Jumat, 18 Oktober 2013

Ekonomi Dunia Tersandera

Ekonomi Dunia Tersandera
A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 18 Oktober 2013


AMERIKA Serikat kini sedang menyandera perekonomian dunia. Sejak 1 Oktober 2013, utang pemerintah federal AS sudah mencapai 16,7 triliun dollar AS, yakni ambang batas tertinggi (debt ceiling) yang diizinkan konstitusi. Angka ini sudah melebihi produk domestik bruto AS sebesar 16 triliun dollar AS, yang masih nomor satu di dunia, jauh melebihi China (8,5 triliun dollar AS) dan Jepang (6 triliun dollar AS).
Kemelut anggaran ini sudah pernah terjadi pada 2011, ketika utang Pemerintah AS mulai menabrak plafon. Namun, pada saat itu pemerintah dan Kongres bersepakat bahwa plafon utang diizinkan untuk ditambah, agar perekonomian AS bisa mendapat stimulus fiskal. Keputusan ini sangat rasional mengingat AS masih menanggung krisis ekonomi yang berlanjut sejak krisis subprime mortgage yang mendera Wall Street sejak September 2008.
Tatkala krisis berkecamuk, yang bisa dilakukan Pemerintah AS adalah memberi stimulus melalui dua jalur: moneter dan fiskal. Teori dan pengalaman selama ini mengajarkan, jalur moneter dapat dikategorikan jalur cepat karena kebijakan moneter biasanya sensitif untuk dapat segera mengubah situasi. Stimulus dilakukan dengan menurunkan suku bunga. Suku bunga acuan bank sentral AS (Fed Rate) diturunkan bertahap dari 6,5 persen hingga 0,25 persen.
Kebijakan ini diikuti dengan pencetakan uang (printing money), yang dananya dipakai membeli surat-surat berharga yang berbasiskan kredit perumahan (mortgage-backed securities). Langkah ini diperlukan karena pada saat harga surat-surat berharga berguguran pada September 2008, terjadi pula aksi jual terhadap obligasi Pemerintah AS, terutama yang berjangka pendek (Treasury bills). Supaya harga tidak jatuh, bank sentral AS (The Fed) ”memasang badan” untuk menjadi pembelinya. Dananya dari cetak uang.
Kurang efektif
Pada November 2008, The Fed memulai operasinya dengan membeli surat berharga senilai 600 miliar dollar AS. Operasi ini disebut quantitative easing (QE), atau kebijakan likuiditas longgar. Tujuannya menstabilkan harga surat berharga. Ini berlanjut dengan QE-2, juga 600 miliar dollar AS, pada 2011.
Masih belum cukup, diluncurkanlah QE-3 pada September 2012, dengan volume 40 miliar dollar AS per bulan. Selanjutnya, volumenya kembali dinaikkan menjadi 85 miliar dollar AS per bulan pada Desember 2012. Merasa ada tanda-tanda ekonomi AS membaik, Kepala The Fed Ben S Bernanke berencana mengurangi dosis QE dengan 10 miliar dollar AS (tapering off). Wacana ini disambut dengan euforia kenaikan kurs dollar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Tiga negara Asia yang mata uangnya terdepresiasi paling dalam adalah Jepang, India, dan Indonesia.
Fiskal jadi tumpuan
Euforia penguatan dollar AS ini sebenarnya juga berdampak negatif bagi AS. Barang-barang AS menjadi lebih mahal, turis asing ke AS juga bisa lesu karena mahalnya biaya hidup. Kemungkinan inilah yang saya duga ikut mendorong Bernanke batal melakukan tapering off pada bulan lalu. Sayangnya, kedua kebijakan moneter ini (penurunan suku bunga dan pencetakan uang) tidak sepenuhnya sukses. Penurunan suku bunga mestinya bisa mendorong kenaikan konsumsi dan investasi, tetapi ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Tingkat kepercayaan yang rendah dari para pelaku ekonomi menyebabkan kebijakan moneter kurang sukses.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal menjadi tumpuan harapan lain. Dalam keadaan krisis, anggaran pemerintah federal harus didorong ekspansif. Konsekuensinya, defisit APBN akan meningkat. Dari mana dana defisit itu berasal? Pemerintah pun menambah utang melalui instrumen T-bills (obligasi jangka pendek) dan T-bonds(jangka panjang).
Dalam perkembangannya, Presiden Barack Obama kemudian mempunyai ide untuk memperbaiki skema kesejahteraan rakyatnya (welfare state), terutama dalam hal kesehatan (Medicare). Niat baik ini dicurigai oposisi (Partai Republik) sebagai langkah untuk menaikkan popularitas dirinya dan Partai Demokrat. Untuk mencegahnya, Partai Republik yang menguasai parlemen menentang kenaikan anggaran pemerintah yang berarti plafon utang pemerintah 16,7 triliun dollar AS. Ketika izin tidak diperoleh dari parlemen, sesuai konstitusi, anggaran pemerintah pun berhenti mengalir. Sebagian layanan publik pun terhenti secara paksa (shut down).
Sebenarnya ada argumentasi yang agak masuk akal dari upaya oposisi untuk mengontrol utang Pemerintah AS agar tidak berlebihan. Krisis zona euro berawal dari utang Pemerintah Yunani yang mencapai 160 persen terhadap PDB. Yunani juga banyak menjalankan program ”negara sejahtera” yang dibiayai utang pemerintah. Belakangan, dosisnya kebablasan.
Rakyatnya terlalu ”dimanjakan” oleh skema kesehatan, pensiun, dan pensiun dini yang amat menyenangkan. Akibatnya, pemerintah akhirnya tidak mampu membayar utang. Beruntung Yunani ditalangi negara-negara zona euro yang dipimpin Jerman. Dengan utang 300 miliar euro, Yunani mendapat talangan 210 miliar euro. Namun, talangan tersebut bersifat sementara, atau cuma mengurangi rasa sakit jangka pendek, belum penyembuhan permanen. Sepanjang Yunani tidak melakukan reformasi yang bersifat struktural, ledakan krisis masih menjadi bahaya laten di kemudian hari.
Mungkin belajar dari pengalaman Yunani dan zona euro, para politisi Partai Republik memilih melakukan shut down daripada menambah utang pemerintah. Namun, shut down juga menimbulkan komplikasi luar biasa. Kalau dibiarkan, kredibilitas dan reputasi AS akan hancur, yang akan segera memberi efek menular ke seluruh dunia. PDB Yunani hanya 250 miliar dollar AS, sementara PDB AS 16 triliun dollar AS. Jika perekonomian sekecil Yunani saja sudah bisa merusak perekonomian zona euro, kerusakan perekonomian AS pasti akan merusak perekonomian seluruh dunia!
Lembaga pemeringkat Fitch bahkan sudah menurunkan peringkat utang AS menjadi AAA dengan embel-embelrating watch negative (RNW) dari sebelumnya outlook stable. Lembaga pemeringkat lain diduga juga akan segera memberi penilaian serupa. Jika ini dibiarkan, akan terjadi kepanikan para investor global. Pemerintah China, yang saat ini memiliki obligasi Pemerintah AS terbesar di dunia dengan hampir 1,3 triliun dollar AS, amat berkepentingan terhadap kemelut fiskal AS. Jika Pemerintah AS mengalami gagal bayar, uang sebesar itu tidak bisa ditarik. Cadangan devisanya yang kini mencatat rekor dunia 3,66 triliun AS akan menguap tajam. Sebagai perbandingan, Indonesia diperkirakan memiliki obligasi Pemerintah AS senilai 23 miliar dollar AS, dengan cadangan devisa saat ini 96 miliar dollar AS.
Tak ada yang kebal
Jika para politisi AS membiarkan shut down berlanjut, pasar finansial dunia akan porak poranda. Surat-surat berharga akan dilepas, tetapi pembelinya tidak ada. Oleh karena itu, harganya akan merosot tajam. Bursa efek akan mengalami koreksi yang lebih tajam daripada koreksi 50 persen saat krisis subprime mortgage pada September 2008. Celakanya, kepanikan di Wall Street tidak menyebabkan dana mengalir ke negara-negara lain. Di seluruh dunia, kepanikan juga akan terjadi karena pada prinsipnya bursa di New York seperti bejana berhubungan terhadap bursa-bursa lain, termasuk Jakarta. Mengapa? Karena banyak investor di New York juga berinvestasi di mana-mana. Jadi, kalau mereka panik di New York, kepanikan yang sama juga ditularkan ke seluruh dunia.
Pendeknya, tidak akan ada bursa atau negara mana pun yang kebal terhadap guncangan ini, termasuk China sekalipun. Justru China yang akan terkena dampak terbesar, karena besarnya dependensi terhadap AS, baik di pasar barang maupun pasar finansial. Selanjutnya, merosotnya harga saham dan obligasi akan berpengaruh terhadap kinerja emiten atau perusahaan-perusahaan yang menjual sahamnya di bursa efek. Bayangan krisis yang sedalam Depresi Besar tahun 1930-an, atau bahkan lebih dahsyat, sudah mulai terbayang.
Oleh karena itu, memang tidak ada pilihan lain bagi AS untuk menghentikan shut down. Melanjutkan kebiasaan utang Pemerintah AS adalah hal yang buruk, tetapi menghentikannya adalah hal yang terburuk di dunia pada saat ini. Ke depannya, pengelolaan ekonomi AS harus dirombak drastis. Dari satu sisi, Partai Republik benar bahwa batas toleransi utang Pemerintah AS sudah mulai menyentuh batas aman sehingga harus dikendalikan. Kalau tidak, itu hanya akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Namun, di sisi lain, Presiden Obama yang mengupayakan menaikkan tarif pajak orang kaya (fiscal cliff) juga benar meski tidak mudah dijalankan.
Bagi Indonesia, tidak ada cara lain untuk mempertahankan diri, kecuali dengan menaikkan daya saing. Ini isu kuno, tetapi belum tertangani dengan baik. Daya saing itu dimulai dari pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, iklim investasi yang baik dengan dukungan birokrasi yang efisien dan ”ramah”, membasmi para koruptor tanpa memandang bulu, serta menggenjot infrastruktur. Di tengah-tengah pengapnya perekonomian global, saya tetap melihat adanya seberkas cahaya terang dari dimulainya proyek mass rapid transit (MRT) dan monorel di Jakarta. Inilah simbol keseriusan Indonesia dalam menyediakan infrastruktur, yang harus kita jaga dan jamin kelancaran proyeknya hingga selesai, demi membangun daya saing. Inilah jurus terakhir kita untuk dapat bertahan dari terjangan krisis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar