Jumat, 18 Oktober 2013

Daya Saing Produk RI

Daya Saing Produk RI
Pande Radja Silalahi  ;  Peneliti Senior CSIS
SUARA KARYA, 16 Oktober 2013


Perkembangan daya saing Indonesia yang menurun dalam beberapa tahun belakangan ini merupakan resultante dari berbagai hal, salah satunya sebagian produk Indonesia yang dapat diekspor dianggap mampu bersaing di tingkat internasional karena harganya di tingkat pabrik lebih murah.

Di sisi lainnya, beragam produk yang dapat diproduksi di Indonesia urung dihasilkan karena berbagai hal, antara lain karena masalah transportasi, kepelabuhanan, perizinan, peraturan, dan waktu pengurusan dokumen, yang dalam kenyataannya telah menggerogoti daya saing produk-produk Indonesia di pasar internasional. Belum lagi termasuk pungutan-pungutan yang harus dipikul oleh pengusaha.

Ketidaktersediaan listrik secara memadai, sulitnya pengadaan tanah, buruknya prasarana perhubungan dan jalan, terlebih berubah-ubahnya peraturan, mengakibatkan para investor mengurungkan niatnya melakukan investasi di Indonesia. Kalau di masa lalu Indonesia dianggap sebagai negara yang paling menarik bagi para investor, dewasa ini keadaannya telah berubah walaupun masih dianggap menarik.

Dalam pertemuan APEC di Bali, baru-baru ini, dari 20 butir usulan Indonesia untuk disepakati APEC, Indonesia mengusulkan agar negara anggota APEC menurunkan tarif masuk untuk produk CPO melalui pintu produk ramah lingkungan. Dengan usulan ini, ada anggapan bahwa dengan penurunan tarif ekspor CPO Indonesia akan dapat meningkat secara berarti. Anggapan ini adalah jelas keliru.

Penurunan tarif impor CPO oleh negara importir tidak lantas berarti akan meningkatkan ekspor CPO Indonesia. Kendala utama bagi peningkatan ekspor CPO Indonesia tidak terletak pada tingginya tarif yang dikenakan oleh negara-negara importir, tetapi justru terletak pada pajak ekspor yang dikenakan kepada produk CPO.

Pajak ekspor CPO yang dikenakan di Indonesia ternyata lebih tinggi dari pajak ekspor yang dikenakan di Malaysia. Dengan perbedaan tarif ekspor tersebut, maka eksportir CPO Malaysia lebih baik kedudukannya bila dibandingkan dengan Indonesia.

Data statistik yang tersedia menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia dengan negara anggota APEC lainnya sekitar 75 persen dari seluruh perdagangan internasional Indonesia. Ini berarti Indonesia tidak mungkin meninggalkan APEC karena taruhannya adalah hilangnya sekitar 75 persen perdagangan Indonesia dan belum terhitung investasi dan kegiatan ekonomi lainnya.

Studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa sebagian besar anggota APEC, termasuk Indonesia, dalam beberapa tahun ke depan akan dapat meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia.

Dengan demikian, dapat dipahami bila dinyatakan APEC akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Dengan kata lain, bila dewasa ini porsi perdagangan APEC dalam perdagangan dunia baru sekitar 45 persen, maka akan meningkat lebih besar di masa yang akan datang. Apakah Indonesia mampu memanfaatkan momen penting ini untuk meningkatkan perekonomian nasional ke depan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar