dan
calegnya jarang dikenal. Partai tak punya massa, caleg tak punya pengikut
tetap. Tak ada ikatan antara rakyat dan partai, juga dengan caleg dari
partai itu. Masyarakat baru dilibatkan menjelang pemilu dan para caleg
meminta dukungan sambil menebar uang yang tak seberapa, plus janji-janji
gombal.
Coba
ditanya rakyat desa. Tak ada yang memegang kartu tanda anggota partai.
Bahkan pengurus partai di desa dan kecamatan tak punya kartu anggota. Kalau
kartu anggota saja tak punya, apalagi membayar iuran untuk membesarkan
partainya. Tak ada kamus itu. Yang mengongkosi partai adalah orang-orang
yang mau menjadi pengurus. Keluar dari jajaran pengurus, tak mau lagi
urunan untuk membiayai partai. Lalu, apa artinya partai itu mewakili
masyarakat? Masyarakat yang mana diwakili? Tidak seperti partai pada zaman
dulu, sebelum rezim Orde Baru memperkenalkan massa mengambang. Partai jelas
basisnya dan rakyat pun jelas memihak partai yang mana, meski pemilu masih
jauh sekali.
Situasi
kepartaian seperti ini yang membuat para caleg dan capres menjajakan
dirinya di jalan-jalan, menyakiti pepohonan dan menutupi keindahan alam. Di
perkotaan menjadi sampah yang menyakitkan mata. Belum lagi kata-kata gombal
yang menyertai wajah mereka.
Tidak
adanya hubungan formal antara partai dan masyarakat membuat fanatisme
kepada partai jadi luntur, tidak seperti masa lalu. Sekarang bahkan pamor
partai begitu rendahnya, sampai orang tak bergairah lagi memilih partai.
Orang-orang desa yang saya tanyai merasa lebih sreg dan masih bergairah
memilih presiden dibanding memilih partai. "Saya hanya memilih partai
yang sudah jelas mengusung siapa presidennya. Kalau presiden yang
diusungnya tak jelas, lebih baik tidak memilih," jawaban seperti ini
saya temui di banyak tempat. Artinya, masyarakat sudah tak percaya pada
program partai. Mereka lebih percaya pada figur presiden yang memimpin
negeri ini, apa pun partainya.
Yang
menjadi soal, pemilu presiden belakangan, pemilu legislatif yang lebih
dulu. Mestinya, dan ini sesuai dengan konstitusi, partai harus mencalonkan
presidennya terlebih dulu sebelum pemilu (legislatif). Bahwa nanti suara
yang didulang tak cukup, lalu harus koalisi, bisa direvisi pasangan
capres-cawapres itu. Setidaknya sebelum pemilu (legislatif) partai sudah
menetapkan calon presiden dan justru calon ini dijadikan magnet untuk
mendulang suara. "Kalau ada partai cuma janji-janji doang mengusung
seseorang, apakah janji itu tak diingkari? Jangan-jangan setelah pemilu
ketua umumnya yang jadi capres, ya, lebih baik tak memilih," kata
seseorang. "Harus jelas hitam-putih dari awal, kita tak mau memilih
capres seperti memilih kucing di dalam karung, tak jelas wujudnya."
Saya kira ini layak diperhatikan pimpinan parpol pada saat partai mengalami
krisis kepercayaan seperti saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar