Selasa, 01 Oktober 2013

UN, Potret Cedera Keadilan

UN, Potret Cedera Keadilan
Itje Chodidjah  ;  Praktisi Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 30 September 2013


UJIAN nasional (UN) wujud dari tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena walau layanan pendidikan tidak merata, ujian tetap sama. Selama lebih dari 30 tahun terjun di dunia pendidikan dan memberikan pelatihan di berbagai wilayah di Indonesia, saya menyaksikan sendiri fakta yang miris bahwa pertarungan antara keadilan dan diskriminasi lebih sering berakhir dengan pertimbangan-pertimbangan politis, dan keengganan untuk menegakkan rasa tanggung jawab memenuhi keadilan yang proporsional bagi siswa dan guru yang hidup dengan akses geografi dan ekonomi terbatas.

Sebutlah sebuah sekolah di salah satu kecamatan terjauh di Kalimantan Selatan yang dikelilingi hutan dan tambang yang beberapa kali saya kunjungi dalam kapasitas sebagai teacher trainer. Kondisi fisik sekolah, sarana dan prasarana yang minim, serta model pembelajaran di kelas membuat saya makin merasakan betapa tidak adilnya mengevaluasi siswanya dengan alat ukur yang sama dengan anak-anak yang menerima layanan yang jauh lebih baik. Proses belajarmengajar terkesan asal ada karena memang hasil akhir yang utama ialah nilai UN. Ruang kelas rata-rata sekadar berupa ruangan persegi dengan lantai kusam dan sarana penerangan yang terbatas. Perpustakaan dan fasilitas umum lainnya terlihat sangat terbatas. Dalam situasi belajar yang timpang seperti itu, UN merupakan sebuah kebijakan yang tidak adil bila pemenuhan standar pendidikan nasional belum terjadi.

Pada 68 tahun silam, para founding fathers kita meyakini mimpi besar bahwa dimensi keadilan sosial merupakan pilar penting penyangga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, dalam rumusan Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dimasukkan sebagai sila ke-5 sebagai salah satu dasar negara.

Prestasi belajar?

Sejak 2005 layanan pendidikan kita di sekolah bertumpu terlalu berat pada UN yang kemudian dianggap sebagai alat meluluskan siswa, walaupun dalam format terakhir dikompromikan persentase bobotnya menjadi 60%. UN kemudian serta-merta digunakan sebagai alat untuk menstandarkan siswa di setiap jenjang pendidikan.

Sebagian besar sekolah terutama yang di bawah kendali pemerintah menjadi berlomba-lomba untuk menyajikan nilai tinggi dari UN sebagai wujud keberhasilan sekolah. Keadaan tersebut kemudian secara kumulatif dianggap sebagai keberhasilan pemerintah kota atau kabupaten dalam membina pendidikan di wilayahnya. Di tingkat nasional, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) lalu seolaholah meyakini bahwa UN merupakan potret pendidikan Indonesia. Benarkah demikian? Tentu saja jawabannya ialah tidak. Kalau dianggap keberhasilan sekolah, itu hanyalah keberhasilan semu. 

Munculnya statistik yang memuat nilai anak-anak lantas menjadi sah untuk menyebutkan suksesnya pendidik di daerah-daerah.

Jika hasil nilai UN siswa dianggap sebagai gambaran kompetensi individu anak didik, itu berbahaya karena sebenarnya angka yang diperolehnya bukan semata-mata menggambarkan keberhasilan proses belajar-mengajar yang mereka alami. Dengan adanya UN, proses belajarmengajar yang saya saksikan lebih pada menggarap anak-anak agar lulus UN. Kurikulum tidak menjadi acuan mengajar. Bahan ajar dipilih-pilih agar pas dengan soal-soal yang dimunculkan di ulangan sekolah dan UN. Alasannya sederhana agar nilainya anak-anak bagus. Kisi-kisi UN menjadi rujukan mengajar, kriteria ketuntasan minimal (KKM) dibuat tinggi agar nantinya ketika digabung dengan nilai UN, hasil akhirnya tetap bagus.
Akhirnya proses belajar-mengajar menjadi lebih sebagai media mengambil nila siswa dan bukan sarana membelajarkan siswa untuk berpengetahuan, mampu berpikir kritis, berkomunikasi, dan bertingkah laku.

Layanan timpang

Dalam kunjungan beberapa kali ke sekolah di salah satu kecamatan terjauh di Kalimantan Selatan yang dikelilingi hutan rimba dan tambang, tampak dengan jelas fakta luputnya tanggung jawab negara dalam memenuhi keadilan layanan pendidikan negara bagi rakyat. Kondisi sarana dan prasarana yang minim tampak dari kondisi fisik ruang kelas yang ratarata sekadar ruangan petak dengan lantai kusam dan penerangan temaram yang menyulitkan mata dapat membaca dengan baik. Perpustakaan seadanya dan fasilitas umum lainnya yang di bawah standar kesehatan yang layak. Guru-guru yang saya temui masih jauh dari bermutu, sudah bersedia mengajar dengan model pembelajaran yang ala kadarnya saja sudah disyukuri.

Betapa tidak adil nya para siswa dan guru yang masih harus berjuang kepayahan di pedalaman karena tak tersentuh layanan pemerintah, tetapi di akhir jenjang, siswanya dipaksa distandarkan lewat UN. Keberhasilan mereka diukur dengan alat ukur yang sama dengan sekolah-sekolah yang sudah lama tersentuh mutu dan layanan yang memadai terutama di pulau Jawa. Kebijakan UN tidak adil bagi anak-anak yang secara geografis, budaya, dan ekonomi kurang beruntung sebab mereka diukur dengan UN yang sama dengan anak-anak yang bersekolah dengan sarana dan fasilitas yang lebih baik.
Jika layanan pendidikan belum dipenuhi standarnya, UN tentunya tidak bisa dijadikan alat ukur keberhasilan proses pembelajaran secara nasional yang valid.

Layanan pendidikan

Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam rangka memenuhi tercapainya standar dan layanan pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Layanan pendidikan ialah terpenuhinya sarana dan prasarana belajar bagi siswa secara memadai, tersedianya pendidik yang berkualitas, materi pembelajaran yang mudah diakses, fasilitas sekolah, serta kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Dengan tersedianya layanan seperti itu, proses pendidikan akan memberikan manfaat dan keuntungan bagi siswa agar dapat berperan aktif sesuai dengan tantangan zaman.

Dalam skema pendidikan yang bermutu, layanan pendidikan bermutu akan melahirkan proses belajar-mengajar yang berkualitas. Proses pembelajaran yang berkualitas membuat kegiatan pembelajaran menjadi bermakna dan menumbuhkan pemahaman, pengertian dan keterampilan, dan perubahan positif sikap siswa. Kekacauan dalam dunia pendidikan Indonesia terjadi karena evaluasi menjadi tujuan dari pengajaran dan pembelajaran. Pa dahal seharusnya eva luasi pembelajaran ditujukan sebagai indikator di dalam mem perbaiki proses belajar dan mengajar.

Pembelajaran itu akan semakin ber kualitas ketika proses belajarmengajar itu dilakukan guru yang berkualitas. Artinya, guru mampu merencanakan dan menyelenggarakan proses pembelajaran dan mengevaluasinya secara objektif yang mewakili kemampuannya.

Sayangnya, pembelajaran yang seharusnya dapat lebih berkualitas menjadi pudar ketika kebijakan nasional mensyaratkan nilai UN menjadi faktor penentu kelulusan siswa. Sekolah tidak dinilai karena keberhasilan proses belajar-mengajarnya bagi siswanya, tetapi hanya dinilai karena kuantitas tingginya jumlah kelulusan siswa semata. Perbaikan yang tidak mengarah ke keberhasilan untuk mencapai nilai UN yang tinggi menjadi terabaikan.

Padahal, pendidikan sejatinya ialah hasil serangkaian proses pembelajaran siswa secara menyeluruh dalam aspek kognitif, emosi dan konatif yang seharusnya mutlak menjadi kewenangan sekolah di dalam memberikan penilaian.

Pemerintah perlu memacu kinerjanya untuk memenuhi tuntutan layanan standar minimal seperti yang diwajibkan dalam PP No 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar evaluasi siswa secara nasional lazimnya diselenggarakan setelah seperangkat standar penyelenggaraan pendidikan di semua sekolah dipenuhi.

Kebijakan dan peraturan yang menyangkut standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan harus diwujudkan melalui sistem evaluasi dan monitor yang konsisten dari pemerintah. Standar mutu pengawas, kepala sekolah, dan guru harus terlebih dahulu dipenuhi agar dapat menjalankan peran dan fungsinya secara profesional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar