Kamis, 24 Oktober 2013

Menggagas Ekonomi Alternatif

Menggagas Ekonomi Alternatif
Muhamad Karim ;  Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan
dan Peradaban Maritim
SINAR HARAPAN, 23 Oktober 2013


Di tengah ancaman krisis ekonomi dunia akibat krisis Eropa yang belum pulih hingga shutdown Pemerintahan Amerika Serikat, muncul kekhawatiran berimbas ke Indonesia. Muncullah pemikiran bagaimana mengantisipasinya.

Salah satunya yakni ide-ide dan praktik ekonomi alternatif. Hal ini dimaksudkan agar perekonomian nasional tak mengalami stagnasi jika krisis dunia benar-benar terjadi. Argumentasi lainnya yaitu ekonomi arus utama (mainstream) yang dominan di Indonesia sekarang ini dinilai kian menjauh dari semangat konstitusi UUD 1945 dan ideologi Pancasila.

Umpamanya, kala pemerintah Indonesia mengatasi problem kemiskinan solusinya bersifat generic, mirip obat pemyakit penurun panas, alias tak mengobati sumber penyakitnya.

Padahal problem kemiskinan telah jadi agenda dunia melalui Millennium Development Goals (MDGs), program pembangunan dunia melalui PBB yang berfokus pada upaya mengakhiri kemiskinan ekstrem, kelaparan, dan penyakit (Sach, 2013). Gagasan ekonomi alternatif ini diharapkan jadi bagian solusi terintegrasi dalam mencapai tujuan MDGs.

Kritik Ekonomi Arus Utama

Munculnya gagasan ekonomi alternatif (heterodox/eklektik hingga pluralism economics) tak luput dari berbagai kritik atas pemikiran ekonomi arus utama. Pertama, Assadourian (2012) menuliskan kritikannya dalam The Worldwacth Institute 2012 berjudul The Path to Degrowth in Overdeveloped Countries.

Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi malah berimbas pada menurunnya kualitas hidup manusia, krisis lingkungan, hingga bencana kemanusiaan. Kedua, Baudrillard (2009) juga melontarkan kritik senada, menurutnya ideologi pertumbuhan kerap menghasilkan dua hal yaitu kemakmuran dan kemiskinan.

Makmur bagi yang diuntungkan dan miskin bagi yang terpinggirkan. Ia pun mempertegas soal ideologi pertumbuhan yang mengarah pada pemiskinan prikologis dan kefakiran sistemis akibat “kebutuhan” yang selalu melampuai batas produksi. Bahkan, konsumsi melampaui produksi, berimbas pada konsumsi tanpa henti, rakus, dan serakah.

Ketiga, Phillipe (2011) merujuk paragraf enam Deklarasi Konferensi Degrowth di Paris tahun 2008 yang menyatakan “pertumbuhan produksi dan konsumsi secara global berimbas pada ketidakberlanjutan (unsustainable) sosial dan ketidak-ekonomian”.

Keempat, Martinez-Alier et al (2010) pun berpendapat senada, dominasi paradigma pertumbuhan ekonomi lebih menghargai konsumsi dan investasi swasta (private) berhadapan dengan publik (public), ketimbang modal alamiah (natural capital).

Kelima, Zaccai (2009) malah membuktikan kelemahan indikator pertumbuhan berupa gross domestic product (GDP), yaitu hanya mengukur nilai aktivitas ekonomi dari penduduk suatu negara dalam setahun. Persis sama dengan Simon Kuztnet yang mengingatkan kelemahan GDP yang hanya mengukur output ekonomi sehingga tak dapat digunakan sebagai indikator kemajuan sebuah bangsa.

Keenam, GDP pun absen mengukur kerja domestik maupun sosial (kedermawanan) yang sejatinya juga berimbas pada aktivitas ekonomi maupun lingkungan (Robert-Demontrond, 2008; Stiglitz et al, 2009).
Ketujuh, yang menarik adalah laporan kerja Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress (CMEPSP) yang diketuai Profesor Joseph E Stiglitzh, Profesor Amartya Sen (Ketua Penasehat Komisi), dan Profesor Jean-Paul Fitoussi dari Siences-Po (Institut d’Etudes Politique de Paris) yang menjabat Presiden Lembaga Penelitian Elite Prancis (Observatoire des Conjuctures Economiques, OFCE) yang didaulat sebagai Koordinator Komisi.

Hasil kerja komisi ini berupa Report by the Commision on the Measurement of Economic Performance and Social Progress.

Komisi ini merekomendasikan indikator pengukuran kesejahteraan baru dari beragam dimensi, yaitu standar hidup material (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan); kesehatan; pendidikan; aktivitas individu termasuk bekerja; suara politik dan tata pemerintahan; hubungan dan kekerabatan sosial; lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan); dan ketidakamanan, baik bersifat ekonomi maupun fisik.
Pemikiran/gerakan ekonomi alternatif telah berkembang dalam beragam varian. Mulai yang masih dalam mazhab arus utama hingga menyempal. Setidaknya hingga kini terbagi dalam dua kelompok besar. 

Pertama, yang pro terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menambahkan atribut “hijau” (green) dan “biru” (blue). Umpamanya, Green Economy (UNEP, OECD), Europe 2020 (Europe Commision), Study Commission on Growth (17 Anggota Parlemen Jerman), The Blue Economy (Gunter Pauli), Cradle to Cradle (Michael Braungart), hingga Factor X (Friedrich Schmidt-Bleek, dan Ernst Ulrich von Weizsacker).

Kedua, yang menyoal hingga menolak pertumbuhan ekonomi. Variannya terbagi dua, pertama menyoal/menggugat pertumbuhan ekonomi berupa (i) Steady State Economy (Herman E Daly), (ii) Degrowth (aktivis gerakan masyarakat sipil); (iii) PostGrowth Society (Tim Jackson, Nico Paech, dan Peter Victor).

Kedua, menekankan kesejahteraan manusia tanpa pertumbuhan, yaitu (i) Buen Vivier yang berkembang di Bolivia dan Ekuador (Alberrto Costa dan Eduardo Gydunas), (ii) Common Welfare Economy (Christian Felber dan 500 perusahaan) ; (iii) The Solidarity Economy (beragam aktor), dan (iv) The Transition Movement (Rob-Hopkins, Naresh Giangrande, dan Louise Rooney). Contohnya, Buen Vivir.
Buen Vivir adalah aktivitas ekonomi yang bertujuan menjaga keseimbangan alam, mengurangi ketidakadilan sosial berdasarkan solidaritas dan kemajemukan dalam berdemokrasi, dengan memberi ruang partisipasi sosial bagi masyarakat sipil (Series Zukunftdossiers, 2012).

Alternatif ala Indonesia

Beragam pemikiran alternatif yang kini menjamur di seluruh dunia bukan berarti di Indonesia tidak berkembang. Di Indonesia, model pemikiran alternatif yang mirip Eropa Barat, Amerika Latin, hingga Amerika Utara sudahberkembang di level mikro.

Sayangnya, para pengambil kebijakan ekonomi dan pembangunan di negeri ini, mengabaikan hal ini dan terlalu menghambah ekonomi arus utama.  Umpamanya, praktik sosial entrepreneurship yang sudah berkembang pesat di Indonesia khususnya pada etnik Minang, Bugis Makassar, Buton, Madura,  Sunda (Tasikmalaya), dan Jawa.

Simaklah (i) bisnis warung padang; (ii) Jaringan bisnis saudagar Bugis-Makassar; (iii) Usaha besi tua orang Madura; (iv) Bisnis kelontong orang Buton di pasar-pasar tradisional di Indonesia Timur (Maluku hingga Papua); (v) Kredit barang kebutuhan rumah tangga Tasikmalaya; dan (vi) Usaha batik di Jawa Tengah (Solo, Pekalongan), Yogyakarta, hingga Jawa Barat.

Tentu masih banyak model lain bila ditelusuri di seluruh kepulauan Indonesia. Eksisnya ekonomi alternatif ini disebabkan; pertama, kuatnya solidaritas intergenerasi (intergenerational solidarity) (Cruz Saco, 2010).

Kedua, kuatnya jiwa kewirausahaan social (social entrepreneurship) (Ziegler, 2009). Ketiga, kekuatan ekonomi pengaruh nilai-nilai budaya dalam menopang aktivitas ekonomi (cultural informed economics) (Jackson, 2009). Keempat, berkembangnya hubungan patron-client egaliter, khususnya yang berkembang dalam masyarakat Buton di wilayah Indonesia bagian timur.

Suatu pola hubungan patron-client yang dilandasi lima modal yaitu spiritual, agama, budaya, finansial, dan sosial (Lutfi, 2010). Keempat hal itulah menyebabkan model ekonomi alternatif berkembang sejak sebelum lahirnya Indonesia hingga kini.

Praktiknya yaitu konsep ekonomi alternatif Barat (yang mengedepankan efisiensi, inovasi, kreativitas, dan ramah lingkungan versi Barat) disinergikan  dengan ekonomi lokal yang menunjung tinggi nilai-nilai tradisi, agama, budaya, pengetahuan lokal, dan bersahabat dengan alam sehingga menghasilkan model ekonomi heterodoks/eklektik menyempal dari kapitalisme maupun sosialisme.

Model ekonomi ini tak bisa dikembangkan secara seragam. Melainkan beragam (Pluralism Economics) di seluruh Indonesia bergantung pada sumber daya, budaya, tata nilai, geografi, hingga pengetahuan lokalnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar