Rabu, 16 Oktober 2013

Tata Niaga Impor Pangan

Tata Niaga Impor Pangan
Udi H Pungut  Analis Indonesia Research & Strategic
KOMPAS, 16 Oktober 2013


GEJOLAK harga pangan, dugaan korupsi, dan kartel impor pangan yang muncul akhir-akhir ini ditengarai bersumber dari kebijakan tata niaga. Karena itu, tuntutan mereformasi tata niaga impor pangan kembali mengemuka. Beberapa pihak bahkan mengusulkan agar tata niaga impor pangan dihapuskan, diganti dengan kebijakan tarif atau penerapan bea masuk.

Penghapusan hambatan nontarif dalam perdagangan internasional dan menggantikannya dengan kebijakan tarif sesuai dengan semangat perdagangan bebas. Idealnya, impor dan ekspor pangan dapat dilakukan tanpa hambatan, termasuk hambatan tarif. Namun, pasar pangan dunia sudah kadung terdistorsi. Hampir semua negara menyubsidi produsen di sektor pertanian dan melindungi produk pangannya dari persaingan dengan impor.

Proteksi terhadap produsen pangan domestik adalah kebijakan pahit yang perlu dilakukan. Dikatakan pahit karena konsumen di dalam negeri harus menanggung akibatnya dalam bentuk harga lebih mahal. Sebaliknya, tanpa proteksi produsen pangan domestik, yang sebagian besar terdiri atas petani kecil, boleh jadi kita tak mampu bersaing.

Sikap protektif terhadap sektor produksi pangan terutama ditujukan untuk melindungi produsen domestik dari tindakan dumping. Sering terjadi, negara produsen mengekspor kelebihan produksinya dengan harga murah. Ada pula kepentingan politik mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor. 

Setiap negara, terutama negara besar seperti Indonesia, berkepentingan meningkatkan produksi pangannya agar tidak semakin bergantung kepada impor. Bahkan, negara maju yang sektor pertaniannya relatif kecil, baik dalam penciptaan nilai tambah maupun penyerapan tenaga kerja, tetap memproteksi sektor pertaniannya.

Tata niaga impor adalah kebijakan yang mengatur siapa saja yang boleh melakukan impor dan menentukan kuantitas yang boleh diimpor tiap importir. Pada dasarnya tata niaga hampir sama dengan kebijakan kuota. Dengan tata niaga, izin impor kadang-kadang dikaitkan dengan penggunaan barang itu. Contoh, daging impor hanya untuk konsumsi hotel, restoran, dan kafe, sementara gula impor hanya boleh untuk industri. Itu berarti ada segmen pasar tertentu yang ingin dikhususkan bagi produsen domestik. Selain ditataniagakan, impor barang tertentu juga dikenai tarif. Impor gula, misalnya, selain diatur juga dikenai tarif.

Jika hanya menyangkut kuota, tata niaga dapat diganti dengan kebijakan tarif dengan menetapkan tarif pada tingkat tertentu sehingga volume importasi sesuai dengan keinginan (kuota). Selain perlu penghitungan rumit, hasilnya tak pasti. Negara eksportir dapat saja mengubah tingkat subsidi untuk mengeliminasi dampak pengenaan tarif. Itu sebabnya kuota lebih disukai, baik oleh pemerintah maupun produsen domestik, daripada tarif.

Kecenderungan yang terjadi di banyak negara, hambatan impor dilakukan dengan sistem tariff rate quota (TRQ). Dengan cara ini, impor sampai dengan volume tertentu (kuota) dikenai tarif tertentu atau tidak sama sekali. Tarif lebih tinggi dikenai atas kelebihan impor dari kuota. Tarif yang dikenai untuk kelebihan impor itu dapat ditentukan sedemikian tinggi sehingga volume impor tidak melebihi kuota.

Reformasi tata niaga    

TRQ dan tata niaga dari sisi administratif tidak jauh berbeda dan sama-sama rawan penyelewengan. Penentuan importir yang mendapat izin dan pembagian kuota impor menjadi celah bagi masuknya pemburu rente. Penyelewengan sulit dilakukan apabila pembagian kuota didasarkan pada aturan jelas, transparan, dan konsisten. Semua importir mendapat kesempatan sama dan tidak ada pihak yang diberi prioritas. Penalti yang dikenakan kepada importir yang tak menggunakan jatahnya harus dijelaskan di muka.

Sistem lelang sering dipandang sebagai cara paling adil dan efisien dalam pembagian kuota impor kepada tiap importir. Namun, hanya sedikit negara yang menerapkan cara ini untuk mengalokasikan kuota. Ada cara lain mengalokasikan kuota impor, misalnya proporsional terhadap volume impor yang diajukan importir atau volume impor pada masa lalu (historis) dengan jatah tertentu bagi importir baru. Apa pun caranya, selama mengacu kepada aturan jelas dan transparan, penyelewengan dapat diminimalkan.


Bahan pangan tertentu yang produksinya tidak signifikan, bawang putih misalnya, tak memerlukan lagi tata niaga dan cukup dikenai tarif. Untuk gula, sistem TRQ lebih cocok sehingga segmentasi pasar (gula industri dan rumah tangga) tak diperlu- kan lagi. Impor gula di atas kuota dikenai tarif lebih tinggi dari yang berlaku sekarang. Kuota impor gula mentah harus dikurangi bertahap karena, seingat penulis, ada komitmen pabrik gula rafinasi membangun pabrik gula mentah di dalam negeri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar