Rabu, 02 Oktober 2013

Menantikan Konvensi PD Bukan Sayembara “Akal-Akalan”

Menantikan Konvensi PD
Bukan Sayembara “Akal-Akalan”
Galih Prasetyo  ;  Penulis menyelesaikan S-1 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Nasional (2011) , Pengurus Bakornas LAPMI PB HMI Periode 2013-2015, Pemimpin Redaksi Majalah Independensia, independensia.com dan Staf  di Ditjen PAUDNI Kemendikbud
OKEZONENEWS, 01 Oktober 2013


Partai Demokrat (PD) berencana  menggelar konvensi memilih capres atau cawapres untuk Pemilu 2014. Tapi masih banyak yang meragukan hasil konvensi akan bertolak belakang dengan keinginan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai “penguasa” tertinggi partai.
 
Konvensi akan bekerja sama dengan sejumlah lembaga survei yang dinilai kredibel. Serta melibatkan rakyat. Sehingga keputusan pemenang konvensi bersumber dari pilihan rakyat. 
Ini terobosan politik yang terbilang baik sebenarnya. Agaknya, SBY bermaksud untuk memperbaiki citra partai  yang babak belur pasca kasus mantan Bendahara Umum PD, M. Nazaruddin yang terlibat korupsi Hambalang.
 
Yang menjadi perhatian adalah lembaga survei yang terlibat dalam konvensi ini perlu diberikan kewenangan penuh untuk merilis hasilnya. Dengan demikian, publik menyakini bahwa ajang ini bukan sekadar akal-akalan. Terlebih bila hasil rilis survei berbeda dengan keputusan partai tentu sebuah bunuh diri untuk partai belambang mercy ini.

Konvensi patut diapresiasi, lantaran ini juga kesempatan bagi PD untuk berbenah diri, memulihkan kembali elektabilitas yang sempat hancur berantakan. Untuk mendukung upaya tersebut mesti dilakukan dengan mekanisme yang jelas, transparan dan adil. Sehingga simpatik publik  bakal tertuju kepada partai.

PD memiliki tugas berat agar proses konvensi berjalan benar. Apabila main-main publik akan tambah kehilangan kepercayaan dan sama saja partai  menggali liang kubur sendiri. PD berkepentingan besar mengawal konvensi agar elektabilitas terdongkrak. Terlalu mahal harga yang harus dibayar PD bila bermain-main  dalam hal ini.
 
Terget konvensi sudah jelas, yaitu untuk mendongkrak elektabilitas. Terlihat target awalnya  adalah pemilu legislatif (pileg). Sebab proses konvensi tahap dua yang rencana digelar pada Januari sampai dengan Mei 2014 boleh dikatakan berdekatan dengan pileg. Tentu ini sangat menguntungkan PD lantaran memiliki waktu lebih panjang dalam berkampanye. 

Tokoh  Penting Pilih Mundur

Banyak kalangan menilai konvensi kehilangan daya magnet. Terlebih sejumlah tokoh penting dan populer memutuskan menolak turut serta. Sebut saja, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
 
Demokrat terasa sepi peminat. Apalagi sebelas nama yang resmi ikut konvensi elektabilitas mereka terbilang biasa-biasa saja. Mahfud sempat menghadiri tahapan pra konvensi untuk menyampaikan mundur dan menyerahkan surat penolakan. Salah satu alasannya, ia belum memperoleh kejelasan mengenai hak dan kewajiban peserta konvensi. Termasuk yang kelak terpilih. 

Meski ia sempat  mengapresiasi. Menurutnya, konvensi menarik karena keputusan partai  bersumber dari pendapat rakyat.  Sementara, JK yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar itu merasa tidak etis bila mengikuti konvensi yang digelar partai lain. 

Setelah dilakukan tahap pra konvensi, kini sudah ada sebelas nama yang kemungkinan besar akan bertarung memperebutkan tiket karpet biru PD sebagai capres atau cawapres yang diusung PD.  Kita akan buktikan nanti apakah konvensi PD bukan sekadar akal-akalan belaka.

tidak �xumHw�wjalan keluar. Cara berpikir pemerintah sudah tidak bersifat sentrifugal karena hanya terfokus pada impor pangan. Inilah suatu kenyataan dari proses krisis yang sangat ironi, di tengah negara yang menyebut dirinya sebagai negeri gemah ripah loh jinawi (tenteram dan makmur serta sangat subut tanahnya).

Penguatan Pangan

Dari kondisi di atas, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali harus meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, yang dapat dimulai dari kebijakan yang beroerientasi pada penguatan pangan lokal. Apalagi ini menyangkut industri yang berperan penting dalam pemenuhan gizi masyarakat. Kebijakan pemerintah harus menyangkut perbaikan terhadap beberapa faktor penyebab terus menyusutnya produksi pangan dalam negeri, seperti menurunnya luas tanam, menurunnya harga relatif pangan, dan lemahnya teknologi pangan. 

Selanjutnya, pemerintah juga harus mampu mengatur tata niaga dan perdagangan komoditas pangan sebab ada indikasi pemerintah dan politisi telah terseret dalam lingkaran itu. Contohnya adalah kasus impor daging yang melibatkan orang penting partai dan kementerian terkait. Pemerintah melalui Presiden (kalau perlu), harus mampu memotong gurita pemburu rente yang telah teridikasi bermain dalam gonjang-ganjing pangan dalam negeri tersebut sebab mereka berkepentingan karena akumulasi laba yang diinginkan saja.

Upaya pemerintah ini lebih jauh juga harus mampu disinergikan dengan perubahan kebijakan yang sangat mendasar, yakni soal penghentian liberalisasi pangan sebab ini jadi malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan dalam negeri. Liberalisasi pangan, seperti kebijakan impor, telah membuat Indonesia mengalami ketergantungan. Padahal, dengan kondisi seperti sekarang ini (perubahan iklim), negara-negara eksportir bisa kapan saja mengamankan cadangan pangannya sendiri dengan menutup keran ekspornya.

Oleh karena itu, keseriusan dan komitmen yang tinggi dari pemerintah menjadi harapan satu-satunya untuk menguatkan pangan dalam negeri jika tidak ingin bangsa ini hanya menjadi bangsa pengimpor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar