Rabu, 23 Oktober 2013

Kekuasaan “Neo-Dinasti” Harus Dihentikan

Kekuasaan “Neo-Dinasti” Harus Dihentikan
Laode Ida  ;   Wakil Ketua DPD
SINAR HARAPAN, 18 Oktober 2013


Bangunan dinasti baru (lebih tepat “neo-dinasti”) yang dipertontonkan rezim pemerintahan di Provinsi Banten, tampaknya menyadarkan warga bangsa ini tentang kerusakan pengelolaan pemerintahan kita di era Reformasi ini.

Presiden SBY kemudian angkat bicara terkait penyimpangan serius akibat kebijakan, kelakuan, dan ulah “raja-raja baru” di daerah itu, dengan menegaskan “berbahaya bila kekuasaan politik menyatu dengan kekuasaan bisnis”.

Tetapi sungguh ironis respons dari beberapa elite parpol yang melakukan pembelaan terhadap eksistensi dinasti di daerah itu. Elite Partai Golkar, misalnya, menunjukkan reaksi resisten-ofensifnya, bukan saja menyatakan membela keluarga Ratu Atut Chosyiah.

Bahkan, sebagian menganggap “tidak ada politik dinasti karena rekruitmennya terbuka atau dipilih oleh publik”, melainkan juga menyerang balik Presiden SBY karena dianggap mempraktikkan politik dinasti di samping melakukan “intrik menyerang“ partai penguasa di era Orde Baru itu.

Reaksi Partai Golkar itu sementara ini tentu bisa dipahami. Pertama, Ratu Atut dan jajaran keluarganya yang berada dalam dinasti itu adalah kader Golkar. Bahkan, Provinsi Banten bagian dari lumbung suara Golkar di Pulau Jawa.

Adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana, tersangka suap untuk memenangkan gugatan pasangan cabub/cawabub Kabupaten Lebak di MK, juga diusung oleh Partai Golkar, yang sekaligus mememangkan gugatan itu adalah Akil Mochtar, kader Golkar yang kini juga menghuni ruang tahanan KPK—tempat kemenangan itu patut dicurigai sebagai bagian dari “keampuhan suap dan semangat separpol”.

Tepatnya, pihak Golkar merasa aib politiknya “ditelanjangi” di hadapan publik sehingga harus bereaksi membela diri dan kader-kadernya yang sedang pesakitan itu. Namun, jangan salah, sikap frontal “membela kejahatan” seperti itu bukan melulu kerugian bagi Golkar.

Bahkan, justru bisa meraup keuntungan politik tersendiri, karena boleh jadi akan memperoleh back-up kuat dari penguasa lokal yang berjaya dengan sistem dinastinya–terutama dalam menghadapi Pemilu 2014.

Kedua, dan hal ini tampaknya yang menjadikan pihak Golkar merasa kesal, adalah karena posisi SBY yang barangkali dianggap “tidak pas” mempersoalkan dinasti politik.

Soalnya, di era kepemimpinan Partai Demokrat inilah terdapat bangunan dinasti yang semakin kokoh di tengah gerakan pemberantasan korupsi yang memperoleh dukungan masyarakat luas, bukan saja di daerah melainkan juga di tingkat nasional.

Presiden SBY bukan saja tidak tampak upaya seriusnya untuk mencegah atau menghentikan politik dinasti, melainkan justru mempraktikkan dalam lingkungan parpolnya sendiri. Bahkan lebih dari itu, sejumlah kader parpol dan pejabatnya pun terbukti korup, padahal salah satu tema kampanye politiknya ialah “antikorupsi”.

Maka, ketika SBY menyoroti bahaya dinasti dan korupsi di daerah, pihak Golkar dan barangkali juga sebagian masyarakat, dianggapnya mengada-ada atau “hanya bicara untuk pencitraan politiknya”, apalagi terkesan menyerang parpol yang “sedang apes” itu.

Topangan Kuat

Persepsi dan perseteruan politik seperti itu, tentu saja tak boleh kemudian terus menjustifikasi praktik dinasti. Justru semakin menyadarkan kita tentang adanya kekuatan politik elite yang terus membela, memanfaatkan, dan berjaya di atas bangunan politik dinastik.

Bagi Presiden SBY, jika memang memiliki agenda konkrit untuk membongkar dan meniadakan politik dinasti, termasuk memulainya dari dalam parpol sendiri, tak boleh mundur dengan serangan segelintir politikus itu, kecuali mereka yang sudah jadi penikmat politik dinasti. Umumnya warga akan memberikan topangan kuat untuk segera menghentikannya. Mengapa?

Pertama, politik dinasti adalah pelanggaran substansi reformasi. Sistem dan bangunan politik dinasti sudah pasti berintikan “nepotisme”, suatu praktik yang mengutamakan unsur keluarga dalam masuk mengisi formasi politik dan pemerintahan.

Kalau gerakan reformasi yang dilakukan dengan berdarah-darah itu antara lain untuk meniadakan politik nepotisme, maka mereka-mereka yang mempraktikkan dan atau membiarkan politik dinasti sama halnya dengan mengkhianati para pejuang dengan segala pengorbanannya itu.

Kedua, politik dinasti niscaya akan menyuburkan praktik korupsi. Mudah sekali menyalahgunakan kekuasaan untuk menggerus uang negara/rakyat dalam bangunan politik dinasti. Semua pejabat sekaligus pengendali proyek di instansinya akan bekerja berdasarkan pesanan atau titipan atasan, termasuk di dalamnya terkait pemenangan tender proyek.

Proses tender akan dilewati sebagai formalitas belaka, karena “semuanya sudah diatur”. Bahkan, sejak perencanaan suatu proyek sudah ditentukan perusahaan pemenangnya dari lingkar keluarga atau klien politik pejabat. Dari semua itulah Sang Kepala Daerah dan keluarganya “panen besar” sepanjang tahun.

Ketiga, merusak profesionalisme birokrasi. Sekarang ini banyak jabatan strategis (seperti eselon, pengatur kepegawaian, dan pimpinan proyek) diisi barisan keluarga, kerabat, dan pendukung politik Sang Kepala Daerah. Itu hanyalah stempel formal, di mana orang-orangnya berada di bawah kendali sang penguasa.

Dimensi meritokrasi nyaris tak diperhitungkan, sehingga banyak orang tak peduli dengan prestasi berdasarkan profesi dalam bingkai aturan, yang terpenting dan sangat menentukan karier mereka ialah “kedekatan dan atau perasaan senang” dari Sang Penguasa.

Maklum, yang dilayani birokrasi adalah penguasa. Jika tidak, akan sulit memperoleh jabatan. Padahal melalui jabatan bisa memperoleh tambahan pendapatan, dan menikmati korupsi di bawah koordinasi kepentingan Sang Pimpinan Daerah.

Keempat, menghalangi atau bahkan mematikan peluang karier generasi potensial. Setidaknya ruang untuk kader-kader di luar keluarga dan kerabat pejabat akan sangat terbatas, apalagi tak memiliki kemampuan materi memadai.

Kepala Daerah dengan kekuatan birokrasi, politik, dan finansialnya sudah pasti akan all out mendukung figur-figur yang dipromosikan dari pihak keluarga.

Maka tak heran jika sejumlah keluarga pejabat mengisi kursi di DPR, DPD, DPRD (di mana fakta barisan caleg dari unsur keluarga itu kembali muncul dalam menghadapi pemilu 2014), demikian juga banyaknya jabatan kepala daerah dari unsur pertalian darah seperti yang dipertontonkan di Banten.


Persoalannya, memang tak dilarang dalam konstitusi untuk “memberuntungkan keluarganya”. Hal itu dianggap bagian dari hak asasi manusia. Inilah yang harus dibuatkan regulasinya, yang bisa dijadikan salah satu substansi materi dalam revisi UU Nomor 32/2004 yang kini masih dibahas di DPR. Yang harus diingatkan juga ialah kata orang bijak, “Siapa saja yang terlalu mengedepankan hak asasi, pada saat bersamaan sebenarnya sudah mempertontonkan ketamakannya”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar