|
ADA pertanyaan mengapa kegalauan
meluas dan menisbikan keberhasilan yang dicapai? Bukankah setiap keberhasilan
ada kelemahannya? Misalnya, mengapa pertumbuhan tidak disertai pembagian hasil
pertumbuhan?
Dalam
mewujudkan kehidupan yang demokratis, kebebasan mengeluarkan pendapat juga
telah kita nikmati. Bahwa ada kesan berlebihan, inilah yang harus kita rem.
Namun, dari sisi kebijakan memang perlu pendekatan atau cara berpikir dalam
jangkauan menengah dan jangka panjang. Ada kesan ketimpangan itu disebabkan maraknya
pemikiran jangka pendek, sekadar penyelesaian sesaat.
Inilah akar
masalah yang mungkin menjadi sumber kegalauan kita semua. Kita semakin terbiasa
dengan pemikiran sesaat, jangka pendek atau pragmatis. Pragmatisme telah
menjauhkan idealisme sehingga tanpa disadari melahirkan budaya ”tujuan
menghalalkan cara”.
Benar, kita
memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi. Masalahnya, bagaimana agar pertumbuhan
itu terbagi sehingga tidak menimbulkan kesenjangan yang makin lebar? Kalau
lebih cenderung ke konsep pasar bebas, adalah wajar kalau kesenjangan semakin
melebar. Apalagi, daya saing kita masih lemah sehingga ekonomi kita lebih
dikuasai asing.
Demokrasi kita
sesungguhnya justru mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Contohnya, untuk
memenangkan pemilu/pilkada terjadi ”politik uang”. Kita belum ”siap kalah dan
siap menang”. Tujuan mengikuti pemilu/pilkada hanya untuk menang, bukan
memenuhi proses demokrasi. Yang ada adalah semangat ”tujuan menghalalkan cara”,
yang ujung-ujungnya kepentingan materi. Dampaknya, masyarakat sulit diajak
berpikir ideal, apalagi ideologis. Pancasila pun dilupakan.
Ajakan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merefleksi jalannya reformasi mungkin
juga merefleksikan pemikiran yang serba pragmatis itu. Pragmatisme ternyata
membuat kita menyimpang dari tujuan negara ini didirikan. Mampukah kita
berefleksi dan meluruskan jalannya reformasi dalam waktu singkat?
Risiko reformasi
Peralihan Orde
Baru ke Reformasi berjalan cepat. Presiden Soeharto yang terpilih secara
aklamasi dalam Sidang Umum MPR, Maret 1998, dua bulan kemudian mengundurkan
diri. Pemimpin baru muncul, pemikiran baru pun muncul. Bagaimana mewujudkan
demokrasi, menegakkan HAM, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Terjadilah
perubahan yang sangat mendasar: UUD 1945 diamandemen tahun 2002.
Perubahan yang
mencolok terkait kandungan hak-hak asasi manusia (HAM), sistem ketatanegaraan,
pilihan sistem ekonomi, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Hal ini tecermin
dalam perubahan batang tubuh UUD 1945.
Perubahan
drastis itu membuat substansi UUD 1945 yang asli tergerus. Syukurlah, Pembukaan
UUD 1945 tidak diubah meskipun kemudian antara pembukaan dan batang tubuh UUD
1945 Perubahan 2002 dinilai tidak sinkron.
Presiden
dipilih langsung, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang bertugas
memilih presiden/wakil presiden dan menetapkan GBHN (Garis-garis Besar Haluan
Negara), otonomi daerah berbasis tingkat II dengan pilkada langsung, pers bebas
tanpa SIUPP, dan ekonominya sesuai konsep ekonomi pasar bebas.
Kini, lima
belas tahun setelah Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak kita
semua merefleksikan Reformasi, meneruskan yang baik dan memperbaiki yang belum
baik. Substansinya tentang sistem ketatanegaraan kita, sistem presidensial,
mekanisme ”check and balances” dan
lain sebagainya. Sebagai presiden dua periode, tentunya SBY merasakan kelemahan
sistem yang berjalan sekarang. Bagaimana sistem presidensialnya tersandera
sistem parlementer sehingga ada pemikiran, bisa saja sistem parlementer lebih
cocok. Sebab, sistem parlementer pernah kita terapkan di era 1950-an.
Di sektor
ekonomi, peran negara juga semakin kurang terasa sehingga terjadi kesenjangan.
Otonominya sempat dimoratorium agar negara ini tidak semakin ”fragmented” sehingga sulit dikelola.
Kritik terhadap pelanggaran HAM masih terdengar sehingga kita dianggap lemah
dalam melindungi kelompok minoritas. Belum lagi masalah-masalah lain.
Tidak mudah
Namun, ajakan
refleksi itu pasti tak mudah dilaksanakan. Inisiatif pemerintah mengubah
pemilihan gubernur agar dilakukan oleh DPRD saja tertatih-tatih. Ada yang
menilai usulan itu sebagai kemunduran demokrasi. Demokrasi, dalam hal ini,
hanya dipersepsi sebagai pemilihan langsung. Padahal, demokrasi kita mestinya
berdasar perwakilan, berjenjang, dan tidak langsung. Demokrasi seperti itu,
sebagaimana di Amerika Serikat, electoral-vote lebih menentukan
dibandingkan dengan popular-vote dalam pemilihan presiden.
Selama lima
belas tahun Reformasi, banyak UU dan kebijakan baru mendasari kehidupan
berbangsa dan bernegara kita. Namun, semua sudah dianggap sebagai suatu
kewajaran. Terkait otonomi dan demokrasi, misalnya, bagaimana kita bisa
mengurangi ”hak” yang telah diberikan kepada rakyat untuk memilih
gubernur/bupati/wali kota, bahkan presiden/wakil presiden, kalau hal itu sudah
diyakini sebagai wujud demokrasi kita?
Demikian juga
di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya meskipun terasa ada
kegalauan terhadap sistem ketatanegaraan kita. Wajar, kalau kemudian timbul
wacana untuk kembali ke UUD 1945 (asli), sementara Presiden mengajak refleksi.
Sebagian masyarakat menggunakan istilah ”kaji ulang” yang mengesankan sikap
moderat dalam menyikapi kondisi bangsa ini. Hal ini memerlukan idealisme,
setidaknya penggambaran cita-cita masa depan bangsa, tak sekadar mencari solusi
sesaat yang ternyata bisa menyimpang dalam mewujudkan masa depan kita.
Jelas ini
sangat tidak mudah. Ada yang berpikir, mungkin hanya bisa berjalan kalau ada
uluran tangan Tuhan atau sekadar ”mimpi di siang hari”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar