|
Pemerintah pusat menyebut proyek yang
mereka luncurkan sebagai mobil murah yang ramah lingkungan atau low cost green car (LCGC). Satu di
antara enam tujuannya adalah mendukung program pengurangan emisi, seperti
cita-cita Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengembangkan pembangunan pro-environment. Proyek ini menimbulkan
banyak penolakan, sehingga membutuhkan penjelasan. Berkaitan dengan lingkungan
hidup, setidaknya ada empat pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Pertanyaan pertama, bagaimana penambahan mobil akan mendukung pengurangan emisi karbon? Indonesia akan mengurangi emisi 26 persen atas usaha sendiri atau 41 persen dibantu negara lain pada 2020 mengacu tingkat emisi 1990. Pada tingkat 26 persen, sektor transportasi menyumbang 4,95 persen atau setara 0,0038 gigaton pengurangan emisi. Bila produksi mobil murah akhir 2014 ditargetkan 120 ribu unit, dan target ekspor sekitar 25 ribu unit, berarti ada tambahan mobil sekitar 95 ribu unit di jalan. Selama masa pakai mobil itu, mitigasi apa yang akan dilakukan pemerintah setiap tahun untuk mengkompensasi emisinya?
Dalam soal emisi, dikenal skenario business as usual, alias membandingkan dengan tingkat emisi tanpa LCGC. Karena diklaim irit, mobil murah ini diyakini mengemisikan karbon jauh lebih rendah dibanding non-LCGC. Tapi skenario ini mengandaikan semua orang membeli LCGC. Bagaimana jika yang terjadi adalah penjualan kedua jenis mobil itu naik? Bagaimana jika pembeli LCGC adalah pembeli baru, sedangkan yang lama tetap membeli mobil lain yang lebih boros bahan bakar?
Pertanyaan kedua, kenapa mobil ini diklaim ramah lingkungan? Tidak mudah menyandang predikat ramah lingkungan untuk sebuah produk, apalagi diproduksi secara massal. Biasanya, analisis daur hidup (life cycle analysis) dipakai untuk menguji klaim itu. Mari ambil satu parameter saja, yaitu emisi karbon. Perhitungan emisinya akan dimulai dari bahan baku berupa batuan di perut bumi, lalu dihitung berapa emisi yang dikeluarkan untuk diolah menjadi bijih, mengubahnya menjadi satu kilogram logam, ditambah emisi saat perakitan, pengangkutan ke dealer, plus dengan total emisi yang dikeluarkan mobil selama masa pakai dan emisi yang dikeluarkan untuk menghancurkannya menjadi serpihan atau daur ulang. Tanpa perhitungan yang rigid seperti ini, klaim ramah lingkungan kurang lengkap, dan cenderung tidak memiliki basis yang kokoh.
Pertanyaan ketiga, apakah biaya eksternalitas sudah diperhitungkan? Selama ini, para pemakai mobil hanya menanggung biaya internal, seperti keausan kendaraan, pajak dan bea, biaya tol, biaya bahan bakar, yang merupakan kewajiban pribadinya. Namun biaya internal ini tidak mencerminkan kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat penggunaan mobil. Biaya yang tak dihitung ini disebut eksternalitas atau ongkos sosial, salah satunya adalah biaya lingkungan. Adanya biaya eksternalitas mencerminkan harga yang tidak lengkap, yang cenderung merugikan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi eksternalitas, semakin banyak ongkos sosial yang ditanggung masyarakat. Dalam teori ekonomi kesejahteraan (economy welfare theory), para pengguna transportasi harus membayar semua biaya sosial yang timbul sebagai akibat aktivitasnya itu.
Perhitungan ongkos lingkungan antara lain dimulai oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) yang menerbitkan panduan komponen biaya lingkungan untuk sektor transportasi pada 1996. Pada 2008, sebuah studi yang dilakukan CE Delft, konsultan asal Belanda, memasukkan biaya kemacetan, keausan infrastruktur, kecelakaan, dan biaya lingkungan sebagai ongkos sosial.
Ongkos sosial transportasi Jakarta, misalnya, disajikan dalam Study on Integrated Transportation Master Plan (SITRAMP) oleh JICA/Bappenas. Kesimpulannya, jika sampai 2020 tidak ada perbaikan pada sistem transportasi Jabodetabek, estimasi kerugian ekonomi yang terjadi sebesar Rp 28,1 triliun dan kerugian nilai waktu perjalanan mencapai Rp 36,9 triliun. Contoh lain, menurut perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup pada 2012, jumlah biaya kesehatan yang dikeluarkan akibat pencemaran udara di Jakarta mencapai Rp 38,5 triliun.
Infrastructure Partnership and Knowledge Center memperkirakan ongkos sosial kemacetan Jakarta mencapai Rp 68 triliun/tahun. Lalu, di manakah kompensasi untuk semua komponen kesejahteraan sosial yang hilang ini akan dicerminkan dalam kebijakan mobil murah? Bila perhitungan itu ditambah dengan pendapat yang sedikit menggelikan dari Menteri Perindustrian, yang mengatakan bahwa masalah kemacetan bukan karena mobil murah, melainkan pada lambatnya pertumbuhan ruas jalan, maka setiap pembangunan jalan baru harus memperhitungkan eksternalitas. Semua harga itu lalu diinternalisasi dalam komponen-komponen biaya transportasi.
Pertanyaan keempat, bagaimana merespons mobil murah? Penolakan Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) terhadap mobil murah mencerminkan posisi tawar pemerintah daerah yang menguat. Secara tersirat, Jokowi menyatakan bahwa Gubernur juga memiliki kewenangan untuk membatasi peredaran mobil itu di jalan, tapi bukan dengan melarang orang membeli mobil seperti yang disinyalir Wakil Presiden. Gubernur dapat memakai seluruh kewenangan yang ada padanya untuk mengejawantahkan sikapnya melalui peraturan daerah atau peraturan gubernur. Gubernur dengan semua kewenangannya dapat mengatur untuk mengenakan pajak progresif yang tinggi pada mobil pribadi, electronic road pricing, kewajiban parkir dalam garasi, menaikkan tarif parkir di jalan (on street) setinggi mungkin, dan memperketat serta menaikkan pajak untuk pembangunan SPBU.
Dalam konteks lingkungan hidup, tujuan dari semua kebijakan itu adalah menginternalisasi biaya-biaya eksternal (internalized externality), sehingga mencerminkan biaya riil atau "harga dengan biaya lengkap", dari sektor transportasi. Bila perlu, Jokowi "menyalip" peluncuran mobil murah ini dengan kebijakannya.
Pada saat yang bersamaan, Jokowi harus memastikan moda transportasi publik seperti busway dan MRT tepat waktu, anti-macet, nyaman, aman, dan cukup jumlah armadanya, serta memberi insentif kepada pengusaha penyelenggara jasa angkutan umum dan meremajakan angkutan umum perkotaan. Untuk mencapai tujuan utama memindahkan orang dan bukan mobil, Jokowi-Ahok tidak boleh berpaling dari pendukung utamanya, yaitu transportasi publik. ●
Pertanyaan pertama, bagaimana penambahan mobil akan mendukung pengurangan emisi karbon? Indonesia akan mengurangi emisi 26 persen atas usaha sendiri atau 41 persen dibantu negara lain pada 2020 mengacu tingkat emisi 1990. Pada tingkat 26 persen, sektor transportasi menyumbang 4,95 persen atau setara 0,0038 gigaton pengurangan emisi. Bila produksi mobil murah akhir 2014 ditargetkan 120 ribu unit, dan target ekspor sekitar 25 ribu unit, berarti ada tambahan mobil sekitar 95 ribu unit di jalan. Selama masa pakai mobil itu, mitigasi apa yang akan dilakukan pemerintah setiap tahun untuk mengkompensasi emisinya?
Dalam soal emisi, dikenal skenario business as usual, alias membandingkan dengan tingkat emisi tanpa LCGC. Karena diklaim irit, mobil murah ini diyakini mengemisikan karbon jauh lebih rendah dibanding non-LCGC. Tapi skenario ini mengandaikan semua orang membeli LCGC. Bagaimana jika yang terjadi adalah penjualan kedua jenis mobil itu naik? Bagaimana jika pembeli LCGC adalah pembeli baru, sedangkan yang lama tetap membeli mobil lain yang lebih boros bahan bakar?
Pertanyaan kedua, kenapa mobil ini diklaim ramah lingkungan? Tidak mudah menyandang predikat ramah lingkungan untuk sebuah produk, apalagi diproduksi secara massal. Biasanya, analisis daur hidup (life cycle analysis) dipakai untuk menguji klaim itu. Mari ambil satu parameter saja, yaitu emisi karbon. Perhitungan emisinya akan dimulai dari bahan baku berupa batuan di perut bumi, lalu dihitung berapa emisi yang dikeluarkan untuk diolah menjadi bijih, mengubahnya menjadi satu kilogram logam, ditambah emisi saat perakitan, pengangkutan ke dealer, plus dengan total emisi yang dikeluarkan mobil selama masa pakai dan emisi yang dikeluarkan untuk menghancurkannya menjadi serpihan atau daur ulang. Tanpa perhitungan yang rigid seperti ini, klaim ramah lingkungan kurang lengkap, dan cenderung tidak memiliki basis yang kokoh.
Pertanyaan ketiga, apakah biaya eksternalitas sudah diperhitungkan? Selama ini, para pemakai mobil hanya menanggung biaya internal, seperti keausan kendaraan, pajak dan bea, biaya tol, biaya bahan bakar, yang merupakan kewajiban pribadinya. Namun biaya internal ini tidak mencerminkan kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat penggunaan mobil. Biaya yang tak dihitung ini disebut eksternalitas atau ongkos sosial, salah satunya adalah biaya lingkungan. Adanya biaya eksternalitas mencerminkan harga yang tidak lengkap, yang cenderung merugikan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi eksternalitas, semakin banyak ongkos sosial yang ditanggung masyarakat. Dalam teori ekonomi kesejahteraan (economy welfare theory), para pengguna transportasi harus membayar semua biaya sosial yang timbul sebagai akibat aktivitasnya itu.
Perhitungan ongkos lingkungan antara lain dimulai oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) yang menerbitkan panduan komponen biaya lingkungan untuk sektor transportasi pada 1996. Pada 2008, sebuah studi yang dilakukan CE Delft, konsultan asal Belanda, memasukkan biaya kemacetan, keausan infrastruktur, kecelakaan, dan biaya lingkungan sebagai ongkos sosial.
Ongkos sosial transportasi Jakarta, misalnya, disajikan dalam Study on Integrated Transportation Master Plan (SITRAMP) oleh JICA/Bappenas. Kesimpulannya, jika sampai 2020 tidak ada perbaikan pada sistem transportasi Jabodetabek, estimasi kerugian ekonomi yang terjadi sebesar Rp 28,1 triliun dan kerugian nilai waktu perjalanan mencapai Rp 36,9 triliun. Contoh lain, menurut perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup pada 2012, jumlah biaya kesehatan yang dikeluarkan akibat pencemaran udara di Jakarta mencapai Rp 38,5 triliun.
Infrastructure Partnership and Knowledge Center memperkirakan ongkos sosial kemacetan Jakarta mencapai Rp 68 triliun/tahun. Lalu, di manakah kompensasi untuk semua komponen kesejahteraan sosial yang hilang ini akan dicerminkan dalam kebijakan mobil murah? Bila perhitungan itu ditambah dengan pendapat yang sedikit menggelikan dari Menteri Perindustrian, yang mengatakan bahwa masalah kemacetan bukan karena mobil murah, melainkan pada lambatnya pertumbuhan ruas jalan, maka setiap pembangunan jalan baru harus memperhitungkan eksternalitas. Semua harga itu lalu diinternalisasi dalam komponen-komponen biaya transportasi.
Pertanyaan keempat, bagaimana merespons mobil murah? Penolakan Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) terhadap mobil murah mencerminkan posisi tawar pemerintah daerah yang menguat. Secara tersirat, Jokowi menyatakan bahwa Gubernur juga memiliki kewenangan untuk membatasi peredaran mobil itu di jalan, tapi bukan dengan melarang orang membeli mobil seperti yang disinyalir Wakil Presiden. Gubernur dapat memakai seluruh kewenangan yang ada padanya untuk mengejawantahkan sikapnya melalui peraturan daerah atau peraturan gubernur. Gubernur dengan semua kewenangannya dapat mengatur untuk mengenakan pajak progresif yang tinggi pada mobil pribadi, electronic road pricing, kewajiban parkir dalam garasi, menaikkan tarif parkir di jalan (on street) setinggi mungkin, dan memperketat serta menaikkan pajak untuk pembangunan SPBU.
Dalam konteks lingkungan hidup, tujuan dari semua kebijakan itu adalah menginternalisasi biaya-biaya eksternal (internalized externality), sehingga mencerminkan biaya riil atau "harga dengan biaya lengkap", dari sektor transportasi. Bila perlu, Jokowi "menyalip" peluncuran mobil murah ini dengan kebijakannya.
Pada saat yang bersamaan, Jokowi harus memastikan moda transportasi publik seperti busway dan MRT tepat waktu, anti-macet, nyaman, aman, dan cukup jumlah armadanya, serta memberi insentif kepada pengusaha penyelenggara jasa angkutan umum dan meremajakan angkutan umum perkotaan. Untuk mencapai tujuan utama memindahkan orang dan bukan mobil, Jokowi-Ahok tidak boleh berpaling dari pendukung utamanya, yaitu transportasi publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar