|
Setiap orang, siapa pun orangnya, berkepentingan dengan
nama baik. Sebagian urusan pertengkaran hukum, di pengadilan, menyangkut nama
baik, berusaha membela nama baik, dan memulihkan kembali nama baik itu.
Alhamdulillah. Ini tanda kesehatan jiwa masyarakat. Setidaknya sebagian warga masyarakat. Bahkan bisa lebih mulai dari itu. Nama baik itu penting. Kehormatan diri, rasa bangga, dan gengsi keluarga, berkisar di sekitar nama baik itu. Bila kehormatan tercoreng, nama baik dinodai orang, jangan tanya, orang Bugis siap membela diri dengan pertaruhan apapun, termasuk jiwanya. Hidup bukan hidup lagi bila kehormatan tergores. Bahkan bila goresan itu hanya kecil. Noda bagi nama baik, sama dengan goresan terhadap jiwa dan kehormatan diri, kehormatan keluarga, etnis, dan kelompok besarnya.
Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pembalasan harus dilakukan. Tapi jangan salah, bukan terutama karena dendam sebagai dendam yang ada di baliknya, melainkan tindakan dan upaya tidak mudah, buat memulihkan kehormatan itu. Manusia tanpa kehormatan, bagi masyarakat Bugis, dianggap tak ada lagi artinya. Kurang lebih, apa yang dikenal sebagai ”siri” di dalam kebudayaan masyarakat tersebut,yang untuk membelanya orang rela bertaruh nyawa, bahkan bila kematianlah yang terjadi, mereka merasa mati dalam keterhormatan, dengan rasa bangga.
Termasuk bagi mereka yang ditinggalkan. Etika ”kesatriaan” Bugis memang luar biasa. Cara menjaganya pun luar biasa. Orang-orang lain, yang datang dari luar etnis itu, menaruh respek dan rasa hormat, setinggi-tingginya. Kata, dan badik, merupakan dua kekuatan penjaga setia terhadap kehormatan, harga diri, dan nama baik. Orang Jawa, yang kelihatannya selalu tersenyum dalam segala cuaca itu, juga bicara mengenai etika kesatriaan, dan meluhurkan etika itu setidaknya seperti sama tingginya dengan orang Bugis menjaga apa yang disebut ”siri” tadi.
Jika hak milik diganggu, kehormatan terancam noda, maka orang Jawa bicara mengenai ungkapan ”sedumuk bathuk, senyari bumi”, dengan kesiapan yang sama seperti ketika orang Bugis sudah menggenggam badik. ”Sedumuk bathuk” itu kehormatan, atau harga diri, yang pantang dinodai. ”Senyari bumi” yang secara harfiah artinya sejengkal tanah, dengan tekanan pada ”hak milik”, yang wajib dipertahankan, dan dibela, dengan bayaran apapun. Idiom ”sedumuk bathuk, senyari bumi” itu idiom kemarahan, sikap ”waspada”, atau ”siaga” menghadapi pihak lain yang dianggap menjadi sumber gangguan.
Hidup Jawa yang serba mengutamakan suasana batiniah dan sosial: hidup harmonis, bukan harmoni ”kuburan” yang senyap. Pertengkaran, hiruk-pikuk dan segenap kegaduhan, maupun kerusuhan, yang melibatkan kekerasan dijauhi. Tapi bila harmoni yang dicita- citakan terancam, apa boleh buat. Kerusuhan yang ”terpaksa” demi membela kebutuhan untuk harmonis,mungkin diterima.
Ini kekayaan tradisi, dan wujud kearifan lokal membuat kita, berbagai etnis di seluruh kawasan Nusantara, memiliki corak kehormatannya sendirisendiri, khas, unik, dan berbeda dari yang lain, tetapi esensinya sama: untuk menjadi terhormat, dan memiliki harga diri, ada banyak mekanisme ”adat’, mekanisme ”tradisi”, yang mungkin”lokal”, yang diajarkan dalam hidup, melalui bingkai kebudayaan.
Dan kita, pendukung setia corak-corak tradisi dalam budaya itu, menjadi ”murid” yang tak habis-habisnya belajar untuk menjadi diri sendiri. *** Pergeseran hidup, dari apa yang bercorak ”tradisional” ke ”modern”—bahkan ke kondisi ”pos modern”—betapa tertatihtatihnya langkah kita. Sebentarsebentar kita terantuk batu dan jatuh. Dan sebentar-sebentar kita dibuat sadar, betapa tak cocoknya tatanan ”modern”— apalagi yang ”pos modern”—dengan milik kita, yang serba ”tradisional” itu. Tapi tak berarti bahwa apa yang ”tradisional” itu merupakan barang ”terkutuk”, yang wajib dijauhi, dan dibuang.
Dalam banyak sekali persoalan, kita justru harus menemukannya kembali untuk melengkapi atau ”mempersenjatai” diri, menghadapi tuntutan hidup yang keras, dan banyak godaannya. Lalu kita bertemu dengan godaan materi, duit, kekuasaan, dan segenap aksesori ”modern” yang melengkapi kekuasaan itu. Aksesori itu mungkin agama, dengan segenap doa, zikir, dan amalanamalan yang menggambarkan diri kita ini pribadi yang ”saleh”, ”khusyuk”, ”religius”. Kita memakai pakaian yang mendukung untuk meneguhkan aksesori kesalehan tadi.
Dan tak jarang orang, secara demonstratif, dan tak tahu malu, memuntir-muntir tasbih, di suatu sidang pengadilan, atau di suatu acara dengar pendapat yang disorot televisi dan disaksikan oleh warga negara di seluruh pelosok tanah air, dengan niat yang jelas: semoga kesalahan, atau kejahatannya tak terbukti. Kebangetan memang. Tapi siapa berani mengingkari kenyataan getir: menggunakan instrumen agama, bahkan agama itu sendiri, untuk melanggar agama?
Bagaimana rohaniwan menempatkan perkara ini di dalam perspektif moral? Adakah moral kita masih utuh, atau sudah demikian compang-camping? Bagaimana orang-orang yang berpakaian begitu rapi, dan bersih dilihat dari tampilan luarnya, serta wangi aromanya,yang menggambarkan kesan ”religius”, dengan kelengkapan tasbihnya, bahkan ”umrah-umrah” dan ”haji”nya yang rutin ke tanah suci, tapi mereka berbuat jahat, dan membela diri dengan segenap simbol agama? Mengapa ada rohaniwan yang bersedia menjadi guru, penasihat bagi orangorang macam ini?
Kita, rupanya, tak memiliki keterampilan untuk hidup dalam iklim ”modern” dan sekali lagi ”pos modern”, karena pada hakikatnya kita sudah parah, dan compang-camping sejak kita hidup dalam tatanan ”tradisional”, yang kolektif, tolong-menolong, ”baku sayang” dan ”baku tolong” antar sesama kita, dan bukannya individual, egoistik, dan penuh persaingan mematikan. Bahkan saingan yang sengaja ”didesain” sedemikian rupa, untuk saling membunuh, saling meniadakan.
Bukan tatanan yang salah. Bukan keadaan yang memaksa kita mengambil tindakan menyimpang. Kita yang salah. Kita mengikuti, dengan sikap tidak kritis, apa yang terjadi di sekitar kita. Lalu diam-diam, kita hanyut dalam arus deras kehidupan. Kita tak lagi bicara kejujuran, nama baik dan kehormatan. Kejujuran sudah tergadai di dalam kehidupan yang ”dangkal”, ”murah”, dan ”kosong”. Tapi ”rapi jali” bungkusnya: busana, kesan religius, dan kesalehan, lengkap dengan tasbih yang pura-pura dikalungkan di leher—tapi sengaja ditonjolkan”, sehingga orang lain bisa melihatnya.
Dan memang itu tujuannya. Dan bukan untuk meraih apa yang sejati dalam iman, dalam amal, dan ketulusan, yang tak boleh dipamerkan, karena apa gunanya pamer, bila kita tahu, tak adanya ketulusan membuat amal dan apa yang bernama kebaikan, lenyap dalam kabut pagi yang ditimpa sinar matahari? Kita membunuh kekayaan ”tradisi” dan segenap ”kearifan” lokal yang berharga, dan menggantinya dengan”gaya” hidup— sekali lagi hanya ”gaya” hidup— yang dungu, dangkal, dan hampa, dan tak memberi apa-apa bagi hidup ini.
Dengan segenap” gaya” macam itu, kita jauh dari kejujuran, usaha membikin nama baik dan harga diri. Harga diri, atau kehormatan macam apa yang hendak kita raih bila cara dan esensi hidup kita memang dijauhkan dari harga, kecuali untuk sekadar ”gaya-gayaan” di media, yang juga tak punya kiblat yang harus dijaga? ●
Alhamdulillah. Ini tanda kesehatan jiwa masyarakat. Setidaknya sebagian warga masyarakat. Bahkan bisa lebih mulai dari itu. Nama baik itu penting. Kehormatan diri, rasa bangga, dan gengsi keluarga, berkisar di sekitar nama baik itu. Bila kehormatan tercoreng, nama baik dinodai orang, jangan tanya, orang Bugis siap membela diri dengan pertaruhan apapun, termasuk jiwanya. Hidup bukan hidup lagi bila kehormatan tergores. Bahkan bila goresan itu hanya kecil. Noda bagi nama baik, sama dengan goresan terhadap jiwa dan kehormatan diri, kehormatan keluarga, etnis, dan kelompok besarnya.
Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pembalasan harus dilakukan. Tapi jangan salah, bukan terutama karena dendam sebagai dendam yang ada di baliknya, melainkan tindakan dan upaya tidak mudah, buat memulihkan kehormatan itu. Manusia tanpa kehormatan, bagi masyarakat Bugis, dianggap tak ada lagi artinya. Kurang lebih, apa yang dikenal sebagai ”siri” di dalam kebudayaan masyarakat tersebut,yang untuk membelanya orang rela bertaruh nyawa, bahkan bila kematianlah yang terjadi, mereka merasa mati dalam keterhormatan, dengan rasa bangga.
Termasuk bagi mereka yang ditinggalkan. Etika ”kesatriaan” Bugis memang luar biasa. Cara menjaganya pun luar biasa. Orang-orang lain, yang datang dari luar etnis itu, menaruh respek dan rasa hormat, setinggi-tingginya. Kata, dan badik, merupakan dua kekuatan penjaga setia terhadap kehormatan, harga diri, dan nama baik. Orang Jawa, yang kelihatannya selalu tersenyum dalam segala cuaca itu, juga bicara mengenai etika kesatriaan, dan meluhurkan etika itu setidaknya seperti sama tingginya dengan orang Bugis menjaga apa yang disebut ”siri” tadi.
Jika hak milik diganggu, kehormatan terancam noda, maka orang Jawa bicara mengenai ungkapan ”sedumuk bathuk, senyari bumi”, dengan kesiapan yang sama seperti ketika orang Bugis sudah menggenggam badik. ”Sedumuk bathuk” itu kehormatan, atau harga diri, yang pantang dinodai. ”Senyari bumi” yang secara harfiah artinya sejengkal tanah, dengan tekanan pada ”hak milik”, yang wajib dipertahankan, dan dibela, dengan bayaran apapun. Idiom ”sedumuk bathuk, senyari bumi” itu idiom kemarahan, sikap ”waspada”, atau ”siaga” menghadapi pihak lain yang dianggap menjadi sumber gangguan.
Hidup Jawa yang serba mengutamakan suasana batiniah dan sosial: hidup harmonis, bukan harmoni ”kuburan” yang senyap. Pertengkaran, hiruk-pikuk dan segenap kegaduhan, maupun kerusuhan, yang melibatkan kekerasan dijauhi. Tapi bila harmoni yang dicita- citakan terancam, apa boleh buat. Kerusuhan yang ”terpaksa” demi membela kebutuhan untuk harmonis,mungkin diterima.
Ini kekayaan tradisi, dan wujud kearifan lokal membuat kita, berbagai etnis di seluruh kawasan Nusantara, memiliki corak kehormatannya sendirisendiri, khas, unik, dan berbeda dari yang lain, tetapi esensinya sama: untuk menjadi terhormat, dan memiliki harga diri, ada banyak mekanisme ”adat’, mekanisme ”tradisi”, yang mungkin”lokal”, yang diajarkan dalam hidup, melalui bingkai kebudayaan.
Dan kita, pendukung setia corak-corak tradisi dalam budaya itu, menjadi ”murid” yang tak habis-habisnya belajar untuk menjadi diri sendiri. *** Pergeseran hidup, dari apa yang bercorak ”tradisional” ke ”modern”—bahkan ke kondisi ”pos modern”—betapa tertatihtatihnya langkah kita. Sebentarsebentar kita terantuk batu dan jatuh. Dan sebentar-sebentar kita dibuat sadar, betapa tak cocoknya tatanan ”modern”— apalagi yang ”pos modern”—dengan milik kita, yang serba ”tradisional” itu. Tapi tak berarti bahwa apa yang ”tradisional” itu merupakan barang ”terkutuk”, yang wajib dijauhi, dan dibuang.
Dalam banyak sekali persoalan, kita justru harus menemukannya kembali untuk melengkapi atau ”mempersenjatai” diri, menghadapi tuntutan hidup yang keras, dan banyak godaannya. Lalu kita bertemu dengan godaan materi, duit, kekuasaan, dan segenap aksesori ”modern” yang melengkapi kekuasaan itu. Aksesori itu mungkin agama, dengan segenap doa, zikir, dan amalanamalan yang menggambarkan diri kita ini pribadi yang ”saleh”, ”khusyuk”, ”religius”. Kita memakai pakaian yang mendukung untuk meneguhkan aksesori kesalehan tadi.
Dan tak jarang orang, secara demonstratif, dan tak tahu malu, memuntir-muntir tasbih, di suatu sidang pengadilan, atau di suatu acara dengar pendapat yang disorot televisi dan disaksikan oleh warga negara di seluruh pelosok tanah air, dengan niat yang jelas: semoga kesalahan, atau kejahatannya tak terbukti. Kebangetan memang. Tapi siapa berani mengingkari kenyataan getir: menggunakan instrumen agama, bahkan agama itu sendiri, untuk melanggar agama?
Bagaimana rohaniwan menempatkan perkara ini di dalam perspektif moral? Adakah moral kita masih utuh, atau sudah demikian compang-camping? Bagaimana orang-orang yang berpakaian begitu rapi, dan bersih dilihat dari tampilan luarnya, serta wangi aromanya,yang menggambarkan kesan ”religius”, dengan kelengkapan tasbihnya, bahkan ”umrah-umrah” dan ”haji”nya yang rutin ke tanah suci, tapi mereka berbuat jahat, dan membela diri dengan segenap simbol agama? Mengapa ada rohaniwan yang bersedia menjadi guru, penasihat bagi orangorang macam ini?
Kita, rupanya, tak memiliki keterampilan untuk hidup dalam iklim ”modern” dan sekali lagi ”pos modern”, karena pada hakikatnya kita sudah parah, dan compang-camping sejak kita hidup dalam tatanan ”tradisional”, yang kolektif, tolong-menolong, ”baku sayang” dan ”baku tolong” antar sesama kita, dan bukannya individual, egoistik, dan penuh persaingan mematikan. Bahkan saingan yang sengaja ”didesain” sedemikian rupa, untuk saling membunuh, saling meniadakan.
Bukan tatanan yang salah. Bukan keadaan yang memaksa kita mengambil tindakan menyimpang. Kita yang salah. Kita mengikuti, dengan sikap tidak kritis, apa yang terjadi di sekitar kita. Lalu diam-diam, kita hanyut dalam arus deras kehidupan. Kita tak lagi bicara kejujuran, nama baik dan kehormatan. Kejujuran sudah tergadai di dalam kehidupan yang ”dangkal”, ”murah”, dan ”kosong”. Tapi ”rapi jali” bungkusnya: busana, kesan religius, dan kesalehan, lengkap dengan tasbih yang pura-pura dikalungkan di leher—tapi sengaja ditonjolkan”, sehingga orang lain bisa melihatnya.
Dan memang itu tujuannya. Dan bukan untuk meraih apa yang sejati dalam iman, dalam amal, dan ketulusan, yang tak boleh dipamerkan, karena apa gunanya pamer, bila kita tahu, tak adanya ketulusan membuat amal dan apa yang bernama kebaikan, lenyap dalam kabut pagi yang ditimpa sinar matahari? Kita membunuh kekayaan ”tradisi” dan segenap ”kearifan” lokal yang berharga, dan menggantinya dengan”gaya” hidup— sekali lagi hanya ”gaya” hidup— yang dungu, dangkal, dan hampa, dan tak memberi apa-apa bagi hidup ini.
Dengan segenap” gaya” macam itu, kita jauh dari kejujuran, usaha membikin nama baik dan harga diri. Harga diri, atau kehormatan macam apa yang hendak kita raih bila cara dan esensi hidup kita memang dijauhkan dari harga, kecuali untuk sekadar ”gaya-gayaan” di media, yang juga tak punya kiblat yang harus dijaga? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar