|
GEJOLAK
harga pangan, dugaan korupsi, dan kartel impor pangan yang muncul akhir-akhir
ini ditengarai bersumber dari kebijakan tata niaga. Karena itu, tuntutan
mereformasi tata niaga impor pangan kembali mengemuka. Beberapa pihak bahkan
mengusulkan agar tata niaga impor pangan dihapuskan, diganti dengan kebijakan
tarif atau penerapan bea masuk.
Penghapusan hambatan nontarif dalam
perdagangan internasional dan menggantikannya dengan kebijakan tarif sesuai
dengan semangat perdagangan bebas. Idealnya, impor dan ekspor pangan dapat
dilakukan tanpa hambatan, termasuk hambatan tarif. Namun, pasar pangan dunia
sudah kadung terdistorsi. Hampir semua negara menyubsidi produsen di sektor
pertanian dan melindungi produk pangannya dari persaingan dengan impor.
Proteksi terhadap produsen pangan
domestik adalah kebijakan pahit yang perlu dilakukan. Dikatakan pahit karena
konsumen di dalam negeri harus menanggung akibatnya dalam bentuk harga lebih
mahal. Sebaliknya, tanpa proteksi produsen pangan domestik, yang sebagian besar
terdiri atas petani kecil, boleh jadi kita tak mampu bersaing.
Sikap protektif terhadap sektor
produksi pangan terutama ditujukan untuk melindungi produsen domestik dari
tindakan dumping. Sering terjadi, negara produsen mengekspor
kelebihan produksinya dengan harga murah. Ada pula kepentingan politik
mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor.
Setiap negara, terutama negara besar seperti Indonesia,
berkepentingan meningkatkan produksi pangannya agar tidak semakin bergantung
kepada impor. Bahkan, negara maju yang sektor pertaniannya relatif kecil, baik
dalam penciptaan nilai tambah maupun penyerapan tenaga kerja, tetap memproteksi
sektor pertaniannya.
Tata niaga impor adalah kebijakan
yang mengatur siapa saja yang boleh melakukan impor dan menentukan kuantitas
yang boleh diimpor tiap importir. Pada dasarnya tata niaga hampir sama dengan
kebijakan kuota. Dengan tata niaga, izin impor kadang-kadang dikaitkan dengan
penggunaan barang itu. Contoh, daging impor hanya untuk konsumsi hotel,
restoran, dan kafe, sementara gula impor hanya boleh untuk industri. Itu
berarti ada segmen pasar tertentu yang ingin dikhususkan bagi produsen
domestik. Selain ditataniagakan, impor barang tertentu juga dikenai tarif.
Impor gula, misalnya, selain diatur juga dikenai tarif.
Jika hanya menyangkut kuota, tata
niaga dapat diganti dengan kebijakan tarif dengan menetapkan tarif pada tingkat
tertentu sehingga volume importasi sesuai dengan keinginan (kuota). Selain perlu
penghitungan rumit, hasilnya tak pasti. Negara eksportir dapat saja mengubah
tingkat subsidi untuk mengeliminasi dampak pengenaan tarif. Itu sebabnya kuota
lebih disukai, baik oleh pemerintah maupun produsen domestik, daripada tarif.
Kecenderungan yang terjadi di
banyak negara, hambatan impor dilakukan dengan sistem tariff rate quota (TRQ).
Dengan cara ini, impor sampai dengan volume tertentu (kuota) dikenai tarif
tertentu atau tidak sama sekali. Tarif lebih tinggi dikenai atas kelebihan
impor dari kuota. Tarif yang dikenai untuk kelebihan impor itu dapat ditentukan
sedemikian tinggi sehingga volume impor tidak melebihi kuota.
Reformasi tata niaga
TRQ dan tata niaga dari sisi
administratif tidak jauh berbeda dan sama-sama rawan penyelewengan. Penentuan
importir yang mendapat izin dan pembagian kuota impor menjadi celah bagi
masuknya pemburu rente. Penyelewengan sulit dilakukan apabila pembagian kuota
didasarkan pada aturan jelas, transparan, dan konsisten. Semua importir
mendapat kesempatan sama dan tidak ada pihak yang diberi prioritas. Penalti
yang dikenakan kepada importir yang tak menggunakan jatahnya harus dijelaskan
di muka.
Sistem lelang sering dipandang
sebagai cara paling adil dan efisien dalam pembagian kuota impor kepada tiap
importir. Namun, hanya sedikit negara yang menerapkan cara ini untuk
mengalokasikan kuota. Ada cara lain mengalokasikan kuota impor, misalnya
proporsional terhadap volume impor yang diajukan importir atau volume impor
pada masa lalu (historis) dengan jatah tertentu bagi importir baru. Apa pun
caranya, selama mengacu kepada aturan jelas dan transparan, penyelewengan dapat
diminimalkan.
Bahan pangan tertentu yang
produksinya tidak signifikan, bawang putih misalnya, tak memerlukan lagi tata
niaga dan cukup dikenai tarif. Untuk gula, sistem TRQ lebih cocok sehingga
segmentasi pasar (gula industri dan rumah tangga) tak diperlu- kan lagi. Impor
gula di atas kuota dikenai tarif lebih tinggi dari yang berlaku sekarang. Kuota
impor gula mentah harus dikurangi bertahap karena, seingat penulis, ada
komitmen pabrik gula rafinasi membangun pabrik gula mentah di dalam negeri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar