|
Melemahnya nilai tukar rupiah dan
merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan membuat panik pelaku bisnis. Pengusaha
tahu-tempe, barang elektronik, dan sejumlah usaha yang memiliki kandungan impor
tinggi mulai berteriak karena dollar tinggi.
Penyebab utama
anjloknya IHSG dan terpuruknya nilai tukar rupiah sebetulnya adalah struktur
ekonomi kita yang sejak lama ”tidak sehat”, tetapi diberi obat yang tak cespleng.
Tanpa perubahan mendasar kebijakan makro dan sektoral, ancaman krisis di pasar
modal dan valas, cepat atau lambat akan merembet ke semua sektor, termasuk
pasar tradisional dan UMKM. Selama kurun 1 Januari-23 Agustus 2013, nilai tukar
rupiah melemah sekitar 12 persen terhadap dollar AS dan IHSG melorot sekitar
4,1 persen. Pada 23 Agustus 2013, kurs rupiah bertengger di angka Rp 10.848 per
dollar AS dan IHSG pada 4.169,83. Bandingkan dengan awal 2013, saat kurs Rp
9.685 dan IHSG 4.346,48.
Goldman Sachs,
bank investasi asal AS, memprediksi rupiah akan melemah ke posisi Rp 11.800 per
dollar AS tahun depan dan menurunkan prediksi untuk target 3 bulan, 6 bulan,
dan 12 bulan ke depan atas ringgit Malaysia, baht Thailand, dan rupiah
Indonesia. Ketiga mata uang ini, bersama mata uang emerging market lain
mengalami tekanan hebat beberapa minggu terakhir. Benarkah faktor eksternal
semata ataukah fundamen ekonomi Indonesia yang tidak sehat sehingga rawan
terhadap guncangan eksternal?
Faktor eksternal
Dari sisi
eksternal, ada beberapa faktor di balik rentannya pasar valas dan modal kita.
Pelemahan rupiah dipengaruhi sentimen negatif terkait dengan meningkatnya
ketidakpastian global akibat pertumbuhan ekonomi dunia cenderung turun. Sejak
Januari 2012, rupiah terdepresiasi terus-menerus, dari Rp 9.000-an awal Januari
2012 menembus di atas Rp 11.000 per dollar AS minggu terakhir Agustus 2013.
Rupiah dan rupee India melemah paling tajam dua minggu terakhir akibat banyak
investor asing menarik investasi mereka di Asia seiring dengan rencana bank
sentral AS (The Fed) mengurangi kebijakan quantitative easing (QE).
QE adalah
kebijakan moneter yang diterapkan The Fed untuk mendorong perekonomian karena
kebijakan moneter yang standar menjadi tak efektif dan suku bunga sudah amat
rendah mendekati nol. Caranya, The Fed membeli sejumlah aset finansial
(obligasi jangka panjang dan US Treasury
Notes) di bank komersial ataupun lembaga keuangan lain. The Fed melakukan
QE yang pertama (QE1) pada 25 November 2008 hingga akhir Maret 2010, tadinya
hanya 600 miliar dollar AS, tetapi akhirnya mencapai 1,75 triliun dollar AS.
Pada tahap kedua (QE2), The Fed membeli 600 miliar dollar AS selama November
2010-Juni 2011. Pada 12 September 2012, The Fed mengumumkan akan membeli surat
berharga jangka panjang 40 miliar dollar AS per bulan.
Gejolak di
Bursa Efek Indonesia (BEI), banyak terpengaruh program QE AS, telah mendorong
investor membeli aset-aset berisiko, terutama yang dimiliki negara berkembang,
termasuk Indonesia. Setelah QE1, QE2, dan QE3 diberlakukan, terjadi tren yang
sangat bullish pada indeks Dow Jones dan IHSG. Namun, sebaliknya
apabila QE dikurangi, likuiditas di pasar AS menurun seiring dengan
dikuranginya pembelian aset. Hal ini membawa performa indeks saham
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memasuki tren bearish seiring
keluarnya dana asing.
Berdasarkan
data Kustodian Sentral Efek Indonesia, kepemilikan saham asing per kuartal
II-2013 adalah 57-58 persen dari total saham yang diperdagangkan di BEI. Angka
ini jauh lebih kecil daripada akhir 2008 yang lebih dari 70 persen. Peranan asing
yang cukup tinggi di BEI berpotensi menimbulkan risiko pelarian modal
besar-besaran. Agaknya panic selling di BEI menunjukkan betapa
pengaruh asing dan QE tidak bisa diabaikan.
Penyakit kronis
Faktor internal
yang memperburuk adalah defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang
masih berlanjut. Inilah penyakit kronis yang menggerogoti ekonomi kita dan
membuat tak sehat. Statistik BPS 1 Agustus 2013 mencatat nilai ekspor Indonesia
Juni 2013 mencapai 14,74 miliar dollar AS, turun 8,63 persen dibandingkan
dengan Mei 2013, atau penurunan 4,54 persen dibandingkan dengan Juni 2012.
Ekspor migas turun 5,81 persen (dari 2.926,3 juta dollar AS menjadi 2.756,3
juta dollar AS), sedangkan ekspor nonmigas merosot 9,26 persen (dari 13.207,1
juta dollar AS menjadi 11.984,4 juta dollar AS). Meski harga minyak mentah
Indonesia di pasar dunia naik dari 99,01 dollar AS menjadi 99,97 dollar AS per
barrel selama Mei-Juni 2013, volume ekspor migas Juni 2013 dibandingkan dengan
Mei 2013 untuk minyak mentah dan hasil minyak turun 21,6 persen dan 4,2 persen,
gas naik 4,2 persen. Secara kumulatif, ekspor Indonesia Januari−-Juni 2013
sebesar 91,05 miliar dollar AS, turun 6 persen dibandingkan dengan periode sama
pada 2012.
Selama beberapa
tahun terakhir, hampir semua produk dan sektor Indonesia mengalami penurunan
kinerja dari surplus menjadi defisit perdagangan. Jika tadinya defisit
perdagangan hanya dialami sektor migas, mulai triwulan II-2013 neraca
perdagangan defisit 0,6 miliar dollar AS akibat penurunan kinerja ekspor nonmigas
dan neraca perdagangan migas terus defisit. Defisit ini pertama kali terjadi
selama tiga dasawarsa terakhir. Penyebabnya adalah menurunnya lifting
minyak, hingga kini kita importir neto minyak, dan iklim investasi sektor migas
yang kurang mendorong eksplorasi ladang minyak baru. Menurunnya ekspor nonmigas
disebabkan banyaknya perusahaan yang menutup usaha akibat krisis global ataupun
kalah bersaing dengan negara-negara pengekspor produk sama. Selain itu, harga
dan permintaan komoditas ekspor di pasar internasional masih cenderung menurun
akibat pelambatan ekonomi di negara mitra dagang utama kita.
Masalah
mendasar perdagangan kita adalah menurunnya kinerja perdagangan dan lemahnya
daya saing produk ekspor. Pemerintah perlu menyelesaikan sejumlah ”pekerjaan
rumah” terkait dengan rantai ekspor dan sejumlah faktor penyebab ekonomi biaya
tinggi. Setidaknya masalah yang masih belum dipecahkan dengan tuntas adalah;
pertama, biaya mengurus kontainer di pelabuhan masih tertinggi di ASEAN. Ini
masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang memberatkan. Kedua, biaya
pungutan liar yang minimal 7,5 persen dari biaya ekspor masih ditemui di
jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perizinan, baik di pusat
maupun daerah. Ketiga, masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan
antara, dan komponen seluruh industri, sebesar 28-90 persen. Masalah industri
lainnya mencakup lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri
masih banyak bertipe ”tukang jahit” dan ”tukang rakit”. Padahal kontribusi
ekspor produk industri terhadap ekspor nonmigas 62 persen.
Faktor internal
lain yang perlu dicermati adalah utang swasta yang sebagian besar akan jatuh
tempo September 2013. Jumlah kumulatif utang yang jatuh tempo sekitar 25,6
miliar dollar AS. Saat ini total utang luar negeri Indonesia (pemerintah, BI,
swasta), telah mencapai 250 miliar dollar AS. Masalahnya, total utang luar
negeri ini didominasi swasta yang berjumlah 133 miliar dollar AS. Melorotnya
nilai tukar rupiah berpotensi menyulut utang macet dalam bentuk valas. Apalagi
20-22 persen utang luar negeri swasta nasional, atau 26,8 miliar-29,5 miliar
dollar AS, belum memiliki lindung nilai (hedging).
Defisit transaksi berjalan tercatat meningkat relatif tinggi. Neraca transaksi
berjalan, atau sering disebut current account, mencatat bukan hanya neraca
perdagangan barang, melainkan juga neraca jasa, penghasilan, serta transfer
berjalan. Defisit terjadi karena didorong terus menurunnya ekspor akibat
pelambatan ekonomi global, penurunan tajam harga komoditas global, di tengah masih
tingginya impor, baik migas maupun nonmigas. Defisit transaksi berjalan juga
dipengaruhi pembayaran bunga utang yang cukup besar pada triwulan II-2013.
Rasio defisit
transaksi berjalan terhadap PDB melonjak di atas 3 persen. Ini menurunkan
cadangan devisa, yang akhir Juli 2013 tercatat 92,67 miliar dollar AS atau
setara 5,1 bulan impor.
Butuh obat ”cespleng”
Pemerintah dan
BI merespons dengan menyampaikan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, meliputi
paket kebijakan fiskal, moneter, pasar modal, hingga industri, yang mencakup 13
langkah (Kompas, 23/8). BI
menerbitkan sejumlah kebijakan moneter guna meningkatkan pasokan valas secara
lebih efektif dan dalam rangka pendalaman pasar uang. Agaknya masih perlu
”obat” yang mampu menyembuhkan Indonesia dari penyakit kronis. Melemahnya
rupiah dan IHSG perlu dicari akar masalahnya. Faktor eksternal hanya pemicu,
tetapi sumber penyakit kronis yang membikin struktur ekonomi tak sehat perlu
diprioritaskan dan dipilih obatnya. Tanpa ada QE di AS pun, neraca perdagangan
dan transaksi berjalan yang tak sehat mengakibatkan pelemahan rupiah, hanya
tunggu waktu.
Dibandingkan
dengan krisis Asia 1998 dan krisis global 2008, penurunan kurs dan IHSG
beberapa minggu ini belum masuk tahap ”krisis” sehingga belum bisa diterapkan
protokol krisis. Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Pasal 45, definisi ”krisis pada sistem keuangan” adalah kondisi sistem keuangan
yang sudah gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam
perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator
ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah
solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Namun, langkah antisipatif dan proaktif bernuansa jangka pendek dan panjang
agaknya amat ditunggu pelaku bisnis dan rakyat. Kita perlu obat yang ”tak
generik”, tetapi mengobati ”penyakit kronis” yang beberapa tahun menggerogoti
ekonomi Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar