Kamis, 24 Oktober 2013

Dekriminalisasi Penyalah Guna Narkoba

Dekriminalisasi Penyalah Guna Narkoba
Anang Iskandar  ;  Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia
KOMPAS, 24 Oktober 2013


DEKRIMINALISASI penyalah guna narkotika merupakan model penghukuman nonkriminal sebagai salah satu paradigma hukum modern, yang bertujuan menekan suplai narkotika ilegal, dan diharapkan mempercepat penyelesaian masalah narkotika di Indonesia.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penyalah guna narkotika wajib direhabilitasi. Penyalah guna adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan. Ini diperkuat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang penempatan penyalah guna, bahwa korban penyalah guna dan pencandu narkotika ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Dengan demikian, penyalah guna adalah korban kejahatan narkotika.

Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, 30 Maret 1961, menghasilkan Single Convention Narcotic Drugs 1961 dan selanjutnya dalam sidang PBB di Vienna tahun 1972, konvensi ini diubah dengan Protokol 1971. Pada konvensi ini setiap negara diharuskan mencegah dan merehabilitasi penyalahgunaan narkotika dengan cara edukasi, perawatan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Sidang PBB Tahun 1988 di Vienna menyepakati bahwa penyalah guna mendapat sanksi alternatif selain pidana penjara. Sanksi alternatif tersebut dapat berupa perawatan, edukasi, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.

Konvensi-konvensi Internasional tersebut telah diratifikasi melalui UU Narkotika Nomor 9 Tahun 1976, kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 22 Tahun 1997 selanjutnya diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2009 yang saat ini berlaku, memosisikan penyalah guna sebagai korban yang perlu mendapatkan perawatan.

Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, salah satu tujuannya yang tercantum dalam Pasal 4 adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pencandu narkotika. Namun, fakta di lapangan, para penyalah guna dan pencandu narkotika dihukum penjara.

Terapi lebih baik

Mengacu tiga peneliti di Portugal, Fatima Trigueros, Paula Victoria, dan Lucia Diaz, mereka menyimpulkan penyalah guna narkoba ”lebih baik di terapi daripada dihukum”.

Justin B Shapiro, yang juga melakukan penelitian tahun 2010 di Meksiko, berkesimpulan, ”Menuntut para penyalah guna dan pencandu narkotika akan menghambur-hamburkan sumber daya penegakan hukum serta mendorong timbulnya korupsi bagi penegak hukum”.

Dekriminalisasi penyalah guna narkotika telah dipraktikkan di beberapa negara. Di Belanda, kepemilikan semua jenis narkotika adalah pelanggaran, tetapi kepemilikan dengan jumlah kecil untuk kepentingan pribadi hanya pelanggaran ringan. Penyalahgunaan narkotika untuk pribadi ditoleransi penegak hukum dan ada izin penjualan di coffee shop di Red Line District. Dekriminalisasi model ini menurunkan pengguna narkotika pemula dan penggunaan hard drugs.

Di Portugal, dekriminalisasi penyalah guna narkotika diatur dalam Undang-Undang Narkotika Portugal Pasal 2 (1). Pembelian, kepemilikan, dan penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi selama 10 hari merupakan pelanggaran administrasi, apabila kepemilikan melebihi batas pemakaian selama 10 hari, secara hukum pemilik narkotika adalah pengedar.

Penyalahgunaan narkotika tetap dilarang. Dampak dari dekriminalisasi di Portugal adalah penurunan angka penggunaan narkotika usia produktif, penurunan ketertarikan penggunaan narkotika, penurunan peredaran narkotika, maupun pengidap HIV, hepatitis, dan kematian akibat penggunaan narkotika.

Saat ini ada sekitar 23.779 warga binaan pemasyarakatan merupakan penyalah guna narkotika yang menjalani hukuman pidana. Hal ini terjadi akibat penyalah guna narkotika diputus hukuman pidana, padahal hakim dapat memutuskan hukuman berupa tindakan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika.

Faktor kontekstual lain yang memengaruhi penyalah guna/pengguna mendapat hukuman pidana adalah para penegak hukum yang khusus menangani penyalahgunaan narkotika tidak mengacu pada ”roh” UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Padahal, tujuan dibentuknya undang-undang tercantum dalam Pasal 4 yang menjamin pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pencandu narkotika.

Peran penting hakim

UU Nomor 35 Tahun 2009 tentan Narkotika mengatur double track system pemidanaan, yaitu hakim dapat memutuskan hukuman pidana penjara dan dapat memutuskan tindakan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika. Hakim berperan sangat penting—sesuai amanat UU—untuk melakukan dekriminalisasi sehingga permintaan berkurang. Langkah ini bisa mengurangi suplai yang berdampak pada penanggulangan masalah narkoba di Indonesia.

Kerangka hukum dekriminalisasi dalam hukum positif di Indonesia termaktub secara limitatif dalam undang-undang, tetapi belum dapat dioperasionalkan karena belum ada mekanisme hukum yang membedakan secara operasional klasifikasi penyalah guna narkotika.

Implementasi dekriminalisasi penyalah guna narkotika di Indonesia masih terkendala adanya perbedaan penafsiran hukum, tentang unsur ”tanpa hak atau melawan hukum”, budaya hukum, dan pemahaman terhadap tujuan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap penyalah guna narkotika. Akibatnya, penyalah guna dikonstruksi dengan pasal di luar pasal pengguna (Pasal 127) yang berorientasi pada bukan tindakan rehabilitasi.

Untuk memfungsikan pelaksanaan dekriminalisasi penyalah guna narkotika di Indonesia agar negeri kita bebas narkoba, disarankan pembentukan mekanisme hukum berupa tim kecil di tiap kabupaten/kota, provinsi, dan tingkat pusat yang beranggotakan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Koordinator Drug Control Policy. Tugas dan kewenangan tim kecil ialah menentukan peran tersangka yang tertangkap tangan atas permintaan penyidik Polri dan BNN, menentukan kriteria pencandu sesuai jenis kandungan yang dikonsumsi, kondisi ketika ditangkap dan tempat mengonsumsi serta kondisi situasi ekonomi, serta menentukan rencana terapi dan jangka waktu penyalah guna direhabilitasi. Rekomendasi tim kecil bisa menjadi keterangan ahli dalam berkas perkara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar