|
POLITIK pangan
kita perlu terobosan segera. Dulu, Orde Baru demi swasembada pangan lebih berfokus
pada beras. Petani harus menanam padi. Berbagai program rekayasa sosial ekonomi
dan teknologi produksi seperti Bimas, Insus, dan Supra Insus diluncurkan demi
swasembada beras. Hasilnya, Indonesia memperoleh swasembada beras pada 1984.
Namun, politik beras ini mengancam program diversifikasi pangan yang juga dikerjakan pemerintah sejak 1974 melalui Inpres No 14 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Tingkat konsumsi beras pun meningkat mencapai level sekitar 139 kg per kapita per tahun. Ini yang tertinggi di dunia, karena rata-rata dunia hanya 60 kg. Bandingkan dengan Thailand 70 kg, Malaysia 80 kg, atau Jepang 60 kg.
Upaya mengurangi tingkat konsumsi pangan kini mulai dilakukan. Seperti dengan gerakan sehari tanpa nasi atau mengonsumsi pangan lokal. Namun, budaya pangan (food habit) tidak mudah diubah. Ada pameo: "Perut orang Indonesia kalau belum kemasukan nasi akan tetap merasa lapar atau merasa belum makan."
Politik pangan fokus beras menyebabkan produksi pangan lokal terabaikan. Bahkan, sejak krisis ekonomi 1997, impor pangan kita terus meningkat mulai beras, gandum, kedelai, garam, sayur, buah, daging, dan lain-lain.
Impor menggerus kemampuan kita untuk menghasilkan pangan lokal. Kita ambil contoh kedelai. Pada 1992, produksi kedelai mencapai yang tertinggi, 1,87 juta ton. Pada 1995, produksi turun menjadi 1,68 juta ton dengan luas panen 1,48 juta ha. Hingga pergantian 1999, produksi masih 1,38 juta ton pada 824 ribu ha. Tetapi, memasuki 2000, produksi kedelai terus merosot hingga angka terendah pada 2007 dengan produksi 592.534 ton dan luas panen hanya 459.116 ha. Produksi kedelai di Indonesia hanya sekitar 0,3 persen dari total produksi kedelai di dunia yang mencapai 230.581.106 ton.
Angka impor pun semakin meningkat. Pemerintah kita seperti tim sepak bola yang fokus menyerang, tetapi lupa pertahanan. Artinya, kita lebih asyik impor kedelai sehingga lupa mengembangkan produksi kedelai lokal. Padahal, tidak sedikit varietas kedelai lokal yang memiliki potensi produksi yang tinggi. Kedelai impor yang lebih murah menghilangkan semangat petani kita.
Menurut Simatupang (2005), proyeksi kebutuhan kedelai dalam negeri terus naik. Pada 2015 diperkirakan permintaan kedelai menjadi 2,71 ton dan pada 2025 menjadi 3,35 juta ton. Jika sasaran produksi kedelai rata-rata nasional 1,5 ton per ha, pada 2015 dibutuhkan areal 1,81 juta ha dan 2025 sekitar 2,24 juta ha.
Padahal, lahan semakin menyusut. Kementerian Pertanian menyebutkan luas sawah irigasi 4.784.974 ha dan sawah tak beririgasi 7.748.348 ha (sawah tadah hujan, rawa lebak, pasang surut). Namun, konversi lahan pertanian juga meningkat deras. Setiap tahun sekitar 100 ribu ha lahan pertanian beralih fungsi. Data BPS (1992-2009) di Jawa Barat lahan pertanian menyusut 247.273 ha.
Diversifikasi pangan yang terjadi selama ini sepertinya salah arah karena justru terjadi pada mi dan roti. Produk ini dari gandum yang semuanya diimpor. Gandum bisa dikurangi bila kita, misalnya, memberikan perhatian pada produksi mocaf (modified cassava flour) atau produk tepung singkong yang diproses dengan memodifikasi sel umbi singkong sehingga diperoleh tepung pengganti gandum. Mocaf bisa digunakan untuk mi, bihun, kue kering, kue basah, brownies, cake, dan lain-lain.
Ketergantungan pada gandum menyebabkan bahan pangan lokal pengasil tepung seperti singkong, ubi jalar, talas, ganyong, garut, dan lain-lain tidak mendapat perhatian pada aspek budi daya dan teknologi pengolahan tepung.
Dengan demikian, diversifikasi pangan yang berasal bahan pangan lokal menjadi terhambat karena lebih mudah mengimpor gandum. Begitu juga ketergantungan kita pada kedelai impor. Kita menjadi abai dan tidak melihat beragam tanaman kacang-kacangan yang bisa diolah untuk menghasilkan tempe.
Karena itu, diperlukan politik pangan yang mengutamakan pangan lokal. Perlu upaya yang terarah, kontinu, dan serius. Jutaan petani dapat berproduksi dan mereka bisa menghasilkan berbagai bahan pangan yang menunjang kemandirian pangan nasional. ●
Namun, politik beras ini mengancam program diversifikasi pangan yang juga dikerjakan pemerintah sejak 1974 melalui Inpres No 14 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Tingkat konsumsi beras pun meningkat mencapai level sekitar 139 kg per kapita per tahun. Ini yang tertinggi di dunia, karena rata-rata dunia hanya 60 kg. Bandingkan dengan Thailand 70 kg, Malaysia 80 kg, atau Jepang 60 kg.
Upaya mengurangi tingkat konsumsi pangan kini mulai dilakukan. Seperti dengan gerakan sehari tanpa nasi atau mengonsumsi pangan lokal. Namun, budaya pangan (food habit) tidak mudah diubah. Ada pameo: "Perut orang Indonesia kalau belum kemasukan nasi akan tetap merasa lapar atau merasa belum makan."
Politik pangan fokus beras menyebabkan produksi pangan lokal terabaikan. Bahkan, sejak krisis ekonomi 1997, impor pangan kita terus meningkat mulai beras, gandum, kedelai, garam, sayur, buah, daging, dan lain-lain.
Impor menggerus kemampuan kita untuk menghasilkan pangan lokal. Kita ambil contoh kedelai. Pada 1992, produksi kedelai mencapai yang tertinggi, 1,87 juta ton. Pada 1995, produksi turun menjadi 1,68 juta ton dengan luas panen 1,48 juta ha. Hingga pergantian 1999, produksi masih 1,38 juta ton pada 824 ribu ha. Tetapi, memasuki 2000, produksi kedelai terus merosot hingga angka terendah pada 2007 dengan produksi 592.534 ton dan luas panen hanya 459.116 ha. Produksi kedelai di Indonesia hanya sekitar 0,3 persen dari total produksi kedelai di dunia yang mencapai 230.581.106 ton.
Angka impor pun semakin meningkat. Pemerintah kita seperti tim sepak bola yang fokus menyerang, tetapi lupa pertahanan. Artinya, kita lebih asyik impor kedelai sehingga lupa mengembangkan produksi kedelai lokal. Padahal, tidak sedikit varietas kedelai lokal yang memiliki potensi produksi yang tinggi. Kedelai impor yang lebih murah menghilangkan semangat petani kita.
Menurut Simatupang (2005), proyeksi kebutuhan kedelai dalam negeri terus naik. Pada 2015 diperkirakan permintaan kedelai menjadi 2,71 ton dan pada 2025 menjadi 3,35 juta ton. Jika sasaran produksi kedelai rata-rata nasional 1,5 ton per ha, pada 2015 dibutuhkan areal 1,81 juta ha dan 2025 sekitar 2,24 juta ha.
Padahal, lahan semakin menyusut. Kementerian Pertanian menyebutkan luas sawah irigasi 4.784.974 ha dan sawah tak beririgasi 7.748.348 ha (sawah tadah hujan, rawa lebak, pasang surut). Namun, konversi lahan pertanian juga meningkat deras. Setiap tahun sekitar 100 ribu ha lahan pertanian beralih fungsi. Data BPS (1992-2009) di Jawa Barat lahan pertanian menyusut 247.273 ha.
Diversifikasi pangan yang terjadi selama ini sepertinya salah arah karena justru terjadi pada mi dan roti. Produk ini dari gandum yang semuanya diimpor. Gandum bisa dikurangi bila kita, misalnya, memberikan perhatian pada produksi mocaf (modified cassava flour) atau produk tepung singkong yang diproses dengan memodifikasi sel umbi singkong sehingga diperoleh tepung pengganti gandum. Mocaf bisa digunakan untuk mi, bihun, kue kering, kue basah, brownies, cake, dan lain-lain.
Ketergantungan pada gandum menyebabkan bahan pangan lokal pengasil tepung seperti singkong, ubi jalar, talas, ganyong, garut, dan lain-lain tidak mendapat perhatian pada aspek budi daya dan teknologi pengolahan tepung.
Dengan demikian, diversifikasi pangan yang berasal bahan pangan lokal menjadi terhambat karena lebih mudah mengimpor gandum. Begitu juga ketergantungan kita pada kedelai impor. Kita menjadi abai dan tidak melihat beragam tanaman kacang-kacangan yang bisa diolah untuk menghasilkan tempe.
Karena itu, diperlukan politik pangan yang mengutamakan pangan lokal. Perlu upaya yang terarah, kontinu, dan serius. Jutaan petani dapat berproduksi dan mereka bisa menghasilkan berbagai bahan pangan yang menunjang kemandirian pangan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar