|
Dalam edisi 23
Agustus lalu, Opini Kompas menerbitkan tulisan Hasbullah Thabrany, ”Jaminan
Kesehatan Terancam”. Timbul pertanyaan, benarkah penyelenggaraan jaminan
kesehatan terancam?
Artinya, bisa
jadi belum dilaksanakan pada 1 Januari 2014? Atau, kalau sudah mulai
dilaksanakan, terjadi keruwetan sehingga gagal?
Jaminan
kesehatan, sebagai bagian dari program jaminan sosial, sebenarnya tak istimewa.
Sebagian besar negara di dunia telah memiliki program jaminan kesehat- an
sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku di negara masing-masing.
Pendekatannya berbeda-beda. Meski demikian, ada prinsip yang universal.
Khas Indonesia
Berbagai model
itu merupakan pengembangan model yang telah banyak diselenggarakan di negara
maju: model negara sosial diawali di Jerman sejak era Otto von Bismarck atau
model negara kesejahteraan yang dikenal juga sebagai model Beveridge, nama
Menteri Jaminan Sosial Inggris pasca-Perang Dunia II. Juga model yang khas
Amerika Serikat: penyelenggaraan program jaminan kesehatannya tak terlepas dari
sistem ekonominya, dalam hal ini sesuai dengan mekanisme pasar.
Ciri-cirinya,
antara lain, bersumber pada sistem pembiayaannya: dari iuran/premi peserta
(model negara sosial), dari pajak (model Beveridge). Semuanya selalu mengalami
modifikasi, sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya terkait kelompok
masyarakat tak mampu. Namun, semua negara juga menghadapi problem yang hampir
sama: meningkatnya biaya penyelenggaraan program jaminan kesehatan yang
disebabkan perkembangan teknologi kedokteran, perubahan kependudukan dan pola
penyakit, serta sifat pelayanan kesehatan yang cenderung berlebihan dan
mubazir. Oleh karena itu, besarnya biaya pelayanan kesehatan juga bergantung pada
sistem pelayanan kesehatan yang diberlakukan.
Jaminan
kesehatan yang akan diberla- kukan pada 1 Januari 2014, sesuai dengan UU No
40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 23/2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, adalah khas Indonesia, sesuai dengan UUD 1945.
Dikatakan sebagai model negara sosial yang mengadopsi model negara
kesejahteraan, model itu sesuai dengan amanah Pasal 34 UUD 1945. Sebagaimana
pemahaman kita terhadap implementasi Pasal 33 UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional
yang masih sering menimbulkan polemik, hal serupa kita jumpai dalam membangun
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pemikiran yang liberalistis dan
sosialistis sering berbenturan sehingga perlu waktu (lama) memahaminya. Be- lum
lagi kemungkinan beda kepentingan kelompok, baik di tingkat nasional maupun
global, sehingga upaya merumuskan kedua UU itu sangat tidak mudah.
Meski jaminan
sosial merupakan program kesejahteraan, dampak ekonominya sangat besar. Di
banyak negara, ia ditengarai sebagai mesin pembangunan (engine of development)
terkait kemampuan dana jaminan sosial yang sangat besar. Hal ini kita alami
sejak persiapan UU No 40/2004 ketika spektrum perbedaan pendapat di antara kita
sangat lebar sehingga implementasi UU SJSN juga terlambat, sebab sesuai amanat
UU No 40/2004 semestinya dimulai 2009.
Kenyataan ini,
sekali lagi, juga disebab- kan spektrum beda pendapat yang masih lebar di
antara pemegang kebijakan, baik di kalangan pemerintah, dunia usaha, maupun
pekerja. Untuk itu, ada baiknya kita sampaikan sindiran yang disampaikan Alan
Greenspan, mantan pemimpin The Fed AS, dalam majalah Fortune, beberapa
waktu lalu: ”If you get the right people in the room, you can solve social
security problems in just 15 minutes.”
Dikejar waktu
Tahun 2014,
meski tinggal empat bulan, perundangan (peraturan pemerintah dan peraturan
presiden) yang ditunggu belum juga terbit. Kebiasaan kita memang menunggu
saat-saat terakhir sehingga ada yang mengkhawatirkan pelaksanaan jaminan
kesehatan terancam.
Bahwa ada
kekhawatiran jaminan kesehatan terancam adalah wajar sebab seandainya berbagai
perundangan itu terbit lebih awal, persiapan akan jauh lebih baik. Masyarakat
dan berbagai pihak terkait, misalnya para penyelenggara pelayanan kesehatan,
dokter, dan rumah sakit, bisa mempersiapkan lebih awal. Demikian juga
pemerintah daerah, yang selama ini menyelenggarakan Jamkesmas dalam berbagai
bentuk, dapat segera menyesuaikan diri sebab masalah yang dihadapi memang tak
mudah. Jadi, kita perlu menyelamatkan jaminan kesehatan. Perlu ada pemahaman
bersama sehingga spektrum beda pendapat itu bisa dipersempit.
Pertama, kita
perlu melihat SJSN secara menyeluruh, jangan parsial. Sedapatnya dicegah
melihat salah satu program jaminan sosial terpisah dengan jaminan sosial lain,
termasuk jaminan kesehatan, meski dari aspek penyelenggaraan administrasi
keuangannya terpisah. Jadi, kita dapat mempertimbangkan kemampuan kita memikul
beban iuran jaminan sosial yang harus dipenuhi. Termasuk dalam hal ini
kemampuan masyarakat, dunia usaha, pemberi kerja dan pekerja, bahkan pemerintah
untuk membayar iuran jaminan sosial. Kalau dipaksakan, ini bisa jadi bumerang,
bisa berdampak kebangkrutan sehingga program jaminan sosial tak terwujud. Di
sini perlu penahapan penyelenggaraan jaminan kesehatan menuju universal
coverage.
Kedua, dengan
penahapan seperti itu, kita dapat memenuhi asas manfaat di dalam UU SJSN. Bahwa
dengan asas manfaat, tidak boleh penyelenggaraan jaminan sosial tidak layak
diselenggarakan, apalagi menjadi bumerang yang justru bisa menjauhkan kita dari
pencapaian kesejahteraan yang dijanjikan dengan penyelenggaraan program jaminan
sosial. Meskipun aspek dana sangat besar artinya, kita tidak boleh terjebak
pada teori penghitungan premi/iuran sebagaimana diterapkan dalam
penyelenggaraan asuransi komersial. Apalagi di dalam penyelenggaraan jaminan
kesehatan, biaya pelayanan kesehatan sangat elastis, bergantung pada sistem
pelayanan dan sistem pembayarannya, fee for services atau prospective payment
system. Pendekatan anggaran atau pengalaman nyata dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan justru sangat menentukan penyelenggaraan jaminan kesehatan
berdasarkan asuransi sosial.
Ketiga,
introduksi mekanisme asuransi sosial di dalam penyelenggaraan program jaminan
sosial merupakan wujud gotong royong yang paripurna. Di dalam penyelenggaraan
jaminan kesehatan, akan terwujud gotong royong sakit/sehat, kaya/miskin,
tua/muda, bahkan yang memiliki risiko sakit tinggi dan rendah dalam memenuhi
kebutuhan medik.
Dengan konsep
asuransi, besarnya iuran perlu dipertimbangkan, yang dimanifestasikan dalam
peluang memperoleh manfaat nonmedik yang berbeda, misalnya kelas perawatan RS
sebagaimana telah berjalan dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan PNS/penerima
pensiun yang diselenggarakan PT Askes Indonesia. Dengan demikian, jaminan
kesehatan yang akan diselenggarakan bisa mencakup kebutuhan segala tingkat
sosial masyarakat.
Prinsip
asuransi juga harus mengadopsi dalil the law of large numbers atau the
law of average sehingga semakin besar peserta asuransi semakin kecil
besaran iuran. Oleh karena itu, prinsip penyelenggaraan jaminan sosial
diselenggarakan secara nasional, bersifat wajib, sehingga memperkecil besar
iuran dan memperluas pemerataan manfaat. Sebagai rujukan awal, besaran iuran
sebaiknya setara dengan iuran PNS/ penerima pensiun, yaitu 4 persen gaji.
Keempat,
diperlukan kepesertaan dan dukungan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
jaminan kesehatan. Segala program Jamkesmas yang sudah ada di sejumlah daerah
secara bertahap sebaiknya diintegrasikan dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Ini
perlu untuk koordinasi penyelenggaraan, termasuk anggaran kesehatan serta
efisiensi biaya kesehatan dan operasional. Dengan tersedianya dana jaminan
sosial dan efisiensi anggaran pemerintah, peluang memperluas infrastruktur kesehatan
akan terbuka lebar.
Kelima, dengan
pendekatan di atas, polemik di sekitar besaran iuran, termasuk bagi peserta
penerima bantuan iuran yang masih menjadi ganjalan dapat dipecahkan kalau kita
menyadari bahwa besaran yang sesungguhnya dari iuran itu akan dapat dilihat
dari realisasi biaya tahun berjalan.
Di tengah
kekhawatiran terancamnya jaminan kesehatan, upaya menyelamatkan jaminan
kesehatan masih dapat kita wujudkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar