|
"Yang mesti dipropagandakan adalah
sekolah dengan perombakan filosofi yang memerdekakan jiwa"
SELALU
berkait erat kebijakan pendidikan dengan citra propaganda kekuasaan. Apalagi
hari-hari mendekati Pilpres 2014, eksplorasi pendidikan sebagai citra
propaganda demi popularitas kian gencar dilakukan. Kebijakan pendidikan
merupakan salah satu obsesi yang memancarkan citra propaganda kekuasaan. Paling
populer, dan penuh kontradiksi, terutama sekolah gratis untuk pendidikan dasar.
Bahkan kini muncul propaganda capres yang ingin menggratiskan pendidikan sampai
pendidikan menengah.
Pendidikan
gratis yang konsisten, sebagai akibat wajib belajar, tentu sangat bagus,
seperti di Jerman. Orang tua diminta mengisi formulir, kebutuhan apa saja yang
timbul dan akan menjadi beban jika anaknya bersekolah, termasuk kebutuhan
pribadi. Telah dituangkan dalam PP tentang Biaya Pendididikan bahwa biaya
pendidikan itu meliputi biaya investasi, personal, dan operasional.
Jadi,
jika pemerintah akan menggratiskan biaya sekolah (negeri dan swasta),
setidak-tidaknya menanggung penuh biaya investasi (pembangunan gedung sekolah,
ruang kelas, perpustakaan, lab, lapangan olahraga, dan sebagainya), biaya
personal (gaji guru, tenaga kependidikan, peningkatan kompenetensi), dan semua
biaya operasionalnya. Yang terjadi saat ini adalah sekolah hanya dibantu
biaya operasional. Jadi, propaganda pendidikan gratis yang tidak konsisten,
sesungguhnya penyesatan dan pembodohan.
Kontradiksi
biaya pendidikan di sekolah, dengan propaganda politik itu, sungguh sangat
menyudutkan peran kepala sekolah. Ini potret ambiguitas propaganda kekuasaan,
yang tak menuntaskan persoalan. Sampai saat ini di Indonesia, hakikatnya, tak
pernah terjadi sekolah yang benar-benar gratis. Selalu ada biaya pendidikan tak
langsung (uang transpor, uang saku, buku, alat tulis, seragam).
Penyingkapan
terhadap kedok, dusta, dan ambiguitas propaganda politik terhadap biaya
pendidikan yang diekspresikan capres-cawapres selama ini perlu dilakukan.
Minimal kelak pasangan capres-cawapres yang berkuasa tak akan lagi memanipulasi
kebijakan biaya pendidikan untuk mendongkrak popularitas mereka.
Sudah
saatnya kini biaya pendidikan tak diangkat sebagai propaganda politik dengan
sikap ambigu. Kebijakan yang dicitrakan dengan ambiguitas serupa ini, hanya
akan membangkitkan berbagai kesulitan praksis pendidikan, seperti kemacetan
administrasi dan penyediaan sarana prasarana untuk membangkitkan mutu lulusan.
Serupa Kedok
Citra
propaganda biaya pendidikan gratis demi kepentingan kekuasaan dan menarik
empati massa, serupa kedok yang menutup bopeng praksis pendidikan. Ingin tahu
sebabnya? Pertama; pemerintah pusat dan daerah belum sepenuhnya sanggup
mencukupi segala kebutuhan biaya pendidikan.
Kedua;
birokrasi pendidikan kita belum sepenuhnya menopang kelancaran praksis
pendidikan. Ini realitas yang mesti segera ditanggulangi agar kebocoran dalam
dana pendidikan dapat dicegah. Masih terdapat proses birokrasi,
pertanggungjawaban dan pengawasan yang berbelit-belit.
Ketiga;
sebagian masyarakat dan orang tua siswa —dengan membebaskan diri dari pembayaran
sumbangan pengembangan institusi (SPI), uang komite sekolah, dan
ekstrakurikuler— menjadi fatalis. Mereka mau menikmati hasil pendidikan yang
bermutu, tanpa biaya. Bahkan mereka cenderung menjadi pribadi pengritik dan
penuntut dalam hal pendidikan.
Keempat;
mutu pendidikan bukan lagi menjadi prioritas. Praksis pendidikan dilakukan
dengan kebijakan serbahemat, serbadicukup-cukupkan. Pendidikan dikelola dalam
“harmoni-semu”. Pengelola pendidikan tak berpikir kreatif, tak sempat memberi
bekal siswa untuk menatap tantangan zaman, tak berinisiatif membebaskan diri
dari bingkai kesulitan memasuki lapangan kerja.
Biaya pendidikan, baik jenjang pendidikan dasar maupun menengah, selama ini memendam kontradiksi yang menyulitkan praksis pendidikan. Bagi praksis pendidikan dasar, kontradiksi itu terjadi pada ketidakberdayaan manajemen sekolah untuk memenuhi semua kebutuhan sarana prasarana, administrasi sekolah dan biaya peningkatan mutu pendidikan.
Biaya pendidikan, baik jenjang pendidikan dasar maupun menengah, selama ini memendam kontradiksi yang menyulitkan praksis pendidikan. Bagi praksis pendidikan dasar, kontradiksi itu terjadi pada ketidakberdayaan manajemen sekolah untuk memenuhi semua kebutuhan sarana prasarana, administrasi sekolah dan biaya peningkatan mutu pendidikan.
Intervensi Negara
Propaganda
politik mengenai sekolah gratis yang memberi citra kemurahan hati pihak yang
menyerukan, merupakan pendangkalan filosofi pendidikan karena memendam
kontradiksi di dalamnya. Lebih tepat bila dikatakan, ”sekolah bermutu dengan
biaya rendah”. Intervensi negara dan kekuasaan atas sekolah begitu kuat
semenjak kurikulum dicanangkan, buku teks disusun, dan evaluasi dilaksanakan.
Sejak
zaman Orba, intervensi negara terus-menerus dilanggengkan, sehingga mutu
pendidikan tak pernah benar-benar mencapai pencerahannya selaras dengan
tantangan zaman dan kebutuhan lapangan kerja. Target mutu pendidikan dapat
direalisasikan sekolah dengan etos, etika, nurani, kaizen (pembaruan sedikit
demi sedikit), dana pendidikan yang cukup dan pemenuhan sarana prasarana.
Diperlukan ruang kreativitas bagi guru dan siswa di ruang kelas secara
terus-menerus. Mengapa tidak lakukukan propaganda pendidikan yang memberikan
kebebasan jiwa murid, kemerdekaan untuk berekspresi, pencarian dan pengembangan
bakat, dan penumbuhan kesadaran akan tantangan zaman?
Propaganda
sekolah gratis merupakan cara meraih empati massa yang paling pragmatis. Tapi
lebih realistis bagi capres-cawapres melancarkan propaganda pendidikan
bermutu: perombakan filosofi pendidikan yang selaras dengan bingkai zaman.
Kurangi intervensi politik dalam pengelolaan pendidikan. Jadikan guru dan siswa
sebagai manusia bergairah mengarungi penemuan dan pengembangan bakat mereka
masing-masing. Jagalah mereka menjadi manusia yang menemukan jati diri dalam
dialogika zaman.
Tanpa
intervensi pemerintah pun bertaburan sekolah gratis untuk kaum papa dan
pinggiran didirikan, dikelola, dan dikembangkan. Mutu pendidikan sekolah ini
tak kalah dibanding sekolah negeri di kota, yang menerima dana pendidikan dari
pemerintah. Ini artinya propaganda sekolah gratis sudah usang. Yang mesti
dipropagandakan dan mendesak adalah sekolah dengan perombakan filosofi
yang memerdekakan jiwa. Diperlukan kebijakan pendidikan yang menghindari
rasa takut, stres, rasa tak berdaya, jiwa terbelah, dan ketersia-siaan guru dan
siswa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar