Selasa, 12 November 2013

APBN dan Pengangguran

APBN dan Pengangguran
Tjahjo Kumolo  ;   Anggota DPR
SUARA MERDEKA,  12 November 2013


DPR telah mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 pada 25 Oktober lalu dengan asumsiasumsi makro sebagai berikut: inflasi 5,5%, pertumbuhan ekonomi 6%, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS Rp 10.500, suku bunga tiga bulan 5,5%, dan harga minyak mentah dunia 105 dolar AS per barel.

Dengan patokan ini, asumsi pendapatan negara dipatok Rp 1.667,1 triliun, dan anggaran belanja negara Rp 1.842 triliun. Dibanding APBN 2013, postur APBN 2014 sebagai berikut: belanja pegawai Rp 233 triliun, pada 2013 sebesar Rp264 triliun, belanja barang Rp 206,5 (2014) dan Rp 201,9 triliun (2013), belanja modal Rp192,6 triliun (2014) dan Rp 205,8 triliun (2013), subsidi energi listrik dan bahan bakar minyak Rp 299,8 triliun (2014) dan Rp 282,1 triliun (2013), belanja hibah Rp 2,3 triliun (2014) dan Rp 3,5 triliun (2013), bantuan sosial Rp 82,5 triliun (2014) dan Rp 55,9 triliun (2013), dan belanja lain-lain Rp19,3 triliun (2014) dan Rp 36,9 triliun (2013).

Lalu, anggaran infrastruktur Rp 188,7 triliun (2014) atau hanya naik Rp 4,4 triliun dari 2013, dan bila dimasukkan inflasi 5,5% maka secara riil anggaran infrastruktur turun. Padahal, anggaran infrastuktur dapat menyerap banyak tenaga kerja. Target penerimaan negara Rp 1.667 triliun atau naik Rp 165 triliun dari 2013 yang Rp 1.502 triliun.

Utang neto direncanakan Rp175 triliun, defisit anggaran Rp 1,69 triliun (2014) dan Rp 2,38% (2013). Pertumbuhan ekonomi tahun 2014 dipatok 6%, kuota BBM 48 juta kiloliter. Total belanja negara 2014 Rp 1.842 triliun, meliputi belanja pemerintah pusat Rp1.250 triliun dan sisanya Rp 592,5 triliun untuk transfer ke daerah.

Bila dihadapkan pada kondisi riil masyarakat, melihat postur APBN 2014, kita pun harap-harap cemas. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka per Agustus 2013 mencapai 7,39 juta orang. Angka ini lebih tinggi dari data Februari 2013 dengan angka ”hanya” 7,17 juta orang.

Kita pun tersentak. Pasalnya, pemerintah selama ini mengklaim angka pengangguran terus menurun. Kita lebih cemas lagi karena pertumbuhan ekonomi tahun ini meleset dari target.

Menkeu Chatib Basri memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun ini hanya 5,8%. Proyeksi ini lebih rendah dibanding estimasi pemerintah dalam APBN-P2013 sebesar 5,9%.

Tahun 2013, kualitas pertumbuhan ekonomi tak bermutu karena tiap 1% hanya dapat menyerap 300-400 ribu tenaga kerja, dan pada 2014 diprediksi makin tak bermutu karena hanya akan menyerap 200 ribu tenaga kerja tiap pertumbuhan 1%.

Kita juga harap-harap cemas karena dalam APBN 2014 belanja pegawai Rp 264 triliun, lebih besar dari belanja barang Rp 201,9 triliun. Juga lebih besar daripada belanja modal Rp 205,8 triliun. Belanja pegawai meningkat Rp 31 triliun dibanding APBN 2013 sebesar Rp 233 triliun. Belanja barang justru menurun Rp 4,6 triliun dibanding APBN 2013 sebesar Rp 206,5 triliun.

Terkait APBN 2014, izinkan penulis menyampaikan catatan. Pertama; terkait pembiayaan di mana defisit ditutup dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Pemerintah harus dapat mengoptimalkan manajemen penerbitan SBN agar tidak membuat utang lebih besar dari yang dibutuhkan.

Kedua; proyek dengan pinjaman dana luar negeri yang sudah disetujui sejak beberapa tahun lalu harus segera dikerjakan supaya tidak terus-menerus membayar bunga dan commitment fee. Ketidakmampuan pemerintah membelanjakan utang yang sudah dibuat disebabkan kemelemahan koordinasi antarsektor pemerintah, seperti dalam pembebasan lahan dan penyediaan infrastruktur lainnya.

Penerimaan Pajak

Ketiga; terkait penerimaan negara, target penerimaan pajak harus dicapai karena sejak 2009 tak pernah mencapai target yang mengakibatkan defisit melebar. Keempat; pemerintah harus dapat memastikan produksi Blok Cepu dapat mencapai lebih dari 100 ribu barel per hari pada 2014, sehingga memberikan kontribusi signifikan bagi penerimaan negara. Kelima; insentif perpajakan yang membebaskan pajak mobil murah ternyata tak sesuai dengan kesepakatan pemerinttah dan Komisi XI DPR yang mensyaratkan bahwa mobil murah harus menggunakan BBM nonsubsidi dan ramah llingkungan.

Keenam; terkait belanja negara, pemerintah harus meningkatkan kinerja penyerapan APBN, khususnya belanja modal, yang berdampak langsung pada pembangunan infrastruktur. Pengalaman selama 4 tahun terakhir, rata-rata Rp 40 triliun tidak terserap yang juga berarti pemborosan defisit/utang. Ketujuh; APBN 2014 harus menjamin sukses Pemilu 2014 dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kedelapan; janji pemerintah bahwa pengurangan subsidi BBM akan mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk belanja modal/infrastruktur, tidak terbukti.

Belanja pemerintah 2014 lebih banyak menambah belanja untuk pegawai dibanding belanja modal. Tak ada terobosan belanja yang dirancang untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal yg mencapai 183 kabupaten se-Indonesia. Kesembilan; kebijakan transfer daerah hanya bersifat reguler.

Tak ada inisiatif pemerintah pusat untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah, bahkan hak daerah diambil oleh pusat dengan mengubah formula perhitungan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang sudah diatur UU Nompr 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hak daerah berkurang Rp 62 triliun. Pendek kata, APBN 2014 tidak ada terobosan kebijakan belanja untuk rakyat, selain untuk pemilu dan BPJS. Konsekuensinya, angka pengangguran yang terus naik diprediksi akan naik lagi pada 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar