Rabu, 06 November 2013

Buruh Berdemo, Lipstik dan Pak Menteri

Buruh Berdemo, Lipstik dan Pak Menteri
Derek Manangka  Wartawan Senior
INILAH.COM, 03 November 2013


Selama hampir seminggu, di akhir Oktober 2013, para wakil buruh atau tenaga kerja melakukan protes. Mereka menuntut kenaikan upah dan fasilitas. Mereka menyebar di sekitar 13 buah titik di di wilayah Jakarta, Tangerang, Depok dan Bekasi. Akibatnya lalu lintas di beberapa wilayah tiga provinsi, DKI Jaya, Jawa Barat dan Banten, terganggu.

Secara manusiawi, tuntutan para buruh dapat dimengerti. Tetapi protes buruh kali ini memperlihatkan adanya beberapa hal yang tidak patut dan pengingkaran atas kejujuran. Yang sangat absurd dari demonstrasi kali ini adalah sikap buruh yang seperti main-main. Mereka seenaknya mengajukan kebutuhan. Yang dituntut bukan lagi hal yang fundamental, tetapi yang sangat elementer.

Sudah begitu, Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, sepertinya sudah tak serius lagi menangani problem perburuhan ini secara tuntas. Sebelum, selama dan setelah demo, tak terlihat sebuah gerakan dari kementerian yang menunjukkan bahwa lembaga negara ini, Kemenakertrans, masih bersemangat menangani ketenagakerjaan.

Demo yang sudah menganggu kegiatan perekonomian di tiga provinsi, oleh menteri sepertinya hanya dilihat sebagai sebuah aktivitas rutin. Demo yang semakin membuat citra Indonesia sebagai negara yang tidak bersahabat bagi para investor dan pebisnis jenis manapun, hanya dianggap sebagai kelanjutan dari dampak eforia berdemokrasi.

Okeylah, para PNS di Kemenaker sibuk menghadapi sejuta pekerjaan. Tapi apa iya, PNS di Kemenaker cukup diam begitu saja, mengikuti demo buruh yang meresahkan masyarakat? Menteri Muhaimin Iskandar nampaknya lupa, tugas seorang pejabat tinggi seperti dia, harus punya kepedulian dan rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat.

Bentuknya bisa bermacam-macam. Apakah dengan memberi penjelasan apa respon kementerian atas protes para buruh. Kalapun belum ada resep, bila perlu mengecam cara-cara para pendemo yang sepertinya hanya main-main.

Menteri sudah sewajarnya sadar, sikap main-main para buruh di titik-titik penting di wilayah tiga provinsi, telah menimbulkan kepanikan psikologis di kalangan publik. Sebab beberapa hari sebelum demo tersebut, kabar tentang aksi itu sudah menyebar melalui jejaring sosial. Jadwal dan pusat konsentrasi para pendemo bisa beredar luas seperti itu, karena izin untuk melakukan pengerahan massa sudah diberikan oleh Kepolisian.

Dari info ini saja, Kementerian, semestinya sudah punya antisipasi. Kalau seorang Menteri hanya "berdiam" seperti ini, sikap tersebut semakin membenarkan persepsi bahwa menjadi pembantu presiden pada saat ini nggak perlu punya latar yang ‘wah’. Siapa saja bisa langsung ditugaskan jadi pembantu presiden.

Entah apa yang dipikirkan atau dilakukan para menteri kabinet ini. Apakah sama dengan bosnya Presiden SBY yang sibuk mengurus partainya atau keduanya sama-sama sudah tidak semangat mengurus (lagi) negara. Atau apakah sisa waktu 11 bulan masa kerja hanya akan digunakan untuk 'libur atas biaya negara', mengemong keluarga atau hal-hal yang hanya bermanfaat bagi diri pribadi? Semoga saja tidak.

Tuntutan para pekeja itu juga dibumbui oleh permintaan perlunya mereka diberi dana untuk membeli lisptik dan jaket kulit. Lipstik memang tergolong barang yang berharga murah. Tapi konotasinya bisa memberi penafsiran, bahwa para buruh ingin bersolek ria. Tujuan utama mereka, bukan untuk bekerja. Tapi untuk berpesta--pesta.

Lipstik memang salah satu kebutuhan buruh wanita. Tapi permintaannya menjadi tidak pantas, sebab disampaikan dalam kesempatan berdemonstrasi di ranah publik. Dengan tuntutan seperti itu, para buruh semakin merendahkan martabat dan kualitas mereka sebagai pekerja.

Sehingga tanggapan publik pun ada yang tidak senang. Bahkan ada kesan, publik yang memiliki nasib sama dengan mereka pun, mengubur simpati mereka terhadap gerakan buruh secara dalam-dalam.
Sejatinya, yang namanya pekerja di Indonesia, tak peduli dia bekerja di perusahaan raksasa atau kategori UKM, tidak semuanya memiliki gaji yang cukup untuk hidup selama satu bulan. Kalaupun cukup, pasti ada pos-pos pengeluaran yang diperketat. Misalnya ada yang sengaja menghindari bepergian ke mal atau pusat perbelanjaan mewah sekalipun hanya untuk cuci mata atau meneguk secangkir kopi.

Tapi ketika soal lipstik disuarakan dalam demo di ruang publik, persoalannya menjadi lain. Arah protes buruh pun terkesan main-main dan berbelok arah. "Kenapa nggak sekalian minta Ipad, Iphone, mobil Ferarri dan rumah yang ada kolam renang....", tulis seorang Facebooker setelah membaca posting dari berita-berita demonstrasi buruh tersebut.

Seorang ibu rumah tangga yang nampaknya kesal membaca tuntutan para buruh tersebut kemudian menulis di laman time line dengan nada yang lebih sinis. "Saya bekerja sendiri. Dan saya suka berdandan. Tapi untuk membeli lipstik, saya hanya bisa membeli kalau sudah benar-benar habis. Lipstik yang saya beli pun harganya yang paling murah. Kalau soal jaket kulit, tak permah saya pikirkan. Kapan bisa saya memakainya di kota yang bersuhu panas ? Tapi sayapun ingin membeli jaket kulit. Sayangnya penghasilan saya tidak mencukupi. Maklum saya bekerja sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Lalu kalau buruh bisa menuntut ke pemerintah, saya sendiri, kepada siapa saya menuntut ?", tambah salah seorang Fabebooker dengan kalimat yang lebih terformulasi.

Dua reaksi ini walaupun tidak dapat diklaim mewakili suara seluruh penduduk di tiga provinsi, tetapi paling tidak menunjukkan, demo buruh, tetap ada yang mengkritisi. Buruh juga tidak bisa berlindung dari adanya jaminan berdemonstrasi, dimana apa saja bisa mereka suarakan.

Dari reaksi publik atas demo buruh akhir Oktober baru lalu, juga mengemuka beberapa hal yang patut menjadi pembelajaran. Misalnya Kepolisian yang berhak mengeluarkan izin, harus lebih selektif. Bagi organisasi buruh yang mengirim anggotanya ke tempat berdemo, perlu diminta syarat dan pertanggung jawaban. Bagaimana syarat dan pertanggung jawaban itu, silahkan lembaga kepolisian memikirkannya.

Alasannya hanya satu: kepentingan publik tidak boleh terganggu. Kalau ada pemimpin buruh yang 
mengancam melalui media dengan mengatakan misalnya "Kami akan tenggelamkan ibukota dengan ribuan massa...", maka si pembuat pernyataan perlu diberi pengertian atau izin berdemopun harus dibatalkan.

Perlu ditegaskan bahwa yang dilakukannya sudah masuk kategeori menghasut. Bukan lagi sekadar menggunakan kebebasan berbicara, berekspresi atau mengeluarkan pendapat. Risiko dari sebuah hasutan, sangat berbahaya bagi kelanjutan berbangsa dan bernegara. Bisa muncul anarkis yang akan merusak segala apa yang sudah dibangun.

Apapun kebenaran esensi dari yang dituntut para pendemo, jika demo buruh yang terus menerus hanya menghasilkan kepanikan warga, tersendatnya transaksi bisnis, terhambatnya pertumbuhan, tidak ada jalan lain, kecuali pemberi izin berdemo perlu dievaluasi kembali. Lagi pula sudah terbukti, demo sejenis sudah berkali-kali dilakukan, tapi hasilnya tidak menyelesaikan persoalan yang ada.

Sementara Kementerian Tenaga Kerja harus lebih memberi prioritas tertinggi tentang bagaimana mengatasi persoalan buruh dan ketenagakerjaan di Indonesia. Untuk apa kementerian dibentuk jika lembaga negara ini tak mampu mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar