|
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2013 menetapkan
harga pembelian kedelai petani (HBP kedelai) sebesar Rp 7.000 per kilogram
dengan perkiraan petani akan memperoleh keuntungan 25-30 persen.
Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan 2011
(SOUT-TP 2011) menunjukkan, dengan HBP yang ditetapkan tanggal 13 Juni 2013
tersebut, petani masih cenderung merugi. Kenyataan menunjukkan, produksi
kedelai dalam negeri tidak menunjukkan peningkatan berarti pada periode 1961-
1983. Baru mulai tahun 1984 produksi kedelai Indonesia naik hingga mencapai
puncaknya tahun 1992 dengan produksi 1,87 juta ton biji kering. Produksi
kedelai kemudian mulai turun lagi hingga tahun 2013 hanya mencapai 847.160 ton
(Angka Ramalan I-2013, BPS).
Penyebab utama turunnya produksi kedelai di negara ini adalah
penurunan luas panen. Hal ini terlihat dari selarasnya perkembangan produksi
dengan perkembangan luas panen. Pada tahun 1961 luas panen kedelai tercatat
625.000 hektar, naik perlahan menjadi 640.000 hektar tahun 1983. Seperti halnya
produksi, luas panen mulai naik tahun 1984 hingga mencapai puncaknya tahun 1992
dengan luas panen 1,66 juta hektar untuk kemudian turun kembali hingga 572.000
hektar tahun 2013 (Aram I-2013, BPS).
Petani enggan menanam
Faktor utama penyebab turunnya luas panen kedelai adalah
turunnya luas tanam yang tentu saja disebabkan perilaku petani yang lebih
memilih komoditas lain untuk dibudidayakan. Beberapa alasan, seperti rendahnya
keuntungan yang diperoleh petani akibat harga yang terlalu rendah, sulitnya
mendapatkan bibit unggul, dan sifat tanaman yang rentan rusak akibat perubahan
iklim membuat petani enggan membudidayakan kedelai. Di sisi lain, target
produksi padi menjadi pesaing berat terwujudnya peningkatan produksi kedelai
mengingat lahan yang digunakan untuk budidaya kedelai adalah lahan yang sama
untuk budidaya padi dan jagung. Jagung sedikit beruntung karena dapat
dibudidayakan pada lahan yang tidak potensial untuk budidaya padi. Karena itu,
dalam perebutan lahan, padi selalu menjadi pemenang dan kedelai harus berbesar
hati untuk menggunakan lahan yang disisakan padi.
Pengalaman Maret 2013, kenaikan harga kedelai impor dari Rp
6.000 menjadi Rp 7.500 per kilogram saja sudah menjadi pukulan yang sangat
berat bagi pengusaha tahu dan tempe. Padahal, dengan harga Rp 7.500 per
kilogram pun, petani dalam negeri masih mengalami kerugian.
Hitung-hitungan tersebut diperoleh jika menggunakan struktur
ongkos usaha tani kedelai hasil SOUT-TP 2011 yang dilakukan BPS dengan
penyesuaian inflasi. Dengan memperhatikan inflasi, ongkos produksi kedelai pada
bulan Juli 2013 menjadi sekitar Rp 7.510 per kilogram. Ini berarti dengan HBP
Rp 7.000 per kilogram, petani lokal masih mengalami kerugian sebesar Rp 510 per
kilogram.
Kerugian sebesar Rp 510 per kilogram itu diperoleh dengan
menggunakan struktur ongkos yang memberikan nilai pada lahan yang digunakan
dalam usaha tani kedelai dengan asumsi produktivitas 1,48 ton per hektar. Hal
ini untuk memberikan gambaran yang lebih rinci dan nyata akan struktur ongkos
usaha tani. Jika perkiraan sewa lahan diabaikan, harga Rp 7.000 per kilogram,
petani memperoleh keuntungan Rp 1.133 per kilogram atau sekitar 19.32 persen.
Tentu saja keuntungan ini sebenarnya merupakan keuntungan
semu karena walaupun keuntungan itu dapat dibelanjakan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup, sebenarnya petani telah kehilangan pendapatan senilai harga
sewa lahan yang digunakan untuk usaha. Keuntungan ini dapat terkesan lebih
besar lagi jika perkiraan upah pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar
dikeluarkan dari ongkos produksi.
Ongkos produksi tertinggi pada usaha tani kedelai digunakan
untuk upah pekerja yang menyerap sekitar 51 persen dari total ongkos usaha.
Ongkos yang cukup tinggi juga dikeluarkan petani untuk sewa lahan yang menyerap
sekitar 22 persen ongkos usaha. Selebihnya merupakan ongkos yang dikeluarkan
petani untuk penyediaan benih, pupuk, dan jasa usaha tani lainnya.
Melihat struktur ongkos usaha yang didominasi biaya upah
pekerja, dapat disimpulkan, daya saing produk kedelai petani lokal dapat
ditingkatkan dengan mengurangi ongkos upah pekerja. Sebagai gambaran, dengan
penurunan ongkos upah pekerja sebesar 20 persen, break-even
point usaha tani kedelai dapat dicapai dengan harga jual yang lebih rendah
sekitar Rp 6.750. Tentu saja harga dapat lebih rendah lagi jika pengurangan
upah tenaga kerja bisa lebih banyak lagi.
Tenaga kerja dalam usaha tani kedelai digunakan pada proses
budidaya, terutama pada proses pengolahan lahan, penanaman dan penyulaman
tanaman rusak, pemeliharaan dan penyiangan, pemupukan, pengendalian hama atau
organisme pengganggu tumbuhan, pemanenan, pengeringan, pengupasan, dan
pengangkutan hasil. Jika upah pekerja pada beberapa proses dalam budidaya dapat
dikurangi dengan penerapan farm
mechanization yang mengadopsi teknologi biaya murah, daya saing
kedelai lokal dapat ditingkatkan dan ini secara langsung dapat meningkatkan
keuntungan petani pengusaha atau petani nonburuh.
Namun, masalahnya tak sesederhana itu. Hasil Survei Angkatan
Kerja Nasional 2012 menunjukkan, sekitar 38,88 juta orang Indonesia
menggantungkan hidup pada penghasilan dari sektor pertanian, kehutanan, serta
perikanan, dan sekitar 5,34 juta orang di antaranya bermata pencaharian sebagai
pekerja bebas. Seperti lazimnya masalah klasik yang selalu menyertai penerapan
teknologi pertanian, pengurangan kebutuhan tenaga buruh pada usaha tani tanaman
pangan—termasuk usaha tani kedelai yang sebagian besar juga merupakan buruh
pada usaha tani lain, seperti padi dan jagung—dapat dipastikan akan menambah
jumlah penganggur yang masih tinggi, sekitar 7,17 juta orang, pada Februari
2013.
Sebenarnya peningkatan pengangguran yang diakibatkan oleh
strategi pengurangan ongkos tenaga kerja pada usaha tani kedelai masih mungkin
untuk diantisipasi. Strategi pengurangan kebutuhan buruh dapat dilakukan dengan
sekaligus memperluas lapangan pekerjaan di sektor industri pengolahan berbahan
dasar kedelai itu sendiri.
Selain dapat menampung tenaga kerja, usaha industri ini pun
dapat meningkatkan permintaan kedelai yang akan menarik petani untuk menanam
kedelai karena ada jaminan pasar yang jelas. Pembukaan usaha industri
pengolahan kedelai ini harus ditempatkan pada lokasi sekitar daerah sentra
produksi. Selain untuk menjamin penyerapan tenaga buruh yang kehilangan pekerjaan,
strategi ini juga dapat mengurangi biaya transpor kedelai mentah.
Teknologi
budidaya
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penerapan teknologi
budidaya kedelai yang dapat memperbaiki produktivitas. Tanaman kedelai dikenal
sebagai tanaman yang sangat rentan akan perubahan iklim. Perubahan curah hujan
yang sedikit ekstrem, baik terlalu kering maupun terlalu basah, dapat langsung
merusak tanaman yang mengakibatkan puso. Oleh karena itu, penelitian dan
penyediaan varietas kedelai yang tahan perubahan iklim menjadi satu solusi yang
sangat dibutuhkan.
Benih varietas unggul dengan produktivitas tinggi harus
dipastikan tersedia dan datang tepat waktu saat petani akan melakukan proses
penanaman. Bantuan benih yang terlambat harus dipastikan tak terjadi lagi.
Selain itu, pengembangan varietas dengan produktivitas tinggi harus disesuaikan
dengan taste petani agar benih unggul yang diproduksi tidak mubazir
seperti terjadi pada penyediaan benih padi yang kurang diminati petani.
Solusi lain yang dapat diterapkan adalah pemerintah atau
perusahaan harus mengambil alih peran petani sebagai pelaku utama produksi
kedelai. Dengan kekuatan di sejumlah faktor, seperti permodalan, penyediaan
bibit unggul, penyediaan pupuk, dan sarana produksi lainnya, pemerintah atau
perusahaan akan lebih kuat menghadapi risiko yang terjadi pada budidaya
kedelai. Pemerintah atau perusahaan dapat menyewa lahan petani dan bertindak
sebagai pengelola budidaya kedelai. Dengan kekuatan lebih besar yang dimiliki,
pemerintah atau perusahaan dapat lebih berperan dalam melakukan strategi
budidaya yang efisien, efektif, dan produktif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar