|
AMERIKA Serikat kini sedang
menyandera perekonomian dunia. Sejak 1 Oktober 2013, utang pemerintah federal
AS sudah mencapai 16,7 triliun dollar AS, yakni ambang batas tertinggi (debt
ceiling) yang diizinkan konstitusi. Angka ini sudah melebihi produk domestik
bruto AS sebesar 16 triliun dollar AS, yang masih nomor satu di dunia, jauh
melebihi China (8,5 triliun dollar AS) dan Jepang (6 triliun dollar AS).
Kemelut
anggaran ini sudah pernah terjadi pada 2011, ketika utang Pemerintah AS mulai
menabrak plafon. Namun, pada saat itu pemerintah dan Kongres bersepakat bahwa
plafon utang diizinkan untuk ditambah, agar perekonomian AS bisa mendapat
stimulus fiskal. Keputusan ini sangat rasional mengingat AS masih menanggung
krisis ekonomi yang berlanjut sejak krisis subprime mortgage yang
mendera Wall Street sejak September 2008.
Tatkala krisis
berkecamuk, yang bisa dilakukan Pemerintah AS adalah memberi stimulus melalui
dua jalur: moneter dan fiskal. Teori dan pengalaman selama ini mengajarkan,
jalur moneter dapat dikategorikan jalur cepat karena kebijakan moneter biasanya
sensitif untuk dapat segera mengubah situasi. Stimulus dilakukan dengan
menurunkan suku bunga. Suku bunga acuan bank sentral AS (Fed Rate) diturunkan
bertahap dari 6,5 persen hingga 0,25 persen.
Kebijakan ini
diikuti dengan pencetakan uang (printing money), yang dananya dipakai membeli
surat-surat berharga yang berbasiskan kredit perumahan (mortgage-backed
securities). Langkah ini diperlukan karena pada saat harga surat-surat berharga
berguguran pada September 2008, terjadi pula aksi jual terhadap obligasi
Pemerintah AS, terutama yang berjangka pendek (Treasury bills). Supaya harga
tidak jatuh, bank sentral AS (The Fed) ”memasang badan” untuk menjadi
pembelinya. Dananya dari cetak uang.
Kurang efektif
Pada November
2008, The Fed memulai operasinya dengan membeli surat berharga senilai 600
miliar dollar AS. Operasi ini disebut quantitative easing (QE), atau
kebijakan likuiditas longgar. Tujuannya menstabilkan harga surat berharga. Ini
berlanjut dengan QE-2, juga 600 miliar dollar AS, pada 2011.
Masih belum
cukup, diluncurkanlah QE-3 pada September 2012, dengan volume 40 miliar dollar
AS per bulan. Selanjutnya, volumenya kembali dinaikkan menjadi 85 miliar dollar
AS per bulan pada Desember 2012. Merasa ada tanda-tanda ekonomi AS membaik,
Kepala The Fed Ben S Bernanke berencana mengurangi dosis QE dengan 10 miliar
dollar AS (tapering off). Wacana ini disambut dengan euforia kenaikan kurs
dollar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Tiga negara Asia yang mata uangnya
terdepresiasi paling dalam adalah Jepang, India, dan Indonesia.
Fiskal jadi tumpuan
Euforia
penguatan dollar AS ini sebenarnya juga berdampak negatif bagi AS.
Barang-barang AS menjadi lebih mahal, turis asing ke AS juga bisa lesu karena
mahalnya biaya hidup. Kemungkinan inilah yang saya duga ikut mendorong Bernanke
batal melakukan tapering off pada bulan lalu. Sayangnya, kedua
kebijakan moneter ini (penurunan suku bunga dan pencetakan uang) tidak
sepenuhnya sukses. Penurunan suku bunga mestinya bisa mendorong kenaikan
konsumsi dan investasi, tetapi ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Tingkat kepercayaan
yang rendah dari para pelaku ekonomi menyebabkan kebijakan moneter kurang
sukses.
Oleh karena
itu, kebijakan fiskal menjadi tumpuan harapan lain. Dalam keadaan krisis,
anggaran pemerintah federal harus didorong ekspansif. Konsekuensinya, defisit
APBN akan meningkat. Dari mana dana defisit itu berasal? Pemerintah pun
menambah utang melalui instrumen T-bills (obligasi jangka pendek) dan T-bonds(jangka
panjang).
Dalam
perkembangannya, Presiden Barack Obama kemudian mempunyai ide untuk memperbaiki
skema kesejahteraan rakyatnya (welfare state), terutama dalam hal kesehatan
(Medicare). Niat baik ini dicurigai oposisi (Partai Republik) sebagai langkah
untuk menaikkan popularitas dirinya dan Partai Demokrat. Untuk mencegahnya,
Partai Republik yang menguasai parlemen menentang kenaikan anggaran pemerintah
yang berarti plafon utang pemerintah 16,7 triliun dollar AS. Ketika izin tidak
diperoleh dari parlemen, sesuai konstitusi, anggaran pemerintah pun berhenti
mengalir. Sebagian layanan publik pun terhenti secara paksa (shut down).
Sebenarnya ada
argumentasi yang agak masuk akal dari upaya oposisi untuk mengontrol utang
Pemerintah AS agar tidak berlebihan. Krisis zona euro berawal dari utang
Pemerintah Yunani yang mencapai 160 persen terhadap PDB. Yunani juga banyak
menjalankan program ”negara sejahtera” yang dibiayai utang pemerintah.
Belakangan, dosisnya kebablasan.
Rakyatnya
terlalu ”dimanjakan” oleh skema kesehatan, pensiun, dan pensiun dini yang amat
menyenangkan. Akibatnya, pemerintah akhirnya tidak mampu membayar utang.
Beruntung Yunani ditalangi negara-negara zona euro yang dipimpin Jerman. Dengan
utang 300 miliar euro, Yunani mendapat talangan 210 miliar euro. Namun,
talangan tersebut bersifat sementara, atau cuma mengurangi rasa sakit jangka
pendek, belum penyembuhan permanen. Sepanjang Yunani tidak melakukan reformasi
yang bersifat struktural, ledakan krisis masih menjadi bahaya laten di kemudian
hari.
Mungkin belajar
dari pengalaman Yunani dan zona euro, para politisi Partai Republik memilih
melakukan shut down daripada menambah utang pemerintah. Namun, shut
down juga menimbulkan komplikasi luar biasa. Kalau dibiarkan, kredibilitas
dan reputasi AS akan hancur, yang akan segera memberi efek menular ke seluruh
dunia. PDB Yunani hanya 250 miliar dollar AS, sementara PDB AS 16 triliun
dollar AS. Jika perekonomian sekecil Yunani saja sudah bisa merusak
perekonomian zona euro, kerusakan perekonomian AS pasti akan merusak
perekonomian seluruh dunia!
Lembaga
pemeringkat Fitch bahkan sudah menurunkan peringkat utang AS menjadi AAA dengan
embel-embelrating watch negative (RNW) dari sebelumnya outlook
stable. Lembaga pemeringkat lain diduga juga akan segera memberi penilaian
serupa. Jika ini dibiarkan, akan terjadi kepanikan para investor global.
Pemerintah China, yang saat ini memiliki obligasi Pemerintah AS terbesar di
dunia dengan hampir 1,3 triliun dollar AS, amat berkepentingan terhadap kemelut
fiskal AS. Jika Pemerintah AS mengalami gagal bayar, uang sebesar itu tidak
bisa ditarik. Cadangan devisanya yang kini mencatat rekor dunia 3,66 triliun AS
akan menguap tajam. Sebagai perbandingan, Indonesia diperkirakan memiliki
obligasi Pemerintah AS senilai 23 miliar dollar AS, dengan cadangan devisa saat
ini 96 miliar dollar AS.
Tak ada yang kebal
Jika para
politisi AS membiarkan shut down berlanjut, pasar finansial dunia
akan porak poranda. Surat-surat berharga akan dilepas, tetapi pembelinya tidak
ada. Oleh karena itu, harganya akan merosot tajam. Bursa efek akan mengalami
koreksi yang lebih tajam daripada koreksi 50 persen saat krisis subprime
mortgage pada September 2008. Celakanya, kepanikan di Wall Street tidak
menyebabkan dana mengalir ke negara-negara lain. Di seluruh dunia, kepanikan
juga akan terjadi karena pada prinsipnya bursa di New York seperti bejana berhubungan
terhadap bursa-bursa lain, termasuk Jakarta. Mengapa? Karena banyak investor di
New York juga berinvestasi di mana-mana. Jadi, kalau mereka panik di New York,
kepanikan yang sama juga ditularkan ke seluruh dunia.
Pendeknya,
tidak akan ada bursa atau negara mana pun yang kebal terhadap guncangan ini,
termasuk China sekalipun. Justru China yang akan terkena dampak terbesar,
karena besarnya dependensi terhadap AS, baik di pasar barang maupun pasar
finansial. Selanjutnya, merosotnya harga saham dan obligasi akan berpengaruh
terhadap kinerja emiten atau perusahaan-perusahaan yang menjual sahamnya di
bursa efek. Bayangan krisis yang sedalam Depresi Besar tahun 1930-an, atau
bahkan lebih dahsyat, sudah mulai terbayang.
Oleh karena
itu, memang tidak ada pilihan lain bagi AS untuk menghentikan shut down.
Melanjutkan kebiasaan utang Pemerintah AS adalah hal yang buruk, tetapi
menghentikannya adalah hal yang terburuk di dunia pada saat ini. Ke depannya,
pengelolaan ekonomi AS harus dirombak drastis. Dari satu sisi, Partai Republik
benar bahwa batas toleransi utang Pemerintah AS sudah mulai menyentuh batas
aman sehingga harus dikendalikan. Kalau tidak, itu hanya akan menjadi bom waktu
di kemudian hari. Namun, di sisi lain, Presiden Obama yang mengupayakan menaikkan
tarif pajak orang kaya (fiscal cliff) juga benar meski tidak mudah dijalankan.
Bagi Indonesia,
tidak ada cara lain untuk mempertahankan diri, kecuali dengan menaikkan daya
saing. Ini isu kuno, tetapi belum tertangani dengan baik. Daya saing itu
dimulai dari pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, iklim investasi
yang baik dengan dukungan birokrasi yang efisien dan ”ramah”, membasmi para
koruptor tanpa memandang bulu, serta menggenjot infrastruktur. Di tengah-tengah
pengapnya perekonomian global, saya tetap melihat adanya seberkas cahaya terang
dari dimulainya proyek mass rapid transit (MRT) dan monorel di
Jakarta. Inilah simbol keseriusan Indonesia dalam menyediakan infrastruktur,
yang harus kita jaga dan jamin kelancaran proyeknya hingga selesai, demi
membangun daya saing. Inilah jurus terakhir kita untuk dapat bertahan dari
terjangan krisis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar