Kamis, 24 Oktober 2013

Akil di Warung Ponti

Akil di Warung Ponti
Agus Dermawan T ;  Penulis Buku-buku Seni, Sosial, dan Budaya
KOMPAS, 23 Oktober 2013


BARU-baru ini, saya berkesempatan mengunjungi Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat. Tujuan utama saya adalah kulinernya, yang terserak di warung-warung sudut jalan, di dalam gang, bahkan di emperan.
“Sungguh mati, kuliner Pontianak mengajak orang bersilat lidah secara positif,” kata EZ Halim, pengusaha dan penulis budaya asal Pontianak dengan nama samaran Zulky Ponti. Ponti adalah sebutan akrab Pontianak. Dari provokasinya, saya bermuhibah ke sana.
Pontianak memang memiliki budaya kuliner warung yang khas. Di Jalan KS Tubun ada es krim yang disajikan di batok kelapa muda sehingga ketika es krim disendok, daging kelapa muda otomatis terkerok. Di Jembatan Tiga dan beberapa tempat lain terdapat warung sate sapi yang dimakan bersama lontong, disiram bumbu kacang dan kuah kaldu. Maknyus....
Di Jalan Tamar ada caiku eatau cuepan legendaris. Di Jalan Pahlawan ada nasi campur Akwang yang sudah berbilang tahun dielu-elukan.
Seperti halnya mi kepiting atau cehuntiao di Jalan Tanjungpura atau kopi Asiang di Gang Merapi yang selalu selalu ramai dan hangat. Disebut kopi Asiang karena memang Asiang pemilik warungnya. Dari subuh sampai sore, Asiang selalu bertelanjang dada melayani pembeli. Asiang, yang anaknya hampir menjadi dokter, berargumentasi, ”Buka baju itu lambang keterbukaan, semangat, dan ketulusan.”
Warung kebangsaan
Buat saya, kenikmatan makanan adalah yang terpenting. Namun, bagi masyarakat Pontianak, yang terpokok ternyata bukan itu. Kebanggaan pemilik warung adalah kehadiran para tokoh masyarakat Pontianak atau asal Pontianak. ”Dan itu terbicarakan oleh warga seluruh kota,” kata Eddy Susanto, pengusaha dan pekerja sosial di Pontianak.
Lalu, terbilanglah nama-nama seperti Oesman Sapta dan Ari Chandra, tokoh Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Vania Larissa, Miss Indonesia yang menempati posisi terbaik ke-7 di ajang Miss World tempo hari. Termasuk tentu Akil Mochtar, anggota DPR daerah pemilihan Pontianak, yang lalu menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Warung adalah rumah komunitas yang mendekatkan hubungan orang kebanyakan dengan para tokohnya. Di warung-warung itulah sejumlah tokoh dipuja dan diidolakan, didiskusikan dan dijadikan cerita-kota. Bagi para pemilik, tokoh-tokoh itu adalah figur promosi yang membanggakan. Itu sebabnya, Pak Haji penjual sate kuah atau Asiang penyeduh kopi akan fasih bercerita di sudut mana sang tokoh biasanya duduk, apa yang mereka bicarakan, hingga menu favoritnya.
Warung-warung itu, termasuk ratusan warung lain di pelosok Pontianak, diam-diam mengharap ikon-ikon istimewa tersebut terus mempertahankan nama harumnya. Sebaliknya, komunitas pengunjung warung yang berjumlah puluhan ribu bermimpi menjadi tokoh-tokoh idola baru. Warung pun menjadi komunitas demokrasi yang seru.
Namun, sejak awal Oktober 2013, gempa besar mengguncang warung-warung Pontianak. Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap sengketa pemilu kepala daerah. Bagi para pemilik warung dan komunitas warung Pontianak, ini adalah khianat.
Akil dianggap telah mencurangi kepercayaan masyarakat Pontianak. Akil adalah ”raja tega” yang menghancurkan kesukacitaan warga yang tulus membanggakannya. Akil disebut sebagai tikus celurut yang menerobos masuk ke berbagai warung, bergaya he-he-ho-ho dengan menyamar sebagai hakim Bao.
Hukuman sosial
Lalu, suasana batin warung di Pontianak berubah total. Terjadilah penghukuman sosial. Akil pun disebut Buto Akil, pelesetan dari Buto Cakil, hasil celetukan orang Jawa pelanggan warung. Cakil adalah buto (raksasa) buruk sifat yang selalu muncul dalam lakon wayang Mahabharata. Matanya bulat tajam dan selalu jelalatan. Mulut bagian bawahnya lebih maju dibandingkan dengan bagian atasnya. Sebuah profil yang melambangkan sikap ingin menadah apa saja, dengan keserakahan yang tak ada malunya.
Cakil berumah di hutan gelap. Namun, ia selalu siap menerima order perang dari sang raja. Tugas Cakil adalah menghalangi setiap perjalanan para kesatria yang ingin menunaikan tugas kebenaran. Cakil lincah dalam berperang, bisa salto, melompat, berjingkat, tetapi tak memiliki kesaktian. Oleh karena itu, setiap berkelahi, ia selalu kalah dan mati. Namun, pada episode lain, ia muncul lagi.
Ketika tubuhnya berulah, mulutnya selalu berbicara meski asal-asalan bunyinya. Misalnya, akan memotong jari tangan para maling, akan menggantung koruptor di tiang gedung MK, dan akan memotong leher sendiri kalau berbuat salah. Cakil punya beberapa prajurit andalan, yakni Buto Rambut Geni, Buto Rambut Gimbal, dan Buto Terong.
Obrolan kemudian membuat komunitas warung paham, tokoh Buto Cakil sesungguhnya tidak ada dalam Mahabharata asli yang diturunkan dari India. Tokoh Buto Cakil diciptakan pada 1552 tahun Saka atau 1630 Masehi pada masa kerajaan Sultan Agung. Jadi, tokoh absurd itu memang benar-benar hanya milik Indonesia.
Drama Buto Akil tampaknya juga hanya ada di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar