|
Untuk memanjatkan doa kepada Tuhan, mengapa mesti pergi
berhaji jauh-jauh ke Mekkah dengan ongkos mahal? Bukankah di mana saja kita
berdoa Tuhan pasti mendengarkan?
Tentu saja semua orang yang beriman meyakini, di mana pun dan kapan pun kita berdoa, Tuhan pasti mendengarkan. Bahkan tidak diperlukan ongkos untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Kendati demikian, karena ajaran formal-ritual Islam menetapkan bahwa berhaji wajib dilaksanakan di wilayah Tanah Suci Mekkah dan waktunya pun telah ditentukan, jutaan umat Islam memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW serta mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS.
Aku, Kami, dan Kita
Rangkaian ibadah haji secara lahiriah diawali dengan niat dan menanggalkan pakaian sehari-hari, lalu mengenakan pakaian ihram yaitu kain putih yang amat sederhana. Secara psikologis, pakaian keseharian merupakan refleksi keakuan serta simbol status sosial. Ketika berhaji pakaian artifisial ini kita lepaskan. Kita berusaha melepaskan keakuan, lalu masuk pada kekamian dan kekitaan. Dalam kehidupan ini, mudah sekali orang mengidentikkan jati dirinya dengan pakaian, status sosial ataupun profesi yang disandangnya.
Terlebih lagi jika status sosial yang disandangnya itu dianggap bergengsi dan mendatangkan banyak keuntungan materi. Orang yang telah puluhan tahun menduduki jabatan tinggi di pemerintahan misalnya bisa jadi jabatan yang dipeluknya itu mempribadi dan menyatu ke dalam bawah sadarnya. Kesadaran kelas ini biasanya membias pada gaya hidup keluarganya. Sang istri lalu terlalu sadar dan bangga bahwa dirinya adalah istri pejabat tinggi.
Begitu pun anak-anak, adik, dan cucunya dengan bangga menempelkan label pada dirinya bahwa mereka adalah anggota keluarga pejabat tinggi. Tidak hanya sampai di situ, biasanya tetangganya pun ikut memperkukuh imageyang telah bertahun-tahun melekat pada keluarga itu. Implikasi psikologisnya bisa jadi seorang pejabat tinggi yang sudah lama berkuasa merasa kantor dan segala fasilitas yang ada adalah milik dirinya. Para pegawai yang ada adalah pelayan ataupun abdi dalembagi dirinya.
Pendeknya, pakaian dan status sosial yang begitu lama melekat pada seseorang secara psikologis potensial melahirkan kekuatan imperialisme yang menjajah nurani dan kefitrian seseorang yang paling polos dan mulia bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki derajat yang sama. Pakaian dan jabatan hanyalah tempelan yang setiap saat bisa lepas atau dilepas. Beberapa pejabat tinggi bahkan pakaian kebesarannya dilepas paksa oleh KPK. Yang membedakan derajatnya di hadapan Allah adalah kadar iman dan amal salehnya.
Untuk meraih kembali kesadaran eksistensial itu, seorang muslim diwajibkan pergi haji, meninggalkan rumah dan segala pekerjaan serta status sosialnya agar terbebaskan dari sifat selfcentered, sifat dan sikap yang hanya mementingkan diri sendiri. Untuk ini, ibadah haji diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari, pakaian dalam arti yang lebih dalam dan luas. Ketika seseorang memulai prosesi ibadah haji, egoisme dan berbagai kesadaran palsu harus dikubur, lalu ditumbuhkan pada dirinya kesadaran baru yaitu penghayatan akan makna kemanusiaan universal.
Masuk dalam kekitaan. Mereka datang dengan niat yang sama dan status yang sama. Tak ada yang lebih unggul di mata Allah dari yang lain kecuali karena kualitas ketakwaannya. Karena itu, ibadah haji secara psikologis merupakan upacara “kematian” dalam agar terlahir kembali dan menemukan makna dan kualitas hidup yang lebih sejati. Kematian kesadaran palsu dan sifat-sifat negatif yang antara lain ditimbulkan oleh mabuk keduniaan yang bisa merendahkan harkat kemanusiaannya.
Orbit Ilahi
Begitu siap dengan pakaian ihram, jamaah haji lalu membaca talbiah yaitu pernyataan kehadiran semata memenuhi panggilan Tuhan. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku-Engkau”, dan segala urusan duniawi ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transendental secara intens. Pikiran, perasaan, ucapan, dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah.
Ketika mengenakan pakaian ihram, seseorang tak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh becermin, tidak boleh membunuh hewan, merusak pepohonan, tidak juga melakukan hubungan seksual. Pendeknya, berbagai nafsu egoistik dan jasadi ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan mikraj, mendekati sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi yang tangguh, sebuah pribadi yang darinya terpancar sifatsifat ilahi. Upaya mendekati, bahkan memeluk Tuhan ini, lalu secara simbolik diperagakan dalam tawaf, berputar mengelilingi Kakbah.
Batu hitam (Hajar Aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan tawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah) untukmelakukanaudiensi. Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada “di seberang sana”, kampung akhirat. Dengan menjabat tangan Tuhan, seorang muslim mempertegas kembali ikrarnya bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Kekayaan, kepintaran, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga, semua, akan bermakna selama mendekatkan pemiliknya untuk meningkatkan amal kebajikannya sebagai manifestasi rasa syukuratassegalarahmat Tuhan yang dilimpahkan kepadanya. Dalam suasana batin di mana “aku” dan “Engkau”, tak ada lagi jarak yang menghalangi, seorang muslim yang tengah menunaikan ibadah haji biasanya mencurahkan segala isi hatinya untuk bersyukur, memohon ampun, pertolongan, ataupun kekuatan untuk menjalani hidup selanjutnya.
Makna dan hikmah tawaf yang sejati, oleh karena itu, adalah juga berupa tawaf menjalani siklus kehidupan dari hari ke hari ini. Sebagaimana tawaf di Mekkah, agar aktivitas seharihari ini menjadi bermakna, secara psikologis hendaknya kita mampu mengambil jarak dari rutinitas yang membelenggu. Kita transendensikan semua aktivitas ini sehingga hati nurani memiliki ketajaman untuk membedakan manakah tindakan yang bermakna dan manakah yang menggerogoti harkat kemanusiaan kita.
Wukuf (berdiam diri secara khusyuk) di Arafah yang merupakan puncak ibadah haji tak lain adalah semacam meditasi, merenungkan eksistensi dan posisi kemanusiaan kita di hadapan sang Pencipta dan alam semesta agar kita mendapatkan makrifat atau pengetahuan sejati tentang hidup dan pemilik kehidupan. Dengan wukuf, seorang muslim diharapkan mendapatkan the wisdom of life sehingga ketika kembali ke Tanah Air masing-masing telah terlahir kembali sebagai manusia baru yang penuh kearifan hidup.
Haji dan Kritik Sosial
Demikianlah, di samping prosesi ibadah haji merupakan kewajiban agama, sesungguhnya di balik ritual haji yang sarat simbol itu juga tersimpan banyak sekali pesan sosial untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara esensial dan fungsional, berbagai pesan dan sasaran ibadah haji ialah agar kita menang (menundukkan nafsu) dalam pergulatan hidup sehari-hari sehingga meraih makna dan prestasi hidup yang sejati.
Di antara pesan ibadah haji yang fundamental adalah agar seorang muslim menumbuhkan etos pengorbanan. Itulah sebabnya hari raya haji juga disebut sebagai Hari Raya Kurban (Idul Adha). Terdapat petunjuk yang begitu kuat bahwa masyarakat kita dilanda krisis semangat pengorbanan. Sebaliknya, yang ada adalah semangat untuk mengambil (to take) bukan memberi (to give). Lebih parah lagi kalau yang diambil itu sesuatu yang bukan hak miliknya.
Karena itu, menjadi sangat ironis ketika sekian banyak koruptor itu ternyata pernah melakukan ibadah haji. Lewat drama perintah Allah agar Ibrahim menyembelih putranya tersirat sebuah pesan agar seorang pejabat tinggi hatihati terhadap anak dan keluarganya karena sangat bisa jadi demi keluarga dia akan berbuat apa saja. Nafsu seperti itulah yang harus disembelih.
Berapa banyak hak milik orang lain diambil secara tidak sah oleh orang yang sedang memegang kekuasaan (besar ataupun kecil) karena didorong oleh cinta pada anak dan keluarganyasecara tidak proporsional? Munculnya korupsi dan fenomena dinasti-isme politik akhirakhir ini mendorong kita bertanya, lalu bagaimana dengan status haji mereka? ●
Tentu saja semua orang yang beriman meyakini, di mana pun dan kapan pun kita berdoa, Tuhan pasti mendengarkan. Bahkan tidak diperlukan ongkos untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Kendati demikian, karena ajaran formal-ritual Islam menetapkan bahwa berhaji wajib dilaksanakan di wilayah Tanah Suci Mekkah dan waktunya pun telah ditentukan, jutaan umat Islam memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW serta mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS.
Aku, Kami, dan Kita
Rangkaian ibadah haji secara lahiriah diawali dengan niat dan menanggalkan pakaian sehari-hari, lalu mengenakan pakaian ihram yaitu kain putih yang amat sederhana. Secara psikologis, pakaian keseharian merupakan refleksi keakuan serta simbol status sosial. Ketika berhaji pakaian artifisial ini kita lepaskan. Kita berusaha melepaskan keakuan, lalu masuk pada kekamian dan kekitaan. Dalam kehidupan ini, mudah sekali orang mengidentikkan jati dirinya dengan pakaian, status sosial ataupun profesi yang disandangnya.
Terlebih lagi jika status sosial yang disandangnya itu dianggap bergengsi dan mendatangkan banyak keuntungan materi. Orang yang telah puluhan tahun menduduki jabatan tinggi di pemerintahan misalnya bisa jadi jabatan yang dipeluknya itu mempribadi dan menyatu ke dalam bawah sadarnya. Kesadaran kelas ini biasanya membias pada gaya hidup keluarganya. Sang istri lalu terlalu sadar dan bangga bahwa dirinya adalah istri pejabat tinggi.
Begitu pun anak-anak, adik, dan cucunya dengan bangga menempelkan label pada dirinya bahwa mereka adalah anggota keluarga pejabat tinggi. Tidak hanya sampai di situ, biasanya tetangganya pun ikut memperkukuh imageyang telah bertahun-tahun melekat pada keluarga itu. Implikasi psikologisnya bisa jadi seorang pejabat tinggi yang sudah lama berkuasa merasa kantor dan segala fasilitas yang ada adalah milik dirinya. Para pegawai yang ada adalah pelayan ataupun abdi dalembagi dirinya.
Pendeknya, pakaian dan status sosial yang begitu lama melekat pada seseorang secara psikologis potensial melahirkan kekuatan imperialisme yang menjajah nurani dan kefitrian seseorang yang paling polos dan mulia bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki derajat yang sama. Pakaian dan jabatan hanyalah tempelan yang setiap saat bisa lepas atau dilepas. Beberapa pejabat tinggi bahkan pakaian kebesarannya dilepas paksa oleh KPK. Yang membedakan derajatnya di hadapan Allah adalah kadar iman dan amal salehnya.
Untuk meraih kembali kesadaran eksistensial itu, seorang muslim diwajibkan pergi haji, meninggalkan rumah dan segala pekerjaan serta status sosialnya agar terbebaskan dari sifat selfcentered, sifat dan sikap yang hanya mementingkan diri sendiri. Untuk ini, ibadah haji diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari, pakaian dalam arti yang lebih dalam dan luas. Ketika seseorang memulai prosesi ibadah haji, egoisme dan berbagai kesadaran palsu harus dikubur, lalu ditumbuhkan pada dirinya kesadaran baru yaitu penghayatan akan makna kemanusiaan universal.
Masuk dalam kekitaan. Mereka datang dengan niat yang sama dan status yang sama. Tak ada yang lebih unggul di mata Allah dari yang lain kecuali karena kualitas ketakwaannya. Karena itu, ibadah haji secara psikologis merupakan upacara “kematian” dalam agar terlahir kembali dan menemukan makna dan kualitas hidup yang lebih sejati. Kematian kesadaran palsu dan sifat-sifat negatif yang antara lain ditimbulkan oleh mabuk keduniaan yang bisa merendahkan harkat kemanusiaannya.
Orbit Ilahi
Begitu siap dengan pakaian ihram, jamaah haji lalu membaca talbiah yaitu pernyataan kehadiran semata memenuhi panggilan Tuhan. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku-Engkau”, dan segala urusan duniawi ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transendental secara intens. Pikiran, perasaan, ucapan, dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah.
Ketika mengenakan pakaian ihram, seseorang tak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh becermin, tidak boleh membunuh hewan, merusak pepohonan, tidak juga melakukan hubungan seksual. Pendeknya, berbagai nafsu egoistik dan jasadi ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan mikraj, mendekati sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi yang tangguh, sebuah pribadi yang darinya terpancar sifatsifat ilahi. Upaya mendekati, bahkan memeluk Tuhan ini, lalu secara simbolik diperagakan dalam tawaf, berputar mengelilingi Kakbah.
Batu hitam (Hajar Aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan tawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah) untukmelakukanaudiensi. Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada “di seberang sana”, kampung akhirat. Dengan menjabat tangan Tuhan, seorang muslim mempertegas kembali ikrarnya bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Kekayaan, kepintaran, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga, semua, akan bermakna selama mendekatkan pemiliknya untuk meningkatkan amal kebajikannya sebagai manifestasi rasa syukuratassegalarahmat Tuhan yang dilimpahkan kepadanya. Dalam suasana batin di mana “aku” dan “Engkau”, tak ada lagi jarak yang menghalangi, seorang muslim yang tengah menunaikan ibadah haji biasanya mencurahkan segala isi hatinya untuk bersyukur, memohon ampun, pertolongan, ataupun kekuatan untuk menjalani hidup selanjutnya.
Makna dan hikmah tawaf yang sejati, oleh karena itu, adalah juga berupa tawaf menjalani siklus kehidupan dari hari ke hari ini. Sebagaimana tawaf di Mekkah, agar aktivitas seharihari ini menjadi bermakna, secara psikologis hendaknya kita mampu mengambil jarak dari rutinitas yang membelenggu. Kita transendensikan semua aktivitas ini sehingga hati nurani memiliki ketajaman untuk membedakan manakah tindakan yang bermakna dan manakah yang menggerogoti harkat kemanusiaan kita.
Wukuf (berdiam diri secara khusyuk) di Arafah yang merupakan puncak ibadah haji tak lain adalah semacam meditasi, merenungkan eksistensi dan posisi kemanusiaan kita di hadapan sang Pencipta dan alam semesta agar kita mendapatkan makrifat atau pengetahuan sejati tentang hidup dan pemilik kehidupan. Dengan wukuf, seorang muslim diharapkan mendapatkan the wisdom of life sehingga ketika kembali ke Tanah Air masing-masing telah terlahir kembali sebagai manusia baru yang penuh kearifan hidup.
Haji dan Kritik Sosial
Demikianlah, di samping prosesi ibadah haji merupakan kewajiban agama, sesungguhnya di balik ritual haji yang sarat simbol itu juga tersimpan banyak sekali pesan sosial untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara esensial dan fungsional, berbagai pesan dan sasaran ibadah haji ialah agar kita menang (menundukkan nafsu) dalam pergulatan hidup sehari-hari sehingga meraih makna dan prestasi hidup yang sejati.
Di antara pesan ibadah haji yang fundamental adalah agar seorang muslim menumbuhkan etos pengorbanan. Itulah sebabnya hari raya haji juga disebut sebagai Hari Raya Kurban (Idul Adha). Terdapat petunjuk yang begitu kuat bahwa masyarakat kita dilanda krisis semangat pengorbanan. Sebaliknya, yang ada adalah semangat untuk mengambil (to take) bukan memberi (to give). Lebih parah lagi kalau yang diambil itu sesuatu yang bukan hak miliknya.
Karena itu, menjadi sangat ironis ketika sekian banyak koruptor itu ternyata pernah melakukan ibadah haji. Lewat drama perintah Allah agar Ibrahim menyembelih putranya tersirat sebuah pesan agar seorang pejabat tinggi hatihati terhadap anak dan keluarganya karena sangat bisa jadi demi keluarga dia akan berbuat apa saja. Nafsu seperti itulah yang harus disembelih.
Berapa banyak hak milik orang lain diambil secara tidak sah oleh orang yang sedang memegang kekuasaan (besar ataupun kecil) karena didorong oleh cinta pada anak dan keluarganyasecara tidak proporsional? Munculnya korupsi dan fenomena dinasti-isme politik akhirakhir ini mendorong kita bertanya, lalu bagaimana dengan status haji mereka? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar