Jumat, 25 Oktober 2013

Lion Air

Lion Air
Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO, 24 Oktober 2013



Tak dapat dipungkiri, kehadiran Lion Air telah turut menaikkan perekonomian Indonesia. Setidaknya, kini lebih banyak orang yang bisa terbang, dan daerah-daerah terpencil yang terisolasi menjadi lebih terbuka. 

Kini bukan lagi Merpati yang disebut-sebut para bupati dan tokoh-tokoh adat di kepulauan terpinggir, melainkan Lion Air beserta merek-merek pendukungnya (Wings dan Batik) Tetapi minggu-minggu ini kita justru membaca sejumlah komplain dan kesulitan penumpang dengan Lion Air.

Selain berita semakin seringnya keterlambatan terbang yang melewati batas toleransi (di atas dua jam), kita juga membaca berita tentang pembukaan paksa pintu pesawat oleh penumpang di salah satu landas pacu bandara karena pesawat tak kunjung terbang, sementara udara pengap dan panas sangat mengganggu. Kita tidak tahu persis apakah AC pesawat rusak, tidak dinyalakan oleh awak kabin, atau kebijakan perusahaan untuk menghemat biaya. Yang jelas, Lion Air rugi besar. 

Rugi pemberitaan negatif, dan rugi lain-lain. Pesawat jadi tertunda, pintu pun harus diperbaiki, dan seluruh agenda penerbangan kacau-balau, apalagi saat minggu ini kita membaca berita, maskapai ini dikabarkan mengimpor ban bekas. Namun, mata saya tetap tak terganggu saat staf saya menyodorkan tiket pesawat berlogo Lion Air untuk penerbangan Surabaya–Makassar minggu lalu. Selain jadwalnya yang convenient, bagi saya Lion Air bukanlah Adam Air, ia masih memiliki catatan safety yang lumayan baik. Namun bagaimana selanjutnya? 

Mengelola Kompleksitas 

Airline business pada dasarnya adalah sebuah kompleksitas yang harus dikelola dengan penuh kehati-hatian dan manajemen tingkat tinggi: complex business ini dibangun dengan empat pilar yang saling berhubungan dan hidup (bergerak). Keempat pilar itu adalah Sophisticated Management, People Management, Entrepreneurship, dan Technology. 

Satu saja elemen itu diabaikan, airline business akan berakhir. Maka mengelola 100 pesawat terbang membutuhkan manajemen yang berbeda dengan mengelola 10 pesawat. Perusahaan penerbangan tak bisa dikelola ala dagang warung yang semata-mata mengandalkan kelancaran arus kas, karena di dalamnya terkandung unsur keselamatan manusia, regulasi yang ketat, serta kecepatan tindak. Demikianlah satu elemen memengaruhi elemen-elemen lainnya. 

Dan begitu satu elemen tak mampu menjawab, terjadilah serangkaian masalah secara berurutan, sahut-menyahut, begitu cepat, dan akhirnya berbuntut pada gangguan terhadap arus kas, keselamatan penerbangan, dan tuntutan-tuntutan hukum. Maka meski CEO sebuah airlines harus memiliki kualitas kewirausahaan memadai, kepemimpinannya harus berada pada “jarak” yang memadai dengan pemilik perusahaan. “Jarak” itu biasanya baru bisa tampak saat airlines menghadapi sejumlah surprise yang melibatkan conflict antara kepentingan arus kas dan reputasi strategis yang menyangkut masa depan perusahaan. 

Secara behavioral, pemilik akan memproteksi lebih pada risiko-risiko keuangan, mulai dari operational effectiveness (operational cost), arus kas, hingga kemampuan membayar cicilan utang, dan kinerjakinerja keuangan. Seorang CEO yang mandiri dan profesional bisa saja menghentikan operasional sesaat bila ia mendeteksi telah terjadi gangguan pada kompleksitas operasi usaha yang bisa berdampak buruk pada arus kas. 

Penghentian sementara ini dilakukan untuk mengatasi gangguan strategis dan segala hal yang dapat merusak reputasi usaha. Ingatlah airlines memiliki karakter serupa dengan medical service atau lembaga keuangan yang dibeli karena reputasinya. Hal seperti ini misalnya pernah dialami oleh Garuda Indonesia dua tahun silam, saat airlines ini mengintegrasikan seluruh sistemnya yang berakibat down dan penumpang menumpuk di bandara. 

Di tengah-tengah amarah seluruh stakeholder-nya, CEO Garuda Indonesia memutuskan untuk tidak melayani booking tiket baru, demi melayani loyal customer yang terlantar di bandara. “Jarak” antara CEO dan owner, atau COO dengan owner seperti ini tampaknya masih belum terjadi dalam industri penerbangan domestik yang masih berada dalam fase “entrepreneurial” dalam perjalanan Corporate Life Cyclenya. Owner masih mengoperasikan usaha, menentukan arah masa depan, sekaligus memberi ruh yang kental dalam operasional bisnis. Maka itulah yang saya alami. 

Di tengah-tengah berita keterlambatan yang menggila, saya sendiri mengalami penundaan penerbangan 2-3 jam di Bandara Juanda. Tak ada pemberitahuan pendahuluan. Saya tiba pukul 7 pagi di bandara untuk terbang pukul 9, namun dikabarkan pesawat delay, terjadi perubahan konfigurasi dan dikabarkan baru bisa terbang 11:30. Tiket kelas bisnis pun dibatalkan sepihak, petugas layanan pelanggan mengatakan pesawat hanya terisi kelas ekonomi. Saya menerima sebuah kuitansi pengembalian selisih harga, yang ternyata hanya dinilai Rp123.000. 

Apakah benar selisih tiket antara kelas bisnis dan ekonomi hanya terpaut sebesar itu? Saya tak tahu persis, tetapi hari itu saya terdampar lebih dari tiga jam di Bandara Juanda tanpa kompensasi apa pun. Namun berbeda dengan penumpang lain yang mulai emosional, sikap saya terhadap pegawai konter Lion Air justru sangat kooperatif. Saya menanyakan berapa usia mereka. Yang satu menyebutkan 19 tahun, dan yang lebih senior berusia 22 tahun. Saya melihat anak-anak muda itu seperti anak-anak saya sendiri. Maka alih-alih memarahi, saya justru berempati dan tersenyum menemani curhat mereka. 

Atau Complicated? 

Tentu saja harus diakui tingkat kecanggihan manajerial dunia usaha kita belumlah setinggi harapan-harapan kita. Singapura, Dubai, Qatar, dan Saudi, setahu saya bahkan terpaksa mendatangkan profesionalprofesional eksekutif dari Benua Eropa untuk mengelola bandara dan industri penerbangan mereka. 

Mereka bahkan sempat menyerahkan pengelolaan perusahaannya secara utuh kepada pihak asing, demi mendapatkan sistem yang melekat pada sumber daya manusia perusahaanperusahaannya. Mereka sadar, investasi perusahaan penebangan tidak hanya ada pada pembelian pesawat belaka, melainkan juga aspek-aspek intangible seperti SDM dan kualitas software. Diyakini, kecepatan menambah pesawat dan jadwal terbang tak dapat dipicu dalam satu dua malam, sebelum keseluruhan sistem bekerja. Kalau kemampuan mengelola kompleksitas tidak diperhatikan, usaha ini akan berubah menjadi super complicated. 

Dalam ilmu manajemen kita membedakan keduanya begini. Complex System dibangun dengan tiga karakteristik, yaitu kegiatan-kegiatan yang beragam (heterogen) dan masingmasing memiliki perilaku yang berbeda dalam pengambilan keputusan (misalnya antara operasional penerbangan dan pemasaran); masing-masing kegiatan itu saling berinteraksi dan berevolusi; dan interaksi ini bermuara pada sebuah tindakan yang dikenal sebagai “emergence”, namun harus menghasilkan sinergy. 

Lantas bagaimana mereka berubah menjadi complicated management? Jawabnya adalah, ketika masing-masing elemen bergerak sendiri-sendiri, menjadi moving part yang sulit ditemukan polanya. Pada akhirnya, sistem yang complicated ini akan menghadapi eskalasi kesulitan dan kekacauan, sulit diramalkan, dan berakibat buruk secara keseluruhan. Itu sebabnya banyak perusahaan yang gagal melewati fase entrepreneurial dibeli dengan harga jauh di bawah nilai bukunya oleh investment company yang datang dengan professional management. 

Saya sendiri masih berharap Lion Air mampu keluar dari complicated system ini, dan tidak masuk dalam perangkap investasi yang sengaja diberikan dari luar untuk menjadi lebih complicated, lalu hilang, berganti kepemilikan, bahkan kebangsaan. Semoga saja!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar