Selasa, 12 November 2013

“Barter” Regional demi Nasional

“Barter” Regional demi Nasional
Soekarwo  ;   Gubernur Jawa Timur
JAWA POS,  11 November 2013
  

SEBANYAK 83 persen impor Jawa Timur adalah bahan baku dan bahan penolong. Nilai impor itu total USD 27 miliar. Berarti, kalau 83 persen, nilainya hampir USD 23 (Rp 230 triliun). Sangat besar. Pemikiran dari segi makro, yang sangat minimalis, impor itu terasa menguntungkan. Sebab, yang kita impor adalah bahan baku ekspor. Tetapi, kalau itu terus dibiarkan, ketergantungan kita dari hulu ke hilir tidak akan terpecahkan. Dengan demikian, kemandirian ekonomi kita jadi melemah. Tetapi, kita juga tidak bisa memberikan nilai tambah bahan baku di tempat lain di negeri sendiri.

Solusi yang paling segera harus kita lakukan, dari 83 persen impor itu, dibuat list (daftar). Dicari mana provinsi yang memiliki resources dan komoditasnya. Kemudian, kita ''menjadi sangat kuno'' lagi mungkin barter atau kemudian perdagangan regional. Dengan demikian, kepentingan nasional terjaga. Pengambil kebijakan (di pusat) kemudian harus mendukung langkah penguatan perdagangan regional ini. 

Kita perlu ingat, resources kita luar biasa. Misalnya, aluminium tersedia di Sigura-gura. Nikel dan mangaan di NTT. Dalam jangka pendek ini kami dorong pabriksmelter (peleburan) besi baja sebagai bahan baku. Lokasinya di Tuban. Sudah groundbreaking seminggu lalu. Satu lagi di Situbondo. 

Itu merupakan bahan awal untuk mendorong penyediaan bahan baku yang harus diproses di sini agar mengurangi ketergantungan impor. Ketergantungan kita pada sumber impor sangat banyak. Itulah yang seharusnya putus. Jagung saja kita impor dari Brasil yang jauh. Itu kan tidak bagus.

Repotnya lagi, ada kebijakan seperti mendirikan pabrik rafinasi dan gula kristal. Itu membunuh pabrik gula kita, khususnya di Jawa Timur. Harganya jatuh. Sekarang kelebihan 800 ribu ton. Kemampuan produksi sudah kita naikkan dua tahun ini dari 900 ribu ton dan sekarang 1,25 juta ton. Jadi, produksi gula naik, tapi sekarangidle.

Karena itu, kita berusaha mengatasi juga masuknya barang-barang yang akan mengganggu perdagangan di Jawa Timur dengan mengeluarkan peraturan gubernur (pergub). Kalau menurut UU No 12/2011, yang terma­suk mengatur hierarki perundang-undangan, memang tidak sejalan. Tapi, jangan lupa, di dalam demokrasi itu ada local wisdom yang harus menjadi kebijakan, tidak hanya yang tertera di hierarki perundangan.

Dalam mengatur beragam local wisdom, tidak berarti barang impor sepenuhnya tidak boleh masuk Jawa Timur. Tapi, kita seleksi. Misalnya, buah, daging, dan hortikultura. Terus, sekarang masuk garam dan gula rafinasi yang kita larang. Kalau masuk Jawa Timur, kita hentikan di gudang dan tidak boleh diedarkan demi asas manfaat. Silakan dibawa ke tempat lain, kita tidak menyalahi WTO (World Trade Oganization).

Rp 690 Triliun dan si Kalah 

Sisi lain yang juga strategis adalah membenahi bidang finance,  pembiayaan. Kalau produksi kita benahi agar pembiayaan bisa mengalir, PBI (Peraturan Bank Indonesia) juga harus dibenahi. Kapasitas terpasang (idle) bank kita itu tidak bisa linkage. Sebab, ada peraturan bank sentral tidak boleh melakukan lending kredit. Sebetulnya itu bisa diterobos melalui peraturan khusus. Kalau Pak Mahathir Mohamad dulu mengutamakan bumi putra Malaysia dapat bunga khusus, kita tidak bisa karena demokrasi. Tetapi, kalau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat bunga khusus, itu bisa dilakukan. Misalnya, yang dilakukan Selandia Baru, Australia, dan Jerman.

Produk domestik regional bruto (PDRB) Jatim (tahun lalu) mayoritas dari UMKM mencapai 54,39 persen dari Rp 1.001 triliun. Kalau ditambah kekuatan finance-nya lewat bunga khusus (specific grant) bank sentral, industri kecilnya makin bergerak. Itu sudah lama saya sampaikan, tapi belum ada tindak lanjut. Tahun ini uang yang njendel (mengendap) Rp 690 triliun. Ada dua kerugian kita: tak bisa lending kredit dan negara terus membayar bunga karena berbentuk SBI (Sertifikat Bank Indonesia). 

Liberalisasi perbankan seperti itu tidak boleh. Di tengah liberalisasi, fungsi negara seharusnya memihak yang kalah. Kalau dalam liberalisasi negara tidak mengambil keputusan itu, tidak ada negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar